Memahami Intervensi Asing dan Maraknya Narkoba dari Perspektif Metode Kolonialisme (Perang Candu)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Mengambil inti sari artikel Dina Y. Sulaeman berjudul: “Bisnis Opium AS di Afghanistan” (23/1/2010), menarik untuk disimak. Banyak hal bisa dipetik. Misalnya soal standar ganda Amerika Serikat (AS) dalam perang melawan narkoba, atau taktik pecah belah di suatu negara melalui pemanfaatan “pemain-pemain lokal”, atau adu domba sesama umat agama dan lain-lainnya. Kendati garis besar tulisan mBak Dina, salah satu Research Associate di Global Future Institute (GFI) adalah terjemahan artikel Prof. Peter Scott Dale dimana fokus bahasan tentang bisnis opium AS. Tetapi tulisannya relatif inspiratif, dengan kata lain banyak improvisasi (analisa) disana-sini menggelitik, terutama cermatannya atas model-model kolonialisme masa lalu, kemudian disandingkan kondisi terkini.

Nah, coretan di bawah ini pun tak jauh beda. Sebagian data memang diambil dari tulisan Peter S. Dale dan Dina Y. Sulaeman. Penulis hendak menarik substansi atas pola dan taktik kolonial di berbagai belahan dunia, kemudian membuat analog dengan keadaan aktual di republik ini berbasis pola kuno imperialisme global yakni PERANG CANDU, sebuah modus dan tata cara merusak bangsa dengan harga sangat murah!

Sebelum melangkah jauh, bacaan sementara saya adalah: apapun bentuk penjajahan — cuma kemasannya saja berbeda, sedang inti kolonialisme tidak pernah berubah hingga akhir zaman, yaitu: “mengurai dan menciptakan pasar seluas-luasnya serta mencari bahan baku semurah-murahnya!”. Maka pantas jika Bung Karno dulu mengingatkan bangsa Indonesia, bahwa kapitalisme sebagai ideologi negara adalah embah dari kolonialisme di muka bumi, sebab watak dasarnya adalah akumulasi modal. Lalu seorang Taqayudin An Nabani (1970) pun berasumsi bahwa penjajahan adalah methode baku kapitalis sedang yang berubah hanya cara dan sarananya saja!
Sekilas Afghanistan

Sejak abad ke-18 masa Dinasti Durani, Afghanistan telah menjadi obyek penjarahan bagi kepentingan-kepentingan asing. Kentalnya konflik di internal semata-mata karena persaingan sengit antara Inggris dan Rusia dalam menancapkan hegemoni. Dengan demikian, netralitas Afghansitan kala itu bukanlah kemauan sendiri, tetapi karena “kesepakatan” dua kekuatan asing yang dominan, Inggris dan Rusia. Sudah barang tentu, stabilitas politik keamanan era Durani pun bukan disebabkan oleh (policy) pusat, kenapa demikian selain buah kesepakatan dua kekuatan dominan tadi juga sebab longgarnya koalisi berbagai pimpinan suku turut memberi kontribusi signifikan.

Tidak adanya kekuatan lokal (internal) yang dominan, sebenarnya merupakan setting serta cipta kondisi oleh asing di Afghanistan. Ya, sepertinya devide et impera (adu domba) melekat pada setiap sistem penjajahan dimanapun, sehingga dinamika sosial politik terlihat seolah-olah gegap gempita namun sejatinya jalan di tempat, stagnant alias tidak berjalan.

Memotret Afghanistan era Durani, ini mirip situasi di Indonesia pasca Orde Baru lengser (Era Reformasi). Hanya kemasannya berbeda, tetapi substansi sama yakni tidak ada kekuatan dominan karena dipecah-belah melalui isue demokrasi, kebebasan, otonomi daerah (otoda), multipartai dan lainnya. Hal ini membuat pusat seperti tidak memiliki kendali di daerah. Adanya Bupati dan Walikota berani melawan Gubernur, perizinan tambang yang tumpang tindih, atau banyaknya Kepala Daerah ikut terjun dalam unjuk rasa menolak rencana pusat menaikkan BBM merupakan “wajah Indonesia”, betapa otoda telah menciptakan raja-raja kecil. Intinya, tidak ada kekuatan dominan di negara.

Kembali ke Afghanistan, kekhawatiran Inggris atas pengaruh Rusia yang selalu ikut campur dalam menetukan keseimbangan politik via pimpinan suku disana, maka di era 1839-an ia membuat keseimbangan. Inggris mendukung salah satu keluarga Durani yang bernama Shuja Shah. Inilah titik awal devide et impera tertancap kuat. Tatkala ada rebutan kekuasaan yang berakhir tragis, yakni 12.000-an tentara Inggris tewas serta Shuja Shah itu sendiri tewas, maka Inggris memilih mundur dari konflik internal kerajaan yang “diciptakan” oleh kekuatan asing disana.

Konflik internal di Afghanistan sebenarnya berbasis dari sistem sosial budaya, terutama rumitnya jaringan berbagai suku yang “sengaja dilestarikan”. Kondisi ini semakin parah akibat campur tangan asing pasca Perang Dunia (PD) II. Sewaktu masuk era perang dingin, justru terlihat gap dan kesenjangan semakin menganga antara Kabul dengan daerah-daerah. Kuatnya pengaruh budaya asing di perkotaan misalnya, menjebak segelintir kelas birokrat yang pernah dilatih di Moskow seperti terasing oleh tradisi lokal warisan leluhur. Ironisnya mereka malah beranggapan, bahwa warga pedesaan tidak beradab, reaksioner serta ketinggalan zaman.

Barangkali dekade 1980-an boleh disebut “fase ketergusuran” para tokoh sufi (semacam Kyai di Indonesia) oleh golongan Islam radikal berkat kucuran dana Intelijen Pakistan (Inter Service Intelligence) yang bersumber dari Saudi Arabia dan AS dalam rangka membentur-benturkan sesama muslim. Tak pelak lagi, merebaknya perang saudara adalah refleksi atas benturan para adidaya dari luar Afghanistan. Ya. Konflik lokal ialah bagian dari konflik global. Itulah asumsi yang tepat guna memotret konflik internal di Afghanistan.

Lagi-lagi, keadaan ini persis Indonesia ketika marak berbagai aliran agama semodel Jemaah Islam Liberal (JIL), Ahmadiyah, radikalisme berkedok agama dan lainnya. Pembiaran aktivitas kelompok-kelompok nyleneh berbungkus kebebasan dan demokrasi oleh elit penguasa, sepertinya melegitimasi operasional konsep Rand Corporation yang membagi umat Islam ke dalam empat gologan, yakni Islam sekuler, modern, tradisional dan fundamental (Lebih lengkap baca: Jurus Sakti Pecah Belah Sesama Islam ala Rand Corporation di www.theglobal-review.com). Dalam rancangan Rand tersebut, umat muslim dipecah belah lalu dibentur-benturkan dalam koridor bid’ah dan kulit-kulit ajaran, namun sungguh ironis justru umat muslim itu sendiri tak meyadari, bahkan larut dalam “tema aliran” yang dibuat oleh asing.

Opium dan Aset CIA

Tatkala Februari 1979 Pakistan melarang penanaman opium, Iran pun mengikuti. Namun adanya wilayah Suku Patun, berlokasi di Pakistan dan Afghanistan menarik hasrat pedagang obat bius karena minimnya penegakkan hukum, bahkan mendirikan fasilitas untuk proses heroin. Fakta lain di tahun yang sama dibuka laboratorium di Nort-West Frontier (Majalah Candian Maclean’s, April 1979). Menurut Alfred McCoy dekade 1980-an, para pedagang opium dan obat bius dari Pakistan serta Afghanistan memenuhi pasar Eropa, bahkan berhasil menguasai 60% kebutuhan opium di Amerika. Ya, kendati 90% perdagangan narkoba dari Afghanistan, namun yang menikmati bukan Afghanistan karena ia cuma bagian jaringan global. Artinya hanya memperoleh 10% dari keuntungan perdagangan obat bius di tingkat global.

Sekali lagi, hal di atas juga mirip kejadian di Indonesia. Dimana prosentase ekspor Singapore, negeri yang tidak memiliki sumberdaya justru jumlah ekspornya dua kali lipat dari Indonesia. Edan tenan!

Menurut data United Nations Office of Drug Control (UNODC) tahun 2007, Afghanistan ialah pemasok 93% opium ke seluruh dunia. Dengan demikian, Afghanistan memperoleh hasil perdagangan obat bius sebesar 4 miliar dolar AS, sekitar separuh dari total ekonomi Afghanistan yang kala itu diperkirakan sebesar 7,5 miliar dollar AS. Ahmad Rashid menyebutkan, Pentagon memiliki daftar sekitar 25 laboratorium dan gudang obat bius di Afghanistan, tetapi sewaktu menginvasi secara militer Afghanistan era 2001 dulu, AS menolak menghancurkan tempat-tempat tersebut dengan alasan gudang-gudang tersebut milik CIA dan sekutu lokalnya. Inilah bukti nyata standar ganda yang dimainkan Uncle Sam dalam hal pemberantasan narkoba. Di permukaan ia berteriak-teriak soal pemberantasan narkoba, namun di bawah justru mengendalikan peredaran. Bahkan James Risen berani melapor, bahwa penolakan AS menghancurkan laboratorium narkoba berasal dari pentolan Neo-Konservatif yang menguasai birokrasi keamanan nasional seperti Douglas Feith, Paul Wolfowitz, Zalmay Khalilzad, serta sang patron Donald Rumsfeld dan lainnya.

Yah, lagi-lagi ini juga mirip-mirip kejadian di republik ini, dimana satu sisi viacapacity building-nya berteriak tentang clean and good goverment, namun di sisi lain gaji birokrasi kecil, sistem politik diciptakan koruptif, model pencitraan memerlukan high cost, maraknya politik dagang sapi (transaksional) dan lainnya. Semua butuh uang banyak. Bagaimana tidak korupsi?

Fakta lain tak kalah menarik, manakala Hamid Karzai kembali dari pengasingannya ia bertekad memerangi para pengedar narkoba. Namun kenyataan di lapangan justru teman-teman bahkan keluarga dan sekutu politikmya terlibat dalam perdagangan narkoba. Uang hasil perdagangan narkoba ternyata digunakan mengamankan dunia perbankan AS dan Eropa dari hantaman krisis global. Itulah yang terjadi.

Perang Candu Gaya Baru

Sejak PD II usai, CIA menggunakan para pedagang narkoba sebagai aset dalam menjalankan berbagai operasi terselubung di berbagai kawasan dunia. Artinya selain melindungi para pengedar dari jeratan hukum, tercatat pola bahwa ketika AS intervensi ke sebuah negara, maka niscaya produksi dan arus perdagangan narkoba di negara tersebut semakin meningkat. Sebaliknya tatkala ia menurunkan intervensi maka produksi dan arus perdagangan pun menurun.

Di Afghanistan misalnya, ketika 1979-an ia mendukung berbagai kelompok Islam radikal melawan Uni Soviet, maka produksi obat bius (opium) pun meningkat drastis. Hal yang sama berulang ketika tahun 2001 pasukan multinasioal pimpinan Bush Jr menyerbu Afghanistan dengan dalih menumpas al-Qaeda dan terorisme pasca peristiwa WTC, produksi opium pun meningkat dari 165.000 ton (2006) menjadi 193.000 ton pada tahun 2007-an. Kendati dekade 2008-an mengalami penurunan sekitar 157.000 ton, hal itu semata karena over-produksi sehingga tidak terserap pasar.

Episode sebelumnya di Burma tahun 1950. Campur tangan CIA di negara ini mampu meningkatkan produksi narkoba dari 40 ton (1939) menjadi 600 ton pada 1970. Di Thailand pun demikian, dari produksi sebelumnya cuma 7 ton (1939) menjadi 200 ton (1968). Di Laos tak ketinggalan, dari produksi 15 ton tahun 1939 menjadi 50 ton pada tahun 1973. Luar biasa kiprah CIA dalam meningkatkan produksi narkoba.

Catatan Prof Peter, di Kolombia (1980) dianggap kasus paling dramatis. Betapa peningkatan produksi narkoba karena kehadiran militer AS berdalih perang terhadap perdagangan narkoba. Luar biasa kamuflase (tipu-tipu)-nya. Disini semakin terbukti asumsi dari Pepe Escobar, bahwa politik praktis itu bukannya yang tersurat melainkan apa yang tersirat!

Menurut Peter dalam konferensi internasional di tahun 1990, adanya campur tangan AS dengan dalih perang memberantas narkoba niscaya bakal terjadi peningkatan produksi dan arus perdagangan obat narkoba, bukannya semakin berkurang. Ia pun menarik asumsi, bahwa intevensi dan keterlibatan AS baik militer ataupun politik pada suatu negara, justru merupakan bagian dari masalah dibandingkan pemecahan masalah. Inilah kata kunci yang mutlak digaris bawahi oleh berbagai elit bangsa dimanapun.

Pertanyaan pamungkasnya ialah: bagaimana dengan maraknya peredaran narkoba dan model intervensi AS dengan kemasan berbeda di negeri kita tercinta? Yang jelas, adanya Lembaga Swadaya Masyarakat yang gencar memperjuangkan legalisasi ganja di republik ini merupakan indikasi bahwa “perang candu” oleh asing tengah dimainkan di Bumi Pertiwi.

Silahkan saudara-saudara mencermatinya ..

* Dari berbagai sumber, terutama sari dari artikel Dina Y. Sulaeman dan Prof Peter Scott Dale

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com