Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Toshio Tamogami dan Shintaro Ishihara
Dalam sebuah konferensi internasional tentang Perang Dunia II yang digelar di Kuala Lumpur pada 13 Mei 2010 lalu, saya dalam kapasitas sebagai Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) sempat mengingatkan peserta forum mengenai betapa pentingnya untuk secara intensif memonitor berbagai manuver kelompok sayap kanan Jepang yang berpotensi untuk menghidupkan kembali kekuatan militernya di masa depan.
Seraya mengingatkan kembali semakin meningkatnya prakarsa beberapa kalangan sayap kanan Jepang untuk merevisi kembali buku-buku sejarah dengan tujuan untuk merubah peran invasi Jepang sebagai agresor terhadap bangsa-bangsa Asia menjadi pasukan pembebasan rakyat-rakyat di kawasan Asia Pasifik.
Dalam konferensi internasional satu hari yang diprakarsai oleh seorang wartawan senior Kazy Mahmud tersebut, saya mengangkat kembali sebuah tumpukan berita lama yang cukup menarik. Pada 2008 lalu, Toshio Motoya, pengusaha dan Direktur Utama APA GROUP yang dikenal sebagai tokoh Jepang berhaluan sayap kanan, mensponsori lomba penulisan esai bertema: Perspektif Sejarah Modern Jepang.
Lomba penulisan esai tersebut diselenggarakan oleh Angkatan Udara Bela Diri Jepang. Yang mencurigakan dari kontes penulisan ini adalah, dari 235 peserta lomba, 94 di antaranya ternyata merupakan anggota Angkatan Udara Bela Diri Jepang (ASDF). Kecurigaan bahwa kontes penulisan sejarah Jepang itu merupakan rekayasa ASDF semakin kuat ketika pemenangnya adalah Kepala Staf Angkatan Udara Bela Diri Jepang Toshio Tamogami.
Tamogami dalam essainya, membantah bahwa invasi militer Jepang sebelum dan sesudah Perang Dunia Kedua merupakan tindakan agresi militer. Dengan kata lain, Tamogami menolak peran Tentara Jepang sebagai agresor terhadap bangsa-bangsa Asia. Sebaliknya Tamogami mengklaim bahwa apa yang dilakukan Jepang tersebut merupakan peran pembebasan. Tamogami, meski akhirnya dipecat sebagai KSAU Jepang, namun manuver tersebut mengisyaratkan bahwa aspirasi sayap kanan Jepang baik sipil maupun militer bukan saja masih ada, tapi juga masih hidup aspirasinya untuk menghidupkan kembali kekuatan militernya seperti di masa lalu.
Pada akhirnya, seluruh peserta konferensi bersepakat dengan usulan untuk mengutuk dan mengecam manuver-manuver politik sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok sayap kanan tersebut.
Meski tidak secara eksplisit menyebut Jepang, namun melalui deklarasi yang diumumkan panitia konferensi, seluruh peserta secara tegas mengutuk langkah negara-negara aggressor yang bermaksud menulis ulang sejarah dan menghapus berbagai jejak-jejak kejahatannya yang mereka lakukan selama Perang Dunia II.
Bicara tentang Toshio Tamogami, seperti saya uraikan sebelumnya, tak pelak lagi merupakan salah satu tokoh sentral kelompok sayap kanan sekaligus pendiri sebuah organ sayap kanan “Gambane Nippon.”
Menyusul keikutsertaannya dalam lomba penulisan sejarah pada 2008, maka dengan tak ayal lagi pemerintah Jepang kemudian memecatnya dari jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Udara dan dipensiunkan dari dinas kemiliteran. Namun beberapa kalangan memandang bahwa dicopotnya Tamogami selaku Kepala Staf Angkatan Udara maupun dari kesatuannya, kerena memang saat itu usianya sudah mendekati masa pension.
Dengan demikian, bisa dikatakan pandangan Tamogami tetap mencerminkan suara “bawah sadar kolektif” masyarakat maupun aparat pemerintahan Jepang yang berhaluan ultra nasionalis. Seraya mengisyaratkan bahwa haluan politik ultra nasionalis di Jepang masih tetap hidup hingga sekarang baik di kalangan masyarakat maupun di jajaran birokrasi tingkat tinggi di Jepang.
Tamogami dalam kasus ini, jelas-jelas mewakili pandangan semacam ini. Sejak 2008 Tamogami telah mendesak pemerintah dan masyarakat Jepang untuk meninggalkan sikap pasifisme yang telah memperlemah politik luar negeri Jepang dalam 5 dekade belakangan ini.
Sehingga menurut Tamogami, sekarang adalah saat yang tepat bagi Jepang untuk memperkuat kembali pertahanan Jepang. Bahkan lebih jauh dari itu, Tamogami dan para aktivis partainya pada Agustus 2012 lalu, melakukan aksi menduduki kepulauan Senkaku yang hingga saat ini diklaim oleh Cina sebagai wilayah yang berada dalam kedaulatan negaranya.
Tokoh lain yang tak kalah radikal dalam menyuarakan aspirasi ultra nasionalis adalah Shintaro Ishihara, yang sempat menulis dan menerbitkan buku bertajuk “ Jepang Bisa Menolak,” bersama Presiden Sony Akio Morita.
Dalam tulisannya Ishihara mendesak pemerintah Jepang mengurangi ketergantungannya dari Amerika Serikat. Mantan Gubernur Tokyo antara 1999-2012 itu juga dikenal lantaran pandangan buruknya tentang Cina, penduduk asing dan perempuan. Terakhir ia membuat pernyataan kontroversial saat menyangkat pembantaian terhadap warga sipil Cina di Nanking, 1937, oleh serdadu Jepang. Salah satu episode dari Tragedi tersebut dikenal dengan The Rape of Nanking. Yaitu pemerkosaan massal serdadu-serdadu Jepang terhadap perempuan Cina di kota tersebut.
Juga pada 2012 lalu, ketika masih Gubernur Tokyo, Ishihara bersama Tamogami, sempat menyulut konflik dengan memprogandakan pembelian kepulauan Senkaku oleh pemerintan kota Tokyo. Sehingga konsekwensi logisnya, Ishihara mendesak pemerintah Jepang agar memperkuat pertahanan militernya di Senkaku dan menempatkan kehadiran militernya secara permanen di kepulauan tersebut.
Mungkinkah rencana pemerintahan Shinzo Abe untuk membuat tafsir baru pasal 9 konstitusi Jepang berdasarkan dorongan dan tekanan politik dari elemen-elemen sayap kanan seperti Tamogami dan Ishihara?
Kursus Politik Hidupkan Kembali Militerisme Jepang
Dalam dua seri tulisan saya terdahulu, terungkap bahwa Shinzo Abe nampaknya semakin berkiblat ke sayap kanan dan berbagai organisasi berhaluan ultra nasionalis. Karena itu saya tidak terlalu terkejut ketika beberapa waktu lalu sempat mendapat informasi bahwa Perdana Menteri Abe dalam kebijakan pemerintahannya di periode kedua sekarang ini, menyetujui sebuah program kursus politik untuk menghidupkan kembali gagasan militerisme dan imperialisme sebagaimana pernah dipertunjukkan Jepang pada Perang Asia Timur Raya di kawasan Asia Pasifik.
Dengan kata lain, isu sentral yang mendasari gagasan diselenggarakannya Kursus Politik Militerisme dan Imperialisme adalah, menumbuhkan kembali semangat Nasionalisme Jepang di kalangan generasi muda.
Bisa dipastikan bahwa melalui kursus-kursus politik menghidupkan kembali nasionalisme Jepang, pemerintahan Abe akan menanamkan doktrin di kalangan generasi muda bahwa tindakan dan sepak-terjang Jepang ketika menjajah beberapa negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, bukan sebagai aggressor dan penjajah, melainkan untuk memainkan peran pembebasan.
Dengan demikian, Jepang tidak layak untuk mempertanggungjawabkan dosa-dosa dan kejahatan perangnya selama Perang Dunia II atau Perang Asia Timur Raya. Karena hal itu akan dipandang akan menghancurkan kebanggaan nasional rakyat Jepang.
