Media Massa Sudah Menjelma Sebagai Aktor Politik

Bagikan artikel ini

Achmad Sofyan, Penulis bidang Intelijen

(Disampaikan dalam Seminar Prospek Media Massa Nasional, yang diselenggarakan oleh Global Future Institute, 28 Agustus 2014).

Mengenai media kalau tidak salah, hari ini media sudah menjelma sebagai aktor politik, atau menjadi sebuah lembaga politik. Ketika media menjadi sebuah lembaga politik media membawa satu ideologi politik atau satu kepentingan politik.  Dalam konteks media sebagai lembaga politik, kalau merujuk pada sebuah buku, maka seorang jurnalis berusaha agar masyarakat tidak menyadari bahwa media atau jurnalis adalah aktor politik.

Artinya mereka mengacu pada kasus di Philipina bagaimana peran media menjatuhkan rezim Ferdinand Marcos, sepertinya di kita pun hari ini masyarakat masih belum sepenuhnya sadar bahwa media adalah aktor politik dan ketika media merupakan sebuah aktor politk maka dia akan melakukan segala cara untuk mencapai cita-cita politiknya itu.

Dalam konteks globalisasi ini akhirnya muncul apa yang disebut ‘video’ politik, pencitraan dan segala macamnya. Ketika katakanlah dalam kasus bentrok antara masa FPI dengan Aliansi Kebangsaan waktu itu yang di silang Monas. Ketika masa FPI yang begitu beringas menyerbu masa Aliansi Kebangsaan maka yang disorot, media serempak menyorot bagaimana masa FPI membawa tonggak, padahal akar persoalannya bukan karena FPI melakukan aksi anarkisnya walaupun itu tetap tidak dibenarkan.

Dalam konteks ‘video’ politik inilah media mengedepankan realitas kedua, yang pertama soal ahmadiyah ketikan bentrokan itu terjadi realitas ahmadiyah ditutup, maka yang dimunculkan adalah aksi anarkis front pembela Islam, ditambah lagi karena waktu itu bertepatan dengan satu Juni dimana lahirnya Pancasila, ada seseorang yang berkata, ini tidak mencerminkan aksi-aksi pancasila maka diseret pada persoalan ideologis.

Media menjadi sebagai lembaga politik selalu mengembangkan realitas kedua sesuai dengan kepentingan politiknya. Media sebagai lembaga politik atau organ politik melahirkan citra, kalau dalam post medernisasi disebut bahwa hari ini kita pada fase simulakra.

Simulakra ini terjadi antara realitas dan citra melebur. Mana yang realita, mana yang citra itu menjadi samar. Kata, Akbar Ahmad menyebutkan media sebagai iblis untuk zaman post modernisasi ini, karena mereka bisa mengemas fiksi lebih menarik menjadi realitas.

Realitas itu lebih asing. Dalam konteks pemilihan presiden Obama sangat dibesarkan oleh citra ketika dia diciptakan sebagai seorang new Mahatma Gandhi, sebagai kemunculan seorang suci dan segala macam.

Dan itu ditelan habis-habisan oleh publik dan karena itulah kemudian kita melihat dalam Pilpres hari inipun bagaimana pencitraan masih terjadi dan itu ditelan bulat oleh masyarakat.

Dalam konteks inilah saya menganggap bahwa media lubang hitam dalam demokrasi. Jadi kalau lubang menyedot obyek angkasa ke dalam dirinya, kalau media, lubang hitamnya dapat menyedot seluruh komponen-komponen baik politik maupun sosial ke dalam satu skema drama politik yang mereka ciptakan,dalam konteks ini keliatannya akan sangat berat kalau kita melawan, menandingi, katakanlah siapalah, barat, sudah final.

Kita akan sangat sulit melawan begitu gencarnya opini yang diciptakan secara linear dan tidak ada satu pembanding dan nyaris tidak ada pembanding, kalau kita mencari sesuatu melemparkan satu counter opini saja, habis-habisan dibabat. Kira-kira dalam konteks inilah khususnya saya pribadi menghadapi satu leburan isu yang terus menerus secara berkesinambungan dihaturkan kepada publik.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com