Mewaspadai Anggota Dewan Terpilih

Bagikan artikel ini

PILEG (pemilihan umum legislatif) usailah sudah. Bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota hingga provinsi pun selesai menggelar rapat pleno rekapitulasi suara.

Nama-nama yang bakal duduk di kursi legislatif, baik kabupaten/kota, provinsi, DPR RI dan anggota DPD RI juga sudah diketahui bahkan ada caleg yang ‘terduduk’, karena tidak bisa meraup suara banyak.

Memang lumrah, dalam pertarungan pasti ada yang kalah dan menang. Mungkin anda salah satunya.

Mereka-mereka yang duduk di lembaga legislatif periode 2014-2019 terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda, baik politikus murni, bahkan ada yang menjual kepopulerannya, baik berprofesi sebagai selebriti, pengusaha hingga istri, suami dan istri anak pejabat di kabupaten, kota, provinsi serta pejabat di pusat.

Penulis mencermati, tidak sedikit orang-orang seperti itu sekarang ini berhasil memperoleh ‘pekerjaan’ dari ketenaran, kepopuleran serta dukungan dari pejabat yang notabene orang dekat mereka.

Misalkan di Provinsi Riau, tepatnya di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul). Dimana Hj Maghdalisni, istri Bupati daerah setempat dari Partai Demokrat lolos menjadi anggota DPRD Riau, istri Bupati Kampar Hj Eva Yuliana juga dari partai yang sama juga berhasil duduk menjadi anggota DPRD Riau.

Mengenai lolosnya dua orang istri bupati yang juga berasal dari Partai Demokrat tersebut hingga kini belum ada riak-riak yang muncul, artinya pernyataan negatif tentang duo srikandi tersebut.

Yang jelas, jika dibandingkan, dua anggota DPRD Riau untuk periode 2014-2019, Hj Eva Yuliana memiliki jam terbang yang tinggi dibandingkan Hj Maghdalisni. Eva saat ini menjadi Wakil Ketua DPRD Kampar dari Partai Demokrat periode 2009-2014.

Ada juga anak bupati yang sukses meraih suara banyak dan duduk menjadi anggota DPRD Riau, yakni Sawitri, anak Bupati Pelalawan, HM Harris.

Tapi ada juga, mereka yang duduk di kursi DPRD, bak di-setting untuk estafet kepemimpinan yang ditinggalkan keluarga, misalkan pernah menjadi kepala daerah. Ambisi seperti ini menurut kajian penulis, tujuan meraih kursi legislatif adalah agar kembali meraih prestasi yang sama dari pendahulunya.

Ada juga yang lolos jadi anggota Dewan orang yang memiliki track record buruk yang dikarenakan ulahnya, misalkan korupsi dan pernah melanggar norma-norma hukum di Tanah Air.

Terlepas memiliki kualitas atau tidak untuk melaksanakan tugas ke depan. Khususnya bagi keluarga dekat pejabat atau kepala daerah (dinasti, red), perlahan-lahan menciptakan ruang ber-KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).

Hal ini banyak terjadi di negara kita ini. Ambil saja contohnya, enam anggota keluarga Bupati Lamongan dipastikan lolos sebagai anggota DPRD setempat, setelah jumlah suara Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 mulai diketahui publik.

Caleg jadi yang merupakan keluarga dan ‘orang dekat’ bupati itu diantaranya adalah, Bety Nurfia Puspitarini caleg Partai Demokrat Dapil I Nomor Urut 2,  Debby Kurniawan Caleg Partai Demokrat Nomor 1 dari Dapil Kabupaten Lamongan V,  keduanya anak kandung Fadeli.

Kemudian, Retno Wardhani Caleg Partai Demokrat Dapil II nomor urut 1 dan Nahdliyah Kartika Agustin Caleg Demokrat Dapil IV nomor urut 3. Retno dan Nahdliyah merupakan anak menantu. Nor Fatonah, Caleg Partai Demokrat Dapil III nomor urut 3 adalah keponakan Fadeli. Lalu Siti Maskamah Mursyid, Caleg Demokrat Dapil I nomor urut 5 adalah kerabat bupati Fadeli. Siti Maskamah adalah seorang istri pejabat kepala SKPD di Kabupaten Lamongan.

Tampilnya, anak, menantu, keponakan dan kerabat Fadeli sebagai bakal anggota dewan ini mendapat tanggapan miring beberapa kalangan di Kabupaten Lamongan. Pasalnya, proses menuju gedung parlemen ‘dinasti’ Fadeli ini ditempuh dengan cara yang tidak ‘sehat’.

Sebagai bupati, Fadeli memiliki andil besar dalam menggalang dukungan bagi ketujuh anggota keluarganya yang maju sebagai calon legislatif melalui Partai Demokrat itu.
Program-program bantuan untuk warga dan kelompok tani diduga menjadi alat menggalang dukungan untuk memenangkan caleg keluarga Fadeli.

Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing). Dimana, tiga putra Bupati Kuansing H Sukarmis, sukses meraih suara dan dipastikan duduk jadi anggota DPRD daerah tersebut.

Penulis berpikir, lambat laun ini menjadi salah satu bentuk degradasi dan kelumpuhan demokrasi. Fungsi kontrol atau checks and balances dari pihak legislatif terhadap lembaga eksekutif akan dengan sendirinya lumpuh jika di lembaga wakil rakyat itu diisi oleh keluarga para pejabat yang sedang berkuasa di eksekutif. Demokrasi dinilai sengaja dikebiri dan dibonsai oleh elite-elite politik dan penguasa yang ada saat ini.

Begitu juga yang disampaikan pengamat politik dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Idi Dimyati mengatakan, partai politik (Parpol) harus lebih bertanggungjawab terhadap fenomena banyaknya keluarga pejabat yang menjadi anggota legislatif.

Secara yuridis, memang tidak ada larangan bagi keluarga pejabat untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Namun, secara politis, fenomena seperti ini sangat membahayakan demokrasi.

Karena efek dari adanya fenomena tersebut, maka fungsi checks  and balances dari legislatif akan menjadi hilang. Kolusi dan nepostisme akan semakin kental. Konsekuensinya yang kaya akan bertambah kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Korupsi akan bertambah merajalela,” tegas  Idi Dimyati.

Idi Dimyati berpendapat, sistem rekrutmen yang dilakukan parpol seharusnya mengedepankan kriteria kapabilitas dan kredibilitas seseorang. Namun, yang terjadi  saat ini tidak melihat kapabilitas calon. Yang lebih dipertimbangkan justru, sosok yang memiliki kemampuan finansial dan  bisa menang dalam pemilu.

“Tidak heran jika  setiap caleg ketika terpilih dan duduk di lembaga legislatif, akan berupaya untuk mendapatkan uang, untuk keberlangsungan mempertahankan partai dan pribadi caleg itu sendiri,” ujarnya.

Menurut Idi Dimyati, fenomena pencalonan sejumlah keluarga pejabat  atau penguasa sebagai calon anggota legislatif pusat dan daerah serta DPD bukan fenomena yang aneh. Kerena fenomena tersebut telah terjadi sejak zaman dulu.

“Untuk melanggengkan kekuasaan, secara manusiawi akan menempatkan orang-orang terdekatnya di posisi yang bisa mendukung dan menjaga kekuasaanya,” katanya.

Dengan kondisi tersebut, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang berawal dari KKN, semuanya diharapkan berperan melakukan pengawasan dan kontrol atas kinerja anggota legislatif tersebut, seperti masyarakat, LSM, aparat hukum dan insan pers.

*) Amril Jambak, Wartawan di Pekanbaru, Riau, sekaligus peneliti di Forum Dialog Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com