Gagasan-gagasam nasionalistik Jepang macam ini pada perkembangannya bisa menjurus pada hidupnya kembali faham fasisme seperti di Jerman pada era Adolf Hitler. Apalagi ada banyak khasanah budaya Jepang yang bisa cocok dengan upaya menghidupkan kembali faham ultra nasionalisme dan militerisme Jepang.
Sebagai misal dengan menghidupkan kembali agama Jepang Shintoisme sebagai ideologi negara, karena dalam faham ini Kaisar merupakan titisan Tuhan (Dewa).
Terkait dengan ide bahwa kaisar Jepang merupakan titisan Tuhan, menarik menyimak sekilas pandangan Dr Koichi Kimura. Kmura merupakan salah satu tokoh advokator Ianfu yang pertamakali mengungkap kejahatan perang Jepang di Indonesia adalah Dr Koichi Kimura. Dalam sebuah artikelnya yang beliau sumbangkan dalam buku bertajuk Japanese Militarism and its war crimes in Asia Pacific terbitan Global Future Institute pada 2011, menggambarkan betapa sistem kekaisaran modern Jepang yang menjadi sumbu dan ideologi Jepang, pada perkembangannya telah menjadi sarana penindasan rakyat terhadap rakyat dari berbagai negara di Asia pada Perang Dunia II.
Dengan kata lain, sistem Kekaisaran Jepang memang menjadi faktor penting munculnya bibit-bibit militerisme dan fasisme di Jepang sejak 1930an. Demikian menurut Dr Kimura. Lebih lanjut Kimura mengatakan, dalam sistem kekaisaran Jepang ditanamkan satu doktrin bahwa kesetiaan kepada Kaisar akan meningkatkan status nyawa manusia jadi semakin tinggi setelah kematian tiba.
Ini satu tesis yang cukup menarik karena berarti pengorbanan jiwa atau keputusan untuk menyongsong kematian dianggap sebagai etos yang mulia, sebagai bentuk pengabdian dan pelayanan kepada Kaisra Jepang.
Dan menurut Dr Kimura, doktrin dan ideologi tertanam di konstitusi Jepang, sehingga semua didedikasikan kepada Kaisar Jepang.
Inilah akar militerisme dan Fasisme Jepang. Melalui Doktrin dan ideologi ini, penguasa Jepang mendapat legitimasi moral untuk memaksa rakyat Jepang untuk memusnahkan nyawa manusia. Nyawa manusia dianggap tidak penting.
Pada perkembangannya, doktrin dan ideologi semacam ini menjadi semakin krusial, ketika bangsa Jepang menganggapi rendah bangsa-bangsa lain di negara-negara Asia seperti Cina, Korea, atau yang ras melayu seperti Indonesia.
Di sinilah ironinya, menrurut Dr Kimura. Kesetiaan kepada Kaisar bahkan sampai pada taraf kesukarelaan untuk mengorbankan nyawanya demi Kaisar, pada perkembangannya justru menjadi alat untuk memusnahkan dan menyengsarakan rakyat dan bangsa-bangsa Asia lainnya.
Ketika Jepang menganggap dirinya sebagai bangsa beradab dan negara-negara Asia masih bangsa-bangsa barbar, ironisnya Jepang kemudian memaksakan peradaban versi Jepang melalui cara-cara yang biadab terhadap bangsa-bangsa Asia lainnya. Padahal, Jepang menganggap dirinya sebagai bangsa beradab, namun dengan berbasis fasisme-militerisme pada Perang Pasifk 1941, Jepang tiba-tiba mempertunjukkan dirinya sebagai bangsa yang biadab.
Mungkinkah gagasan yang cukup mengerikan ini bisa dihidupkan kembali di Jepang?
Upaya Abe untuk menggolkan kebijakan yang berhaluan ultra nasionalis tersebut nampaknya semakin kondusif mengingat kenyataan bahwa konstalasi di parlemen Jepang, kelompok koalisi yang terdiri dari LDP dan ultra nasionalis saat ini menguasai 240 kursi di parlemen (Diet). Sementara itu di jajaran kabinet pemerintahan, kelompok koalisi ini menguasai 16 dari 19 kursi menteri di kabinet pemerintahan Abe.