Korea, Arena Proxy War Cina versus Jepang di akhir Abad ke-19
Dalam artikel terdahulu tentang solusi damai Krisis Korea yang sudah berlangsung sejak berlangsungnya era Perang Dingin pada 1950, melibatkan Jepang, Republik Rakyat Cina dan Amerika Serikat selain Amerika Serikat dan Rusia, saya mengusulkan perlunya melibatkan enam negara dalam mengatasi Konflik antara Korea Selatan versus Korea Utara. Yaitu Korea Selatan dan Korea Utara itu sendiri, penting untuk mengikutsertakan Amerika Serikat (AS), Rusia, Republik Rakyat Cina (RRC) dan Jepang.
Karena kalau menelisik sejarah terbelahnya Korea sebagai akibat dari Proxy War antara AS versus Uni Soviet (baca: Rusia), yang semakin memperuncing konflik berkepanjangan antara Korea Selatan versus Korea Utara, juga dipicu oleh adanya konflik historis yang melibatkan hubungan segitiga antara Korea, Jepang dan Cina seperti tergambar melalui peristiwa yang terjadi pada abad ke-19 lalu.
Secara geografis, semenanjung Korea berada tepat di antara Cina dan Jepang, sehingga pada waktu itupun posisi geopolitik Korea dipandang sangat strategis, Adapun Korea persis terletak di sebelah barat Jepang. Sehingga ketika pada era pasca Restorasi Meiji, Kaisar Matsuhito atau yang lebih dikenal sebagai kaisar Meiji mulai mengincar daerah-daerah jajahan baru untuk menjamin ketersediaan bahah baku industri sekaligus pasar komoditas hasil industrinya.
Sejak kaisar Meiji menyerah terhadap tekanan Komodir Matthew C Perry dari Angkatan Laut AS untuk membuka pintu perdagangan Jepang dan membuka diri terhadap perdagangan internasional dengan negara-negara lain, Jepang kemudian menjalankan modernisasi industri dengan cepat yang mana selain meningkatkan perekonomian nasionalnya, angkatan bersenjatanya pun semakin ditingkatkan kapasitasnya baik kemampuan personilnya melalui pelatihan militer atas bimbingan komandan-komandan militer yang didatangkan dari Eropa dan AS, maupun melalui pengadaan persenjataan yang semakin modern.
Maka dalam waktu kurang dari 20 tahun sejak restorasi Meiji 1868, Jepang berhasil menjelma sebagai kekuatan ekonomi dan militer yang besar, yang tentunya bagi Korea dan Cina semakin dipandang sebagai ancaman. Begitulah. Seiring dengan berkembang pesatnya pembangunan industri Jepang, maka pada saat yang sama Jepang segera menyadari bahwa negaranya mulai kehabisan bahan mentah sebagai roda penggerak industrialisasinya.
Menyasar Korea, Langkah Awal Jepang Menaklukkan Cina
Dengan tak ayal, pada 1876 Korea menjadi incaran utama Jepang untuk ditaklukkan sebagai daerah jajahan, atas dasar pertimbangan nilai strategis geopolitik Korea seperti saya gambarkan tadi. Langkah strategis Jepang untuk melepaskan Korea dari orbit pengaruh Dinasti Qing dari kekaisaran Cina, adalah dengan memaksa Korea menandatangani sebuah perjanjian yang isinya agar Korea membuka hubungan perdagangan antara Korea dan Jepang. Dalam perhitungan strategis pihak Jepang, untuk menguasai Cina, tahapan pertama adalah menguasai Korea lebih dulu. Akibat dari dibukanya hubungan perdagangan Jepang-Korea, kekaisaran Cina pada waktu itu mulai merasa terancam dengan langkah ekspansif Jepang, meskipun dilakukan melalui sarana diplomasi dibandingkan melalui sarana militer.
Sejak abad ke-14, Korea diperintah oleh klan Li dari kerajaan Joseon yang secara tradisional tunduk kepada Cina dan selalu memberi upeti kepada Cina. Ditandatanganinya perjanjian perdagangan Korea-Jepang, memicu timbulnya perpecahan di internal istana kerajaan Korea antara kubu yang pro Jepang versus kubu yang setia pada Dinasti Qing dari Cina.
Situasi politik dalam negeri Korea antara 1876-1883 semakin panas dan genting, dan mencapai puncaknya pada 1884 ketika faksi pro Jepang di dalam istana berhasil menggulingkan raja dan memaksa pemerintah Korea membuka diri dan meniru Jepang dalam hal modernisasi.
Namun dari kubu pro kekaisaran Qing yang dipimpin Ratu Min atau Myeongseong, kemudian meminta bantuan Cina untuk menumpas aksi kudeta yang dilancarkan kubu pro Jepang. Pihak pemerintah Cina kemudian mengutus Jenderal Yuan Shikai beserta pasukannya ke Korea untuk melakukan campur-tangan terhadap masalah dalam negeri Korea. Namun atas protes dari Jepang, Cina kemudian bersepakat untuk mengatasi krisis tersebut dengan ditandatanganinya Perjanjian Tianjin pada 1885. Isinya, pada pokoknya menegaskan bahwa para pihak yang terlibat konflik bersama-sama menarik pasukannya dari Korea, dan bila salah satu pihak bermaksud menggerakkan pasukannya di Korea, maka pihak lain akan diberitahu.
Melalui peristiwa bersejarah tersebut, nampak jelas bahwa sejak paruh kedua abad ke-19, Korea sudah menjadi sasaran Proxy War negara-negara besar, yang dalam kasus ini, antara Jepang versus Cina. Sehingga konstalasi politik dalam negeri Korea pun semakin memanas karena menjadi arena Proxy War antara Jepang versus Cina.
Misalnya saja Kim Ok-gyun, seorang pejabat kerajaan yang pro Jepang, tercatat sebagai salah seorang yang memainkan peran penting dalam usaha kudeta terhadap pemerintah Korea pada 1884 itu. Kim yang setelah gagalnya kudeta sempat lari ke Jepang minta perlindungan, dan Jepang melindungi sepenuhnya Kim, dan bahkan menolak desakan Korea untuk meng-ekstradisikan Kim. Anehnya, kemudian Kim berpindah ke Shanghai, yang meskipun waktu itu sudah menjadi wilayah konsesi internasional, namun pada dasarnya tetap merupakan daerah basis jejaring orang-orang Cina yang setia pada pemerintahan Qing. Sehingga ketika bermukim di Shanghai inilah, Kim mati terbunuh. Tentunya pihak Korea dianggap bertanggungjawab.
Pihak Korea menolak desakan Jepang untuk melakukan penyelidikan atas pembunuhan terhadap Kim. Inilah salah satu faktor yang pada perkembangannya ke kemudian, menjadi faktor pemicu pertentangan berskala lebih besar antara Jepang versus Cina.
Titik puncaknya terjadi pada 1894, ketika meletus pemberontakan petani yang didukung oleh sekte Donghhak di Korea. Raja Gojong dari Joseon merasa terancam dengan pemberontakan ini, dan meminta bantuan pasukan dari pemerintahan Qing di Cina. Sekali lagi, Jenderal Yuan Shikai memimpin pasukan ekspedisi berkekuatan 2800 orang pasukan ke Korea.
Tentu saja Jepang menilai pemerintahan Qing di Cina telah melanggar Perjanjian Tianjin, karena apa yang dilakukan pasukan Jenderal Yuan Shikai dipandang sebagai aksi sepihak. Sebagai langkah balasan, Jepang mengirim Brigade Oshima dengan kekuatan 8 ribu orang ke Korea. Pada 9 Juni 1894, pasukan Jepang mendarat di Seoul, dan tiga hari kemudian sejumlah 3 ribu sisanya mendarat di Incheon.
Bahkan Jepang bertindak lebih jauh lagi. Menyerbu istana Gyeongbokkgung pada akhir Juli 1894, menawan raja Gojong, dan merombak kabinetnya dan menaruh orang-orang Pro Jepang dalam kabinet. Cina baru menyadari bahwa Jepang datang ke Korea rupanya memang dengan niat menginvasi dan menjajah Korea.
Meskipun pada 1 Agustus 1894 Cina menyatakan perang terbuka terhadap Jepang, namun langkah pemerintahan Qing tersebut sudah ketinggalan beberapa langkah dibandingkan manuver Jepang. Selain itu, meskipun angkatan bersenjata Cina, terutama angkatan lautnya, sebenarnya cukup kuat dan bisa diandalkan, namun kombinasi antara mengakarnya praktek korupsi dalam pemerintahan kekaisaran Cina termasuk di jajaran birokrasi kemilitran, maupun lemahnya strategi perang pihak Cina, maupun panilaian pihak militer Cina yang menganggap enteng Jepang, maka akhirnya situasi kemudian melemahkan postur pertahanan Cina terutama di angkatan laut, sehingga pada perkembangannya menguntungkan posisi Jepang.
Ketika perang benar-benar terjadi antara Jepang dan Cina, pasukan Cina malah dipaksa mundur sampai ke kota Pyongyang di bagian utara Korea, bahkan dikejar oleh pasukan Jepang yang menyerbu ke kota itu dari berbagai penjuru.
Dalam pertempuran laut pada September 1894, Cina mengalami kekalahan yang lebih memalukan lagi. Armada Beiyang yang berