Megawati Connection dan Pelobi Balik Layar Dukungan AS dan Singapura untuk Prabowo

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Sosok Prabowo Subianto sebagai calon presiden RI yang dikesankan tidak disukai Amerika Serikat dan Singapura, kini telah berubah signifikan. Pertanyaan besar dalam benak saya, siapa yang berhasil secara gemilang melobi pihak Washington dan Singapura Kedua, apakah perobahan kedua negara tersebut sehingga mau mengobah sudut pandangnya dalam menilai sosok Prabowo memang sesungguhnya mencerminkan karakter sejati Prabowo? Dengan kata lain, citra buruk Prabowo di mata pihak barat maupun aktivis-aktivis pro HAM di tanah air sesungguhnya justru bukan menggambarkan sejatinya Prabowo.

Ini menarik mengingat ada indikasi kuat yang secara jelas tercermin liputan tentang Prabowo Subianto oleh The Wall Street Journal dari New York Amerika Serikat. Serta saat Prabowo diundang sebagai pembicara tunggal diRajaratnam School of Strategic Studies, Singapura.

Baik liputan tentang Prabowo oleh media Amerika Serikat maupun ceramahnya di Rajaratnam School, terjadi pada hari yang sama, pekan lalu. Dalam politik yang mana saya meyakini selalu ada konspirasi tingkat tinggi di dalamnya, maka dua momen tersebut saya nilai bukan sebuah kebetulan.

The Wall Street Journal yang dikenal sebagai media rujukan para investor raksasa dunia dan pedagang pasar modal, juga menyiarkan wawancara Prabowo di jaringan TV-nya. Liputan itu lebih banyak mengklarifikasi atau membantah tudingan negatif tentang Prabowo. Baiklah. Tapi kembali pertanyaan sentral saya, apakah klarifikasi tersebut sekadar kegiatan Public Relation untuk menghapus sejarah kelam dirinya di masa lalu? Atau, justru klarifikasi tersebut justru sebuah momentum untuk memunculkan karakter sejati sekaligus peran sejarah Prabowo yang sesungguhnya pada masa masa kritis jelang kejatuhan Suharto.

Misalnya, benarkah penculikan 14 aktivis Pro Demokrasi memang sepenuhnya skema dan gagasan Praboowo? Ataukah Prabowo justru elemen kontra intelijen untuk mematahkan rencana besar dari beberapa perwira angkatan darat seperti Benny Murdani, yang waktu itu diyakini sedang menyusun satu kekuatan politik untuk menguasai Indonesia pasca Suharto. Kalau ini yang terkandung dalam klarifikasi Prabowo Subianto, menantu Presiden Suharto sekaligus putra ekonom UI Sumitro Djojohadikusumo, maka peran sejarah Prabowo hingga puncaknya pada kejatuhan Suharto pada Mei 1998, tidak bisa dinilai secara hitam putih.

Sayangnya, substansi dari wawancara yang dilakukan oleh The Wall Street Journal tidak sampai mengupas, apalagi membedah sejauh itu. Media itu hanya mengawali laporannya dengan mengatakan, Prabowo di era pemerintahan Suharto, merupakan seorang jenderal yang ditakuti. “Tapi sekarang Prabowo merupakan calon presiden Indonesia yang selalu berada di urutan terdepan,” kata Eric Bellman wartawan The Wall Street Journal yang mewawancara Prabowo di rumah pribadi di kawasan Hambalang, Bogor.

Bagi saya, dua momen tersebut baru pada taraf memberi sinyal bahwa Prabowo akan masuk dalam dereten yang patut diperhitungkan sebagai pengganti SBY 2014 mendatang.

Karena itu wajar kalau Amerika dan Singapura sangat berkepentingan, sosok yang menjadi pemimpin di Indonesia harus seorang sahabat.

Amerika Serikat berkepentingan, karena Indonesia terletak di jalur strategis dunia. Itu sebabnya negara itu, tidak menghendaki pengaruhnya di Indonesia direbut atau digantikan kekuatan lain.

Sementara Singapura yang menjadi negara makmur karena kepandaiannya memanfaatkan semua potensi di Indonesia, juga kurang lebih sama. Singapura ingin mendapat jaminan, pemimpin di Indonesia haruslah seorang yang tidak anti Singapura plus etnis Chinese.

Itu sebabnya bila perlu Singapura ikut membantu persiapan seorang calon presiden yang diyakini memiliki visi dan dapat diajak berdiskusi. Dan syarat itu terdapat pada diri Prabowo Subianto. Maka forum di Rajaratnam School itu merupakan bagian dari persiapan ataupun agenda Singapura.

Persoalan yang cukup menarik adalah apa yang menyebabkan Amerika Serikat dan Singapura secara tiba-tiba mengubah sikap dan penilaian mereka kepada Prabowo. Dalam arti, Amerika Serikat tidak lagi memandang Prabowo sebagai jenderal yang melakukan pelanggaran berat atas HAM. Atau Singapura tidak lagi menempatkan Prabowo sebagai sosok yang anti Chinese ?

Sebuah portal berita inilah.com sempat menyinggung kemungkinan peran para pelobi yang punya akses ke Amerika Serikat seperti lewat sekutunya di Timur Tengah, yakni Jordania. Raja Jordania yang beristerikan seorang keturunan Amerika Serikat, merupakan sahabat kental Prabowo. Pasca-kerusuhan Mei 1998 termasuk kejatuhan Presiden Soeharto, Prabowo kerap diberitakan lebih banyak tinggal di Aman, ibukota Jordania.

Namun menurut saya kalaupun itu benar dan logis, rasanya belum cukup. Menurut saya, jaringan tidak kasat mata yang dirajut antara Megawati dan Prabowo di luar jaringan kepartaian dari PDIP maupun Gerindra, saya kira jauh lebih penting. Megawati, punya kedekatan dengan jaringan pemerintahan Bill Clinton dan isterinya yang Hillary Clinton, yang sekarang ini menduduki jabatan sebagai menteri luar negeri. Dan melalui Hillary Clinton inilah, Mega menjalin kontak informal dengan para pemain kunci pemerintahan Presiden Barrack Obama saat ini. Kalau menelisik peran jaringan tidak kasat mata yang dirajut Mega dengan para pemain kunci di Gedung Putih sejak Mega menjadi Wakil Presiden di era Gus Dur maupun ketika jadi presiden antara 2001-2004, maka ada setidaknya tiga orang yang merupakan aktor kunci pada era itu. Pertama, Robert Gelbard, Duta Besar AS untuk Indonesia. Kedua, DR Karen Brook, pakar politik lulusan Cornel University dan murid DR Ben Anderson, seorang Indonesianis dari Cornell University Indonesia Project. Dan terakhir, DR Jeffry Winters, pakar politik AS yang punya hubungan yang erat dengan intelijen Kementerian Luar Negeri AS bernama INR.

Karena Itu saya tidak terkejut ketika editor The Wall Street Journal, media Amerika yang dikontrol masyarakat Yahudi memutuskan untuk memprofilkan Prabowo. Sehingga menambah kuat spekulasi bahwa bekas Danjen Kopassus ini juga sudah lolos fit and proper test oleh kekuatan yang mendominasi dunia.

Karena itu saya tak terlalu yakin kalau muncul spekulasi bahwa Hasyim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo. Hasyim, pengusaha sukses yang berdomisili di London, Inggris, dianggap salah satu pelobi penting untuk mengobah sudut pandang barat terhadap Prabowo. Hasyim, menurut saya hanya pada sebatas memakskimalkan jaringan bisnisnya untuk memberi dukungan strategis bagi kepentingan Prabowo. Tak lebih dari itu.

Selanjutnya inilah.com berspekulasi bahwa pelobi dengan Singapura boleh jadi dilakukan oleh ipar kandungnya, Dr. Sudradjad Djiwandono. Bekas Gubernur Bank Indonesia itu sudah hampir 10 tahun menjadi pengajar di universitas bergengsi di Singapura. Dengan status itu, Sudradjad dengan mudah bisa masuk ke lingkar terdalam dalam pemerintahan Singapura.

Spekulasi ini diyakini oleh inilah.com, dengan melihat forum akademi yang menampilkan Prabowo di Rajaratnam School. Dan juga dengan melihat peran Dekan institut itu yaitu Barry Desker, bekas Dubes Singapura untuk Indonesia awal 1990-an dan juga sahabat Sudradjad. Namun menurut saya, kedekatan Dubes Desker dengan Sudrajad, hanya sebagian dari cerita. Dubes Desker sebenarnya perannya tak sepenting orang kedua di kedubes Singapore pada masa masa kritis jelang kejatuhan Suharto. Yaitu Mr Chow. Dia lah pemain kunci sesungguhya di kedubes Singapore di era 1990-an. Dan menurut mantan sekretaris pribadi Megawati, almarhum Ricardo akias Dodo, Mr Chow ini punya kedekatan dengan Megawati. Bahkan pada saat terjadi peristiwa 27 Juli 1996, Mr Chow secara diam diam membantu Megawati dan jaringan pendukungnya secara maksimal dan efektif.

Maka kalau jaringan tidak kasat mata Mega bekerja untuk itu, maka pihak Singapura dengan mudah akan mengobah sudut pandang mereka pada Prabowo. Jadi bukan sekadar karena Prabwo sebagai pendiri Partai Gerindra mencalonkan Basuki Tjahaja Purnama alios Ahok selaku cawagub. Meski langkah itu tetap cukup efektif juga untuk menjernihkan persoalan bahwa Prabowo bukanlah sosok yang anti Cina, sebagaimana citra barat maupun di tanah air selama ini. Menurut saya, peran balik layar dari Mr Chow, yang waktu itu jadi orang kedua dari Dubes Desker maupun Dubes Dubes Singapore sebelumnya, sangatlah memainkan peranan penting.

Karena itu buat saya sama sekali tidak mengherankan ketika kalangan wartawan yang bergerak di komunitas diplomatik Jakarta, pada masa Barry Desker jadi Dubes, sejumlah kebijakan penting pemerintah RI, sering kali sudah lebih dulu bocor ke tangannya. Masuk akal, mengingat jaringan tidak kasat mata MR Chow bisa mengakses para pemain kunci pemerintahan Indonesia. Termasuk Megawati.

Maka tak heran pula saya ketika saat tak satupun yang mengira, Joop Ave dan Abdul Latif akan menjadi Menter pada era Suharto, Barry Desker sudah mengajak sejumlah wartawan untuk bertaruh dengannya bahwa kedua figur itu akan masuk dalam pemerintahan Suharto. Dan ternyata memang benar. Namun, meski Barry Desker, pejabat Singapura yang mengundang Prabowo tampil di Rajaratnam School adalah tokoh spesialis negara tetangga itu tentang Indonesia, namun peran pelobi sesungguhnya saya yakini adalah Mr Chow.

Begitupun, ini memang momentum penting buat Prabowo. KarenaPeserta ceramah Prabowo di Rajaratnam School, harus diakui sebagai orang-orang yang menentukan kemana arah negara di Asia Tenggara. Sebagai investor saat ini mereka sedang risau dengan nasib investasi mereka di Indonesia. Menjelang Pilpres mereka harus memutuskan apakah akan tetap atau hengkang dari Indonesia.

Pernyataan Prabowo di forum itu kelihatannya cukup meyakinkan. Bahwa di bawah Prabowo, iklim investasi di Indonesia lebih baik. Dan hanya dalam waktu tiga hari setelah ceramahnya, Prabowo telah menjadi semacam magnit.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com