COVID-19, Depopulasi dan Vaksin mRNA

Bagikan artikel ini

The New York Times (22/05/20021) memprediksi akan terjadi pengurangan populasi besar-besaran selama beberapa dekade mendatang.

“Lebih sedikit tangisan bayi.”

“Lebih banyak rumah terlantar.”

“Menjelang pertengahan abad ini, ketika kematian mulai melebihi kelahiran, perubahan akan datang yang sulit untuk dipahami.”

“Ruang bersalin sudah ditutup di Italia. Kota-kota hantu muncul di timur laut Cina. Universitas di Korea Selatan tidak dapat menemukan cukup banyak mahasiswa, dan di Jerman, ratusan ribu properti telah diratakan, dengan tanah diubah menjadi taman.”

Apakah itu semua benar? Itu semua masih butuh kajian dan pembuktian lebih lanjut.

Menariknya, artikel tersebut tidak pernah menyebutkan sifat eugenika tentang pengurangan populasi yang disengaja. Eugenika adalah istilah sosial yang berarti memperbaiki ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat. Istilah ini juga mengandaikan tindakan manipulasi terhadap kumpulan gen manusia dengan tujuan pemurnian ras atau tujuan-tujuan lainnya.

Sehubungan dengan pandemi COVID-19, kampanye vaksinasi cenderung dipaksakan di banyak negara. Dalam hal ini, “terapi gen” jenis mRNA yang sejatinya belum teruji dan diizinkan oleh CDC AS untuk diterapkan sebagai “tindakan darurat” dalam keadaan pandemi sejatinya tidak memiliki semua karakteristiknya, namun harus disulut seolah tampak sebagai pandemi. Hal ini bisa diamati dari sekian banyaknya kasus kematian yang muncul dari sebab apapun – bahkan kecelakaan mobil atau motor – bisa – dikategorikan sebagai kematian akibat COVID-19.

Di AS, rumah sakit dibayar US$ 13.000 untuk setiap pasien yang terdiagnosis covid dan US$ 39.000 untuk setiap “pasien covid” yang memakai ventilator. Awal tahun ini, dokter di New York telah sampai pada kesimpulan bahwa lebih dari 80% pasien dengan ventilator tidak dapat bertahan hidup dengan ventilator. Lihat ini.

Namun, warga dunia harus tetap waspada, mengingat saat ini terjadi “pelonggaran” pembatasan COVID-19 di AS dan banyak negara Eropa. Pelonggaran ini membawa kebahagiaan, senyuman, dan perasaan ceria oleh penduduk – dengan harapan yang kuat bahwa pandemi ini sudah selesai. Mungkinkah pelonggaran ini menjadi pintu masuk terjadinya lonjakan angka kematian yang lebih mengerikan.

Terbukti, akibat gelombang tsunami COVID-19 saat ini, muncul varian baru–yang semoga saja bukan produk laboratorium buatan manusia–yang disinyalir jauh lebih mematikan. Varian baru ini tentu akan berimplikasi pada tindakan-tindakan dari pemerintah yang lebih menindas dan diktator, dengan memaksakan terapi gen yang dapat mempengaruhi sistem saraf manusia. (Untuk lebih lanjut, lihat Pfizer Vaccine Confirmed to Cause Neurodegenerative Diseases: Study).

New York Times berusaha keras untuk menjelaskan mengapa populasi dunia memasuki masa reses dan langsung menurun, tanpa pernah menyebutkan COVID-19 dan agenda mematikannya yang jahat.

“Meskipun beberapa negara terus melihat populasi mereka tumbuh, terutama di Afrika, tingkat kesuburan turun hampir di tempat lain. Para ahli demografi sekarang memprediksi bahwa pada paruh kedua abad ini atau mungkin lebih awal, populasi global akan memasuki penurunan berkelanjutan untuk pertama kalinya.”

Mengapa tingkat kesuburan tiba-tiba turun di negara-negara “maju”? Karena orang-orang menyadari bahwa untuk menyelamatkan planet ini, dunia membutuhkan lebih sedikit, jauh lebih sedikit “pemakan” dan konsumen? – Atau lebih tepatnya apakah itu ada hubungannya dengan “vaksin” COVID palsu yang dipaksakan secara luas? – lihat video Dr. Mercola.

Namun apakah mata rantai peristiwa merebaknya COVID-19 di seluruh dunia sejalan dengan agenda klan Gates-Rockefellers-Kissinger dkk?

Apakah itu sebabnya injeksi tipe mRNA – persetujuan darurat CDC sebagai “terapi gen” – termasuk komponen anti-fertilitas dan sterilisasi?

Dan – dapatkah Anda bayangkan – CDC baru-baru ini merekomendasikan pemberian “injeksi terapi gen yang belum terbukti dan belum teruji ini kepada wanita hamil. Padahal, sebelumnya dan dalam keadaan apa pun wanita hamil tidak boleh diberikan obat “eksperimental” yang belum teruji.

Faktanya, tingkat aborsi wanita hamil yang menerima inokulasi tipe mRNA mencapai 30% – mungkin jauh lebih tinggi jika kasus yang tidak dilaporkan diperhitungkan. Dengarkan Dr. Joseph Mercola.

Ada anggapan umum bahwa COVID-19 bukan tentang kesehatan atau kekebalan, melainkan tentang pengurangan populasi dunia; agenda eugenika. Mike Whitney mengungkapkan pandangan yang jelas ke arah mana dorongan vaksinasi COVID-19 yang tidak perlu ini akan bermuara. Ini tidak ada hubungannya dengan perlindungan kesehatan masyarakat. Sebaliknya, Ini tentang depopulasi. Mari kita cermati dua penyataan berikut ini:

“Sama sekali tidak perlu vaksin untuk memadamkan pandemi… Anda tidak memvaksinasi orang yang tidak berisiko terkena penyakit. Anda juga tidak perlu rencana untuk memvaksinasi jutaan orang sehat dan bugar dengan vaksin [eksperimental]yang belum diuji secara ekstensif pada subjek manusia.” Dr. Mike Yeadon PhD, mantan Wakil Presiden Pfizer dan Kepala Ilmuwan untuk Alergi & Penyakit Pernapasan.

“Apa yang kita ketahui tentang virus corona dari pengalaman 30 tahun adalah bahwa vaksin virus corona memiliki kekhasan yang unik, yaitu setiap upaya pembuatan vaksin telah menghasilkan penciptaan kelas antibodi yang benar-benar membuat orang yang divaksinasi lebih sakit ketika mereka akhirnya terpapar virus liar.” Robert F.Kennedy Jr.

New York Times mengutip Frank Swiaczny, seorang ahli demografi Jerman yang menjadi kepala tren dan analisis populasi untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa hingga tahun lalu:

“Pergeseran paradigma itu perlu. Negara-negara perlu belajar untuk hidup bersama dan beradaptasi dengan penurunan [populasi].”

Untuk meningkatkan pergeseran paradigma ini – dan untuk membuatnya tampak – dan meyakinkan publik, dimunculkanlah “drama” COVID-19 sebagai fenomena normal yang tak terbendung, New York Times memprediksi, atau lebih tepatnya membuat publik takut dengan berspekulasi,

“Akibat dan respon sudah mulai terlihat, terutama di Asia Timur dan Eropa. Dari Hongaria hingga Cina, dari Swedia hingga Jepang, pemerintah berjuang untuk menyeimbangkan tuntutan kelompok tua yang membengkak dengan kebutuhan kaum muda yang keputusan paling dekat tentang melahirkan anak sedang dibentuk oleh faktor-faktor baik positif (lebih banyak kesempatan kerja bagi perempuan) maupun negatif (ketidaksetaraan gender yang terus-menerus dan biaya hidup yang tinggi).”

Karena vaksin mRNA bersifat eksperimental, tidak ada riwayat apakah tubuh dapat membersihkan dirinya sendiri dari efek samping yang berbahaya seperti pembekuan darah yang menyebabkan trombosis, potensi kelumpuhan, dan kematian atau tidak.

Prediksi ilmiah adalah bahwa suntikan tipe mRNA mempengaruhi genom manusia, dan tubuh kemungkinan besar tidak akan pernah melakukan detoksifikasi dari apa pun yang mempengaruhi DNA.

Jika asumsi ini benar, itu berarti, singkatnya, akan terjadi kejahatan genosida massal terhadap kemanusiaan. Ini sejalan dengan pandangan Dr. Joseph Mercola – lihat di atas, serta Dr. Sucharit Bhakdi tentang pembekuan darah, dan konsekuensi kesehatan yang merusak, yaitu menyebabkan stroke otak, kelumpuhan dan kematian.

New York Times dengan lembut mempersiapkan kita untuk kejahatan ini, menyebut “penurunan populasi” yang akan datang ini sebagai fenomena alam, karena perubahan demografi – yang diharapkan karena “gaya hidup berlimpah” di negara-negara barat dan karena perubahan iklim buatan manusia (mea-culpa) mengakibatkan berkurangnya panen dan berpotensi menyebabkan kelaparan di negara berkembang (Global South).

“Ini adalah perang dunia yang disengaja terhadap darah manusia,” menurut Dr. Sherri Tenpenny dan Pemenang Nobel, Dr. Luc Montagnier, serta Dr. Mike Yeadon, mantan Wakil Presiden Pfizer dan Kepala Ilmu Pfizer – dan lainnya.

“Suntikan akan membunuh dan tidak akan pernah berhenti membunuh.”

Dr. Montagnier, di antara ahli virologi top dunia, memproyeksikan penurunan drastis harapan hidup banyak orang yang telah menggunakan “suntikan pembunuh”.

Lihat data resmi terbaru kematian dan cedera Vaksin untuk UE (dari akhir Desember 2020 hingga 22 Mei 2021)

Setelah keputusan World Economic Forum (WEF), pada Januari 2020, WHO menyebut virus pada Januari 2020 sebagai yang pertama SARS-CoV-2 – dinamai berdasarkan virus SARS yang melanda China dari 2002-2003, kemudian, beberapa minggu kemudian, WHO mengganti nama “monster” yang tidak terlihat ini sebagai instrumen untuk menciptakan ketakutan, COVID-19.

Jadi, juga keputusan WEF, WHO menyatakan penyakit ringan ini sebenarnya pada 11 Maret 2020 sebagai pandemi, ketika di mana di seluruh dunia, menurut statistik WHO hanya 44.279 kasus positif dan 1440 kematian di luar China. Ketakutan meningkat, dan “Doktrin Kejutan” berhasil. Semua 193 negara anggota PBB menerima penguncian total pertengahan Maret 2020.

“The Shock Doctrine” (2007), oleh Naomi Klein, menggambarkan bagaimana kapitalisme bencana mengambil keuntungan dari situasi kejutan, alami atau buatan, untuk menerapkan aturan dan regulasi baru, yang jika tidak, tidak akan mudah diterima.

Bayangkan! Semua 193 negara anggota PBB sekaligus – sebuah kemustahilan epidemiologis. Namun, orang-orang di seluruh dunia menerima aturan baru – yang pada akhirnya menghancurkan ekonomi dunia, menghancurkannya sampai pada titik di mana perusahaan-perusahaan kecil dan menengah benar-benar musnah, membuat orang menganggur di jalanan, berjuang mencari sarana untuk bertahan hidup, meningkatkan tingkat kemiskinan di seluruh dunia secara eksponensial.

Konsekuensinya, terutama di negara-negara berkembang (Global South), keputusasaan, penderitaan karena tidak memiliki tempat tinggal, tidak tersedianya cukup makanan dan kelaparan merajalela. Namun, beberapa miliarder papan atas memanfaatkan momentum ini dengan segera melakukan kontrol melalui Satu Tatanan Dunia dengan meningkatkan kekayaan gabungan mereka hanya dalam beberapa bulan sekitar 200 miliar dolar.

Program Pangan Dunia (WFP) memperkirakan total populasi yang menderita akibat kelaparan akut lebih dari seperempat miliar (265 juta) pada akhir 2020, sekitar setengah dari mereka terkait dengan COVID – dan terus meningkat. “Angka-angka baru ini menunjukkan skala bencana yang kita hadapi,” kata WFP. Banyak dari mereka tidak akan bertahan, tetapi angka pastinya tidak diketahui. Seiring berjalannya waktu, mereka akan menjadi bencana besar, yang mengakibatkan ratusan ribu kematian. Ini adalah hasil kejahatan tingkat tinggi dari supra-komplotan jahat yang menciptakan Agenda ID2020, Agenda PBB 2030, Great Reset – kejahatan di seluruh dunia terutama bagi mereka yang sudah miskin dan rentan.

Menurut Dr. Sucharit Bhakdi, ahli mikrobiologi Jerman, dan seperti dilansir The New American pada 16 April 2021 dalam artikel berjudul “Covid shot to Decimate the World Population”.

Dr. Bhakdi memperingatkan bahwa histeria COVID didasarkan pada kebohongan dan bahwa “vaksin” COVID, terutama jenis mRNA, akan menyebabkan bencana global dan kemungkinan penipisan populasi manusia. Pihaknya juga menjelaskan bahwa tes PCR telah disalahgunakan untuk menghasilkan ketakutan dengan cara yang tidak ilmiah.

Akhirnya, Bhakdi, yang memperingatkan tentang “malapetaka” yang akan datang selama wawancara dengan Fox News yang menjadi viral, menyerukan penuntutan pidana terhadap orang-orang yang bertanggung jawab dan segera menghentikan eksperimen global ini. Lihat ini

Inilah yang yang menjadikan alasan New York Times mewartakan dalam salah satu artikelnya– alasan yang tentu saja tidak disebutkan oleh New York Times. Tampaknya perhatian media tersebut adalah peringatan utama dan mempersiapkan orang tentang apa yang mungkin terjadi, tetapi juga, menyebarkan lebih banyak ketakutan, membuat orang yang lebih rentan, lebih lemah, lebih jauh lagi menghancurkan sistem pertahanan otomatis manusia.

Namun demikian, selalu ada harapan, meskipun dalam artikel NYT tidak menyebutkannya. Menurut Peter Koening, cara terbaik bagi umat manusia untuk merespons Kesulitan Planet Covid adalah dengan secara kolektif menolak vaksinasi dan secara aktif menolak digitalisasi data pribadi serta uang.

Dengan demikian Anda menolak diambil alih oleh Kecerdasan Buatan – diperbudak oleh elit keuangan super.

Kita jelas memiliki kekuatan dalam diri kita untuk mengatasi tirani jahat yang melayang di atas kita – hampir di seluruh dunia tanpa kesalahan. Ini adalah masalah kepercayaan pada diri kita sendiri, kekuatan pemikiran positif dan cinta kolektif – dan pada kekuatan solidaritas.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com