Membaca di Balik Kudeta Militer Turki Jumat Lalu

Bagikan artikel ini

Yang sering orang lupa, membaca keberhasilan atau kegagalan sebuah kudeta militer, tidak bisa diukur dari apakah militer berhasil merebut kekuasaan. Dalam kasus Turki saja, ada dua model kudeta yang kalau kita baca benar benar Sejarah Turki. Kudeta 1908 yang dimotori oleh kelompok-kelompok Turki Muda atau Young Turk, dan kudeta militer yang dimotori oleh Jenderal Mustapa Kemal Ataturk pada 1922.

Pada 1908, Sultan Abdul Hamid II, memang tetap bertahta di singgasana, namun beberapa peristiwa dan pergolakan politik antara Juli hingga September 1908, mengarah pada tericiptanya formasi politik baru di lingkar dalam kekuasaan Sultan Hamid II. Artinya, terciptanya pergeseran kekuasaan yang cukup mendasar dimana kroni-kroni Sultan Hamid II yang korup dan lalim, berhasil digusur, aparatur kemiliteran dan kepolisian yang pada dasarnya mafia berhasil diganti kelompok-kelompok baru. Perdana Menteri dan kabinet berhasil diganti dengan orang-orang yang pada dasarnya berhaluan lebih liberal dan pro negara negara barat seperti Inggris dan Amerika Serikat. Meskipun secara resmi Pemerintahan Dinasti Usmani di bawah pimpinan Sultan Hamid II, masih tetap berkomitmen pada Khilafah dan Pan Islamisme. Namun hakikinya, pemerintahan Sultah Hamid sudah dikendalikan kalangan yang sejatinya lebih sekuler dalam haluan politiknya.
Pertanyaannya, bagaimana menjelaskan kejadian 1908 yang mengarah pada perubahan fundamental namun secara resmi seakan tidak terjadi perubahan politik? Dalam tinjauan ini, menarik mengutip kerangka konseptal yang diajukan Dr Samuel Huntington dalam bukunya yang jadi literatur wajib saat saya masih kulian, Political Order in the Changing Societies.
Ngomong-ngomong soal kudeta, menurut Huntington, kudeta itu dalam kenyataannya ada tiga tipe. Pertama yaitu Breakthrough coup, alias kudeta yang menciptakan terobosan politik, kira-kira begitulah terjemahan bebasnya. Nah apa pula artinya breakthrough coup? Itu terjadi ketika militer melancarkan revolusi untuk menggulingkan pemerintahan tradisional seraya menciptakan elit birokrasi baru dari pusat sampai daerah. Kalau kita lihat dalam sejarahnya kudeta di pelbagai belahan dunia, kudeta militer di Mesir di bawah kepemimpinan Kolonel (belakangan marsekal), Gamal Abdel Nasser pada 1952 menggulingkan Raja Faruk pada 1952, sepertinya pas dengan kerangka konsep breakthrough coup tersebut di atas. Begitu pula dengan yang dilakukan Kolonel Moammar Khadafi melalui kudeta militer menggulingkan Raja Idris di Libya beberapa tahun setelah gerakan Nasser dan Anwar Sadat di Mesir.
Lantas ada tipe lain yaitu Guardian coup. Namanya saja Guardian, yang artinya para punggawa istana atau orang-orang kepercayaan Raja atau Kepala Negara. Kudeta Panglima Angkatan Bersenjata Pakistan Jenderal Zia Ul Haq, terhadap Perdana Menter Zulfikar Ali Bhuto pada 1977 kayaknya pas nih dengah tipe ini. Begitul pula ketika Jenderal Pervez Musharaf menggulingkan Perdana Menteri Nawaz Sharif pada 1999. Dalih dan alasan yang digunakan Musaharaf juga sama persis seperti yang digunakan Zia Ul Haq.
Berarti gagasan yang mendasari Guardian coup ala militer Pakistan ini dengan alasan untuk menegakkan tatanan publik berikut sejumlah alasan-alasan lainnya. Yang biasanya menggunakan jargon-jargon yang sok nasionalistik dan sok patriotis, tapi kalau diperiksa lebih teliti, agenda-agenda strategisnya maupun program-program politiknya, sama sekali tidak jelas. Maklum, kudeta tipe ini biasanya tujuan utamanya adalah merebut kekuasaan.
Di Turki sendiri, kalau kita menelaah kudeta militer pada 1960 atau pada 1993 lalu, juga menerapkan tipe kudeta model Guardian Coup tersebut. Di Thailand, para pengulas politik kerap menyebut negara “langganan kudeta” juga menerapkan model atau tipe ini. Biasanya ketika rakyat mulai mencapai titik puncak rasa muak pada pemerintahan sipil ala demokrasi parlementer, maka tentara dengan restu Raja, lalu ambil alih kekuasaan pemerintahan, lalui segera bentuk pemerintahan sementara. Lantas segera adakan pemilu. Intinya, kudeta guardian ini kalau tidak dimaksudkan untuk melayani hasrat kekuasaan korps tentara itu sendiri, bisa juga jadi alat untuk memperantarai terciptanya keseimbangan baru sipil-militer yang kalau harus dilakukan melalui sarana hasil pemilu, tidak mungkin bisa diwujudkan.
Menariknya, tipe-tipe kudeta model gini yang seringkali dilancarkan di Amerika Latin, Thailand dan Myanmar, seringkali dilakukan oleh Panglima Angkatan Bersenjata atau Kepala Staf Angkatan yang dianggap merupakan jenderal-jenderal terpercaya sang presiden, perdana menteri atau raja. Makanya yang model begini ini seringkali disebut Kudeta istana. Malah tipe Guardian coup ini, seringkali lebih tepat disebut Putch, dibandingkan kudeta dalam pengertian tipe yang pertama tadi. Sekadar aksi perebutan kekuasaan yang mengarah pada pergolakan politik terbatas, setelah kejadian berakhir, situasi normal lagi. Tahu-tahu muncul presiden baru atau pemimpin pemerintahan sementara.
Nah tipe ketiga ini, namanya veto coup. Kalau menurut pengertian Huntington mengenai konsep ini, intinya tentara yang tadinya tidak mau terlibat atau campur-tangan ke ranah politik, kemudian kalau suatu pertimbangan dan kejadian tertentu, memutuskan untuk ikut campur tangan ke dalam urusan politik. Biasanya ketika tentara menolak dominasi atau keikusertaaan kelompok politik tertentu, atau menolak sebuah kebijakan politik pemerintah yang mereka pandang berbahaya bagi eksintensi bangsa dan negaranya. Meskipun bisa juga karena bakal membahayakan eksinstensi tentara itu sendiri dalam konstalasi politik nasional negaranya.
Nah ini kemudian membawa tentara pada sebuah penyikapan yang mengarah pada konfrontasi langsung terhadap kelompok-kelompok politik yang mereka tetapkan sebagai lawan politik, maupun terhadah kebijakan pemerintahanan. Sehingga atas dasar hal itu, tentara memutuskan untuk ikut campur tangan politik. Biasanya, tujuan sesungguhnya bukan perebutan kekuasaan pemerintahan sipil dan memunculkan junta militer sebagai pemerintahan baru seperti Guardian coup. Namun juga bukan suatu Breakthrough coup, atau suatu gerakan yang dimotori para perwira menengah yang bertujuan mengubah sistem politik dan sistem ekonomi suatu negara seperti diperagakan Abdel Nasser atau Khadafi.
Veto coup, hakekatnya hanya mengondisikan tentara untuk memainkan dirinya sebagai kelompok penekan namun yang mempunyai hak veto. Kalau tidak mau disebut punya kekuatan yang memaksa.
Nah, karena tujuannya hanya campur-tangan politik dengan tujuan menolak atau memveto keikutsertaan atau dominasi suatu kelompok, atau keluarnya kebijakan yang menurut pandangan subyektif tentara berbahaya bagi bangsa dan negara, dan bukan untuk menggusur sang Raja, Presiden atau kepala pemerintahan, maka tentara kemudian membuat pagelaran untuk mendramatisasikan keadaan. Sehingga presiden, raja atau perdana menteri, akan dipaksa keadaan untuk menuruti masukan dan bahkan tekanan dari kalangan tentara. Untuk menetralisir suatu kelompok, atau mencabut sebuah kebijakan yang dikeluarkan sebelumnya.
Atas dasar gagasan yang melekat pada skenario veto coup itu, maka yang kita lihat di permukaan sebagai kudeta militer sesungguhnya, sebenarnya hanya pagelaran untuk mendramatisasi tujuan sesungguhnyta dari veto coup. Yaitu mengkondisikan campur tangan dan keterlibatan aktif militer secara aktif untuk tujuan-tujuan yang terbatas. Terlepas tujuan-tujuan strategis yang hendak dicapai tentara tersebut memang benar-benar untuk kepentingan strategis bangsa dan negaranya, atau sekadar kepentingan spesifik dari korps tentara.
Kasus gerakan Turki Muda pada 1908 yang bermuara pada keputusan Sultan Hamid II untuk menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar Turki yang sebelumnya telah diabaikan oleh kerajaan, telah menandai keberhasilan tipe veto coup tersebut. Karena meskipun gerakan Turki Muda 1908 melibatkan berbagai elemen masyarakat seperti cendekiawan, kalangan pengusaha, dan kelas menengah terdidik lainnya, namun dukungan dari beberapa perwira militer yang berhaluan liberal dan sekuler, merupakan pemain yang paling menentukan keberhasiln gerakan 1908 menciptakan perubahan-perubahan penting meski tetap dalam kerangka pemerintahan Dinasti Usmani pimpinan Sultan Hamid II.
Melihati konstalasi pasca kudeta Jumat lalu di Turki, dan begitu cepatnya serangkaian peristiwa yang kemudian dipandang sebagai gagalnya kudeta, menurut saya justru memperkuat kesimpulan saya bahwa kudeta terhadap Presiden Tayib Erdogan sejatinya masuk kategori veto coup.
Ketika tentara merasa campur tangan politiknya untuk memveto suatu kebijakan pemerintah atau dominasi kelompok-kelompok tertentu berhasil, sehingga Presiden Erdogan setuju memberikan konsesi-konsesi tertentu, maka kudeta yang sejatinya hanya pagelaran untuk mendramatisasi keadaan, sudah tidak diperlukan lagi.
Maka itu, yang justru lebih penting saat ini, bukan menilai gagal atau berhasil kudeta militer di Turki. Tapi bagaimana arah kebijakan dan perilaku politik Presiden Erdogan setelah pagelaran politik Turki Jumat lalu.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com