Sebuah analogi, selain merupakan implementasi (seni) literasi guna menyederhanakan narasi, ia juga bertujuan untuk memudahkan pemahaman publik terhadap peristiwa atau isu yang menimbulkan pro-kontra. Dengan kata lain, melalui analogi — diharapkan publik dapat memahami apa yang sesungguhnya terjadi, bukan cuma apa yang terjadi.
Selanjutnya jika masih timbul kontroversi kendati analogi telah disuguhkan sesederhana mungkin, misalnya, maka hal itu kembali pada persepsi masing-masing. Kenapa? Sebab persepsi bukanlah fakta dan kenyataan. Sebab ia (persepsi) selalu dibarengi apriori, misalnya, atau maqom, nilai-nilai yang dianut, pendidikan, latar belakang, atau bisa jadi faktor kepentingan, kecerdasan dan lain-lain.
Konflik Palestina versus Israel kemarin, sempat muncul kontroversi yang kontra produktif karena menguras energi publik ketika berkembang narasi, bahwa konflik Palestina versus Israel seolah-olah cuma diawali oleh serbuan roket-roket Hamas ke Israel. Agaknya narasi tadi, sepertinya mau menggiring opini bahwa “Hamaslah yang memulai konflik,” sedang fakta lainnya diedit alias digelapkan.
Nah, di sini mulai terbaca, penyebutan Hamas saja —bukan Palestina— itu sudah ujud penggelapan fakta, atau penyesatan isu bahwa kolonisasi Israel terhadap Palestina seolah-olah cuma sekedar konflik antara Hamas (salah satu faksi di Palestina) melawan Israel belaka. Ya. Dalam dunia (geo) politik praktis, trik tersebut sah-sah saja karena bagian dari modus propaganda.
Ketika kemudian muncul narasi kebalikan dari hal di atas, pro kontra pun tak terelakkan. Publik (awam) menjadi gaduh bahkan galau menyikapi dua narasi yang bertolak belakang. Mana yang benar?
Tatkala muncul analogi dalam bentuk anekdot dan meme: “Israel dianalogi sebagai anjing dan Palestina selaku tuan rumah”.
Pada awalnya 1) anjing tidur di lantai, dan tuan tidur di ranjang; 2) episode berikut, anjing tidur seranjang dengan sang tuan; 3) tahap selanjutnya, si anjing tidur seenaknya dengan kaki melintang, misalnya, sehingga si tuan terpinggirkan; dan 4) tahap akhir, si tuan tidur di lantai dan anjing justru tidur di ranjang.
Itulah fungsi analogi. Penyederhanaan isu dengan narasi simpel tanpa mengurangi substansi. Pada akhirnya, publik awam pun manggut-manggut. Mereka menjadi paham atas situasi yang sesungguhnya terjadi, bukan cuma apa yang terjadi di permukaan.
Contoh lain. Kemarin juga heboh lagi tentang hari kelahiran Pancasila. Publik kembali terbelah. Sebagian masyarakat sepakat 1 Juni 1945 sebagai hari lahir saat Bung Karno (BK) pidato kali pertama mengusulkan draft Pancasila di sidang BUPK (I); tetapi, sebagian lain sepakat bahwa hari lahir adalah 18 Agustus 1945 ketika Pancasila disyahkan oleh sidang PPKI. Lagi-lagi, publik pun kembali berdengung. Terbelah.
Muncul analogi sederhana tetapi pas. Ya. Ibarat kelahiran manusia di muka bumi, pidato BK di depan BUPK(I) ialah keluarnya sperma awal tatkala sepasang insan tengah memadu kasih. Sedangkan sidang (dan pidato para tokoh lain) lainnya, termasuk Piagam Djakarta adalah proses bertemunya sperma dan indung telur, pembuahan, pembibitan, proses pertumbuhan janin dan seterusnya. Nah, selanjutnya sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang mengesyahkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia — itulah hari kelahiran Pancasila.
Inilah salah satu manfaat dan pentingnya analogi agar publik bisa memahami riil peristiwa/isu daripada sekedar gaduh pro-kontra yang menguras energi.
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments