Memahami Ulah VOC dan PRT di Jalur Sutra (Bagian 3 – Habis)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto / Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute

Inti PRT adalah membuat tandingan atau membentuk pemerintah bayangan bagi daerah dan sasaran target. Mempunyai semacam kepolisian atau militer tersendiri — termasuk “preman-preman”. Berlaku sistem hirarkie dan administrasi sendiri untuk kewilayahan dieksplorasi, daerah target dieksploitasi sesuai hasrat dan hajatan kepentingan berorientasi profit.

Modusnya pergerakan massa, berbasis aspirasi aktual seperti korupsi, kemiskinan, HAM, supremasi hukum dan seterusnya pada tempat yang akan “dikerjai”. Pada suatu kawasan relatif kondusif, tujuan PRT biasanya penggusuran tanah warga. Ia masuk dan penitrasi ke dalam hiruk-pikuk politik negara atau daerah yang ditumpangi.

Banyak praktek PRT di berbagai “negara jajahan”. Ibarat kota di dalam kota, atau provinsi dalam provinsi. Ada negara di dalam negara. Sasaran antaranya ialah Absente of Loard.  Mengubah posisi (rakyat) pemilik kedaulatan menjadi TUAN TANAH YANG TIDAK BERPIJAK PADA TANAHNYA SENDIRI. Tanah Air tinggal airnya saja, tanahnya direngut entah oleh siapa. Ya, itulah MNC dan jaringan individu mengglobal lainnya sebagai Tuan Tanah Baru.

Contoh yang dipotret William F Engdahl, pengarang buku Full Spectrum Dominance: Totalitarian Democracy in the New World Order, adalah kiprah National Endorwement of Democratic (NED) dan Asosiasi Nasional untuk Perubahan (NAC) bentukan El Baradei, yang mendukung mantan Direktur Badan Atom Internasional PBB untuk menjadi Presiden pasca Mubarak. NAC meliputi antara lain George Ishak – pemimpin Gerakan Kefaya, dan Mohamed Saad El-Katatni, presiden blok parlemen dari Ikhwan Muslim yang kontroversial.

Kefaya berada di jantung mobilisasi demonstrasi rakyat Mesir yang menginginkan pencalonan El Baradei. Kata Kefaya itu sendiri berarti “cukup”. Anehnya, para perencana di NED dan LSM terkait warna revolusi tampaknya telah kehilangan kreatifitas dalam membuat nama baru yang menarik untuk skenario Mesir. Pada bulan November tahun 2003, saat melancarkan Revolusi Bunga Ros di Georgia, LSM yang dibiayai AS memilih jargon kampanye “Kmara” untuk mengidentifikasi gerakan perubahan rezim berbasis pemuda. Dalam bahasa Georgia, Kmara berarti “cukup”.

Seperti Kefaya di Mesir, Kmara di Georgia juga dibangun oleh pelatih-pelatih NED dan kelompok lain yang dibiayai Washington, bernama Gene Sharp. Lembaga-lembaga yang terlibat perubahan rezim di kedua negara di atas menggunakan cara non kekerasan sebagai metode peperangan.

Masih menurut Engdahl, berbagai jaringan pemuda di Georgia sebagaimana halnya gerakan Kefaya, secara cermat dilatih sebagai jaringan, desentralisasi sel yang longgar, dan sengaja menghindari format organisasi terpusat yang bisa rusak dan stagnan. Pelatihan aktivis dalam teknik-teknik perlawanan non-kekerasan dilakukan pada fasilitas olahraga, sehingga tampak tidak mencurigakan. Aktivis juga diberikan pelatihan pemasaran politik, hubungan dengan media, mobilisasi dan keterampilan merekrut.

Kefaya adalah nama resmi Gerakan Perubahan di Mesir. Didirikan pada tahun 2004 oleh intelektual Mesir pilihan di rumah Abu’l-Ala Madi, pemimpin partai al-Wasat, partai yang dilaporkan bentukan Ikhwanul Muslimin (IM). Kefaya diciptakan sebagai koalisi yang hanya dipersatukan oleh kepentingan untuk mengakhiri pemerintahan Mubarak. Kefaya sebagai bagian dari Gerakan 6 April dikapitalisasi awal dalam situs-situs jejaring sosial baru dan teknologi digital sebagai sarana utama mobilisasi. Secara khusus, blogging politik, posting di youtube dan fotografi yang terampil benar-benar dimanfaatkan sebagai sarana kampanye. Pada reli bulan Desember 2009, Kefaya telah mengumumkan dukungan pencalonan Muhammad El-Baradei untuk pemilu 2011 Mesir (William F. Engdahl).

Di Libya, PRT berkedok sebagai lembaga bantuan “seolah-olah” sukarela (filantropi) via yayasan-yayasan besar di Amerika Serikat, seperti Carnagie, Rockefeller, Ford dan seterusnya. Bermodus penelitian ilmiah dan kepentingan ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial.

Filantropi adalah selubung yang cukup “cantik” dan “ramah”  sebagai kemasan untuk mengaburkan kepentingan suatu ideologi. Selanjutnya prinsip dan metode ilmiah yang digunakan untuk menyalurkan filantropi sekaligus merupakan metode yang sangat canggih bagi sebuah cara kerja ideologi (Wildan Pramudya, Staf Peneliti Senior LP3ES). Tesis sentral yang ingin dibuktikan oleh para penulis dalam risetnya adalah bahwa : yayasan tadi menyuguhkan pengaruh yang merusak di dalam masyarakat yang menjadi sasaran bantuannya. Dengan kekuatannya yang beroperasi secara acak dan tidak akuntabel, dengan kekayaannya mereka membeli bakat-kemampuan, mengajukan pendasaran argumentasi, yang sejatinya untuk membangun suatu agenda mengenai apa yang patut bagi kebaikan masyarakat.

Pertanyaan mengapa ilmu sosial, oleh karena melalui ilmu sosial dan perubahan sosial (masyarakat) itu dapat ditata secara rasional. Prinsip penataan secara rasional ini pada dasarnya adalah pengendalian sosial sekaligus merupakan watak natural kekuasaan (Peter Seybold). Dan jika mengutip Geertz, para filantropis ini mencetak universitas tadi sebagai “makelar budaya”.

Demikian sekilas kiprah dan ulah VOC dengan berbagai modus dan kemasan PRT-nya di Kelompok Negara Jalur Sutra yang terbentang dari Maroko hingga Cina baik dari Jalur UTARA maupun SELATAN. Sesungguhnya masih banyak cara dan pola lain mungkin lebih canggih, namun tak terpotret oleh penulis karena sedikitnya referensi, waktu dan terutama keterbatasan kemampuan penulis sendiri.

Dan tulisan tak ilmiah ini bukanlah kebenaran, apalagi pembenaran, namun sebatas wacana dalam rangka menyikapi merebaknya gejolak massa di berbagai negara di Jalur Sutra yang seolah-olah “spontan” berawal dari sistem dan konflik di internal suatu negara.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com