Ketika pihak barat menuding bahwa yang dihantam dan digempur pasukan Rusia adalah basis-basis pertahanan kelompok oposisi anti Presiden Suriah Bashar al Assad dan bukan ditujukan kepada kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), sebenarnya pengamatan pihak Barat tersebut salah besar. Karena kelompok oposisi anti Assad yang didominasi oleh apa yang disebut “Jabhat al-Nusra”, sejatinya sama saja dengan ISIS. Bahkan boleh dikatakan, Jabhat al Nusra merupakan ISIS yang ada di Suriah. Seperti halnya Taliban di Afghanistan, al-Qaeda di Yaman, Boko Haram di Nigeria, al-Shabab di Somalia. Bahkan di Indonesia, menyebut diri sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Oleh sebab itu, ketika baru-baru ini Arab Saudi menggagas terbentuknya pusat perlawanan terhadap terorisme internasional, kiranya perlu diperjelas secara spesifik terlebih dahulu kelompok-kelompok mana saja yang dimaksud dengan kelompok-kelompok teroris. Karena konstalasi konflik di Suriah saat ini sudah semakin rumit, dan berkembang ke arah Proxy War alias Perang Perwalian antara kubu militer anti Assad versus kelompok-kelompok militer pro Assad. Kubu anti Assad yang bermaksud menggulingkan Assad dari kursi kepresidenan, mendapat dukungan dari Arab Saudi (berikut sekutu-sekutu arabnya), Amerika Serikat beserta sejumlah negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO, dan Turki. Berbagai persenjataan bagi kelompok-kelompok oposisi anti Assad disalurkan oleh CIA dan badan intelijen Arab Saudi melalui perbatasan Turki.
Pihak Barat mengklaim bahwa keberadaan ISIS hanyalah “pemain liar” yang berusaha memanfaatkan kekisruhan di Surah dan Irak untuk kepentingannya sendiri dalam menguasai wilayah yang luas di Suriah maupun Irak. Namun kalau kita mencermati asal-usul ISIS yang dari awal merupakan binaan dari CIA-MI6 (Inggris) dan Mossad (Israel), nampaknya klaim pihak barat tersebut sejatinya merupakan upaya “Cuci Tangan” belaka.
Pada pihak lain, melihat situasi dimana posisi Assad semakin kritis dan berada di ujung tanduk, Rusia mengambil inisiatif memberi bantuan militer secara aktif kepada militer pro Assad bersama-sama dengan Iran dan Hizbullah-Lebanon. Bagi pemerintahan Assad, keputusan Presiden Putin untuk memberi bantuan militer kepada Suriah, merupakan “suntikan tenaga baru” bagi pemerintahan Assad. Betapa tidak. Ketika Rusia belum ikut turun tangan secara langsung, militer Suriah berada dalam posisi terdesak karena sudah banyak wilayah yang dikuasai kelompok oposisi anti Assad dan kelompok ekstrem ISIS.
Dan bantuan militer Rusia pun tidak tanggung-tanggung. Saat ini Rusia setidaknya sudah mengerahkan 28 pesawat tempur dan pembom antara lain dari jenis Sukhoi Su-24 dan Su-25, dan beberapa pesawat jenis Su-27. Pesawat-pesawat itu ditempatkan di sebuah lapangan udara di provinsi Latakia, bagian Barat Suriah. Selain itu, Rusia juga telah mengirim tentara hampir 2000 orang. Yang terdiri dari tentara, pilot jet tempur, penasehat militer, dan beberapa insinyur militer. Rusia juga telah mengirimkan helicopter pengangkut atau tempur.
Selain itu, alasan keikutsertaan Rusia membantu Assad pun kiranya cukup logis yaitu sebagai kontra strategi terhadap Amerika dan sekutu-sekutu baratnya. Yaitu, untuk mendukung pemerintah Suriah yang sah di bawah Presiden Bashar al Assad, dalam melawan terorisme. Sehingga ketika pihak Barat menuding Rusia dan sekutu-sekutunya bahwa serangan militer yang mereka lancarkan telah menghantam basis-basis kelompok oposisi, hal itu terjadi karena kelompok-kelompok oposisi anti Assad dan kelompok teroris ISIS pada hakekatnya memang sama saja.
Namun lepas dari hal itu, kenyataannya perkembangan sekarang justru semakin memperrumit konflik dan perang saudara di Suriah yang sudah memakan korban 300 ribu jiwa dan sudah berlangsung selama 4,5 tahun.
Sedangkan Arab Saudi, yang selama ini tergabung dalam koalisi negara-negara yang bermaksud menumbangkan Assad, malah semakin memperkeruh keadaan dengan tawarannya untuk membentuk pusat perlawanan terhadap terorisme internasional. Semacam koalisi anti terorisme versi Arab Saudi, yang kabarnya mengikutsertakan Turki, Mesir dan Pakistan. Termasuk Indonesia juga setuju.
Namun sulit dibantah bahwa koalisi bentukan Arab Saudi ini, jika benar-benar terealisasikan, akan dipandang sebagai upaya untuk menghadapi persekutuan strategis pemerintahan Assad, Iran, Lebanon dan Rusia.
Oleh sebab itu, Global Future Institute menyambut baik pernyataan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang mempertanyakan pihak Arab Saudi apa yang dimaksud dengan klaim mereka bahwa Indonesia mendukung pembentukan koalisi 34 negara Islam melawan terorisme ISIS.
Bagi Indonesia. jika memang peran aktif Indonesia dalam penyelesaian Krisis Suriah memang diharapkan, maka harus didasari kerangka kebijakan luar negeri yang bertumpu pada Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955, khususnya DASA SILA BANDUNG. Yang antara lain menghapus kolonialisme dan Imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, serta ikut serta secara aktif menjaga dan memelihara perdamaian dunia.
Dengan bertumpu pada kerangka kebijakan luar negeri tersebut di atas, kiranya Indonesia bisa kembali memainkan peran aktif sebagai Sang Juru Damai antara para pihak yang berkepentingan di dalam Krisis Suriah.
Apalagi Indonesia sebagai negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), kiranya dalam posisi yang cukup strategis dalam memainkan peran aktif membantu terwujudnya penyelesaian Krisis Suriah yang berkeadilan namun tetap atas dasar komitmen untuk tetap menjaga kedaulatan dan integritas teritorial Suriah sebagai negara bangsa. Lagi-lagi dengan merujuk pada Semangat Bandung 1955.
Atas dasar hal itu, rasanya kita cukup beralasan untuk optimis bahwa negara-negara besar yang terlibat dalam Perang Saudara di Suriah seperti Amerika Serikat dan Rusia maupun kubu pro dan anti Assad, bisa menerima itikad baik dan upaya pemerintah Indonesia untuk menciptakan perdamaian dan mengakhiri 4,5 tahun Perang Saudara di Suriah.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments