Sejak awal 1980-an, Washington secara diam-diam mendukung faksi-faksi Islam yang paling konservatif dan fundamentalis, dengan tujuan untuk memperlemah pergerakan kekuatan-kekuatan politik berhaluan nasionalis progresif di Timur Tengah dan Asia Tengah.
Misi Wahhabi dan Salafi dari Arab Saudi dikirim ke Afghanistan, bahkan juga ke negara-negara Balkan dan beberapa negara Muslim yang secara diam-diam didukung oleh badan intelijen Amerika Serikat CIA. Menurut Michel Chossudovsky dalam bukunya Towards A World War III Scenario, The Danger of Nuclear War, yang seringkali disebut “Islam Politis” itu sebagian besar merupakan ciptaan intelijen AS dengan dukungan MI6 Inggris dan Mossad Israel.
Adapun sasarannya adalah untuk memprovokasi terjadinya tindakan militer dengan dalih untuk membela diri terhadap aksi-aksi terorisme yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok Islam radikal.
Padahal kalau kita telisik secara lebih mendalam, sasaran strategis AS adalah untuk menguasai kepemilikan korporasi atas kekayaan minyak yang sangat melimpah ruah di di kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah. Seraya menerapkan swastanisasi perusahaan-peruahaan milik negara di bawah skema International Monetary Fund dan Bank Dunia. Serta pengalihan aset ekonomi negara-negara tersebut ke tangan asing.
Inilah akar sesungguhnya mengapa AS dan Inggris memutuskan mendukung Free Syrian Army dan Jabhat al-Nusra(nama lain dari ISIS yang berbasis di Suriah), untuk menggulingkan Presiden Bashar al Assad. Dengan dalih bahwa dukungan terhadap kelompok-kelompok Oposisi anti Assad tersebut bertumpu pada “Operasi Kemanusiaan.” Padahal yang sesungguhnya Operasi Kemanusiaan tersebut digunakan sebagai kedok dari sebuah Operasi Militer dan Campur Tangan Asing.
Fenomena Free Syrian Army dan Jabhat al-Nusra sebagai hanya sebuah alat bagi AS dan sekutu-sekutu Baratnya untuk melancarkan Perang Yang Beralasan(Jus ad bellum). Yaitu untuk membangun suatu konsesus dalam struktur komando Angkatan Bersenjata.
Gagasannya adalah, suatu perang dinyatakan “adil” apabila dilancarkan dengan alasan moral, agama atau etika. Inilah Perang Persepsi yang dibangun Washington untuk membangkitkan dan mengendalikan dukungan rakyat sehingga AS mendapat legitimasi untuk melancarkan Perang Militer di Asia Tengah dan Timur Tengah.
Dalam kasus Suriah, skenario AS-NATO-Israel dalam mendukung Free Syrian Army dan Jabhat al-Nusr sebenarnya bukan sekadar menggulingkan pemerintahan Assad. Lebih dari itu, untuk melakukan Balkanisasi Suriah. Hal ini terungkap melalui rencana strategis mereka untuk menguasai ZONA SURIAH UTARA yang membentang dari Jarabulus ke Afrin dan Al-Dana. Menurut analis Geopolitik Tony Cartalucci yang sekarang bermukim di Bangkok-Thailand, Inilah Zona yang menjadi titik-tolak AS dengan dukungan Turki, untuk menguasai Suriah secara menyeluruh.
Dari fakta ini nampak jelas, bahwa dukungan terhadap kelompok-kelompok oposisi anti Assad tidak murni atas dasar demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Melainkan ada indikasi kuat untuk memperuas lingkup pengaruhnya secara geopolitik di Suriah, yang tentunya didasari niat untuk melakukan pelanggaran kedaulatan dan integritas territorial Suriah sebagai negara bangsa.
Nampaknya, Rusia berhasil membaca agenda tersembunyi AS-NATO-Israel dan Turki. Sehingga secara tibat-tiba, Rusia memutuskan untuk terlibat secara aktif memberikan bantuan militer kepada pemerintahan Assad.
Sehingga ketika kemudian Rusia dan pasukan militer pro pemerintahan Presiden Assad berhasil menguasai kembali beberapa wilayah Suriah Utara itu, maka rencana AS dan sekutu-sekutu baratnya termasuk Israel dan Turki untuk melakukan Balkanisasi Suriah, akan hancur berantakan. Sekaligus memotong jalur pasokan ISIS dan front al-Nusra dari Turki.
Hakekatnya Adalah Pertempuran Demi Minyak Bumi
Lebih dari 60 persen cadangan minyak dan gas bumi di dunia terletak di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Iran memiliki 10 persen cadangan minyak dan gas di dunia. Sedangkan AS hanya memiliki kurang dari 2 persen cadangan minyak bumi dan gas yang ada di dunia.
Maka itu, Perang yang dilancarkan AS, NATO dan Israel di Asia Tengah dan Timur Tengah ditujukan untuk mendapatkan kendali atas lebih dari 60 persen cadangan minyak bumi dan gas alam di dunia tersebut.
Para pemain migas global yang berasal dari Anglo-Amerika itu juga berusaha untuk mendapatkan kendali atas rute jalur pipa minyak bumi dan gas keluar dari kedua kawasan tersebut.
Sekadar informasi. Negara-negara berpenduduk Muslim seperti Arab Saudi, Irak, Iran, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Yaman, Libya, Nigeria, Kazakhstan, Azerbaijan, Malaysia, Indonesia, dan Brunei memiliki 66,2 persen hingga 75,9 persen total cadangan minyak. Sedangkan negara-negara cadangan minyak besar non-Muslim di dunia adalah Venezuela, Rusia, Meksiko, Cina dan Brazil.
Dengan demikian, bagian terbesar cadangan minyak terbesar di dunia terletak di daerah yang membentang dari ujung Yaman hingga cekungan Laut Kaspia (di utara) hingga garis pantai Mediterania Timur hingga Teluk Parsi(di Timur). Dengan kata lain, Kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah ini merupakan sasaran geopolitik AS, NATO dan Israel.
Saat ini negara-negara yang berada dalam lingkup Asia Tengah dan Timur Tengah itu dikelilingi oleh kapal perang-kapal perang NATO yang ditempatkan di Mediterania Timur dengan dalih sebagai bagian dari Operasi Pemeliharaan Perdamaian PBB. Sedangkan Satuan Serang Pengangkut dan Skuadron Penghancur AS diluncurkan di Teluk Parsi dan Laut Arab dengan dalih untuk Perang Melawan Terorisme.
Padahal sasaran sesungguhnya adalah menggabungkan aksi militer, operasi intelijen tersembunyi dan propaganda perang, dalam rangka menghancurkan keutuhan jalinan nasional dan mentransformasikan negara-negara berdaulat menjadi zona ekonomi terbuka, dimana sumberdaya alam dapat dieksploitasi dan dikuasai di bawah skema “Pasar Bebas.”
Di sinilah Suriah, menjadi salah satu sasaran utama AS, NATO dan Israel untuk dikuasai. Maka salah satu tahapannya adalah, menggalang sebuah koalisi internasional menggulingkan Presiden Assad. Tentu saja Suriah bukan satu-satunya target mereka, melainkan juga Iran. Bahkan sejak era pemerintahan Presiden George W Bush, kedua negara tersebut dinyatakan sebagai “Poros Kejahatan.”
Di kawasan Afrika, AS dan NATO mendorong terciptanya Perang Saudara, sebagaimana mereka lancarkan di beberapa negara penghasil minyak bumi dan gas alam strategis di Nigeria, Sudan, Kolombia, Somalia, Yaman, Angola, dah Chechnya maupun beberapa negara eks Uni Soviet.
Perang Saudara yang disponsori AS-NATO-Israel, termasuk penyaluran dukungan rahasia terhadap kelompok-kelompok para militer, antara lain nampak jelas terlihat di daerah Darfur di Sudan maupun Somalia. Belum banyak kalangan yang tahu bahwa Darfur memiliki cadangan minyak yang sangat besar. Di Somalia, raksasa minyak Anglo-Amerika telah mendapatkan konsesi yang sangat menguntungkan dari pemerintah.
Menurut informasi yang berhasil dihimpun oleh Tim Riset Global Future Institute, ternyata hampir dua pertiga negara Somalia telah diberikan kepada beberapa raksasa minyak Amerika seperti Conoco,, Amoco(Sekarang bagian dari British Petroleum), Chevron, dan Phillips pada tahun-tahun terakhir sebelum Presiden Somolia yang pro AS Mohamed Siad Barre, dijatuhkan, yang berakibat negara tersebut dilanda kekacauan pada Januari 1991.
Maka tak perlu heran jika di beberapa negara yang masuk kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah tersebut di atas, faksi-faksi Islam konservatif dan fundamentalis yang berafiliasi dengan kelompok-kelompok binaan AS-NATO-Israel, tiba-tiba banyak bermunculan bak jamur di musim hujan.
Di Afghanistan namanya “Taliban”, Di Yaman dijuluki “al-Qaeda in Arabian Peninsula”, di Libya bernama “Ansar al-Sharia”, di Nigeria stigmanya “Boko Haram”, di Aljazair bernama “al-Qaeda in Islamic Maghreb”, di Syria disebut “Jabhat al-Nusra”, di Somalia istilahnya “al-Shabab”, sementara di Indonesia? Mereka menyebut diri sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Di Irak dan Suriah, namanya ISIS.
Padahal kalau ditelisik secara mendalam, Mereka itu, entah Boko Haram, atau MIT, al Shabab, Jabhat al Nusra, Ansar al Sharia, bahkan ISIS itu sendiri, sejatinya merupakan ranting atau anak-anak yang lahir dari “rahim” al Qaeda. Dan kini, afiliasi terpopuler adalah ISIS (Islamic State in Iraq and al Syria).
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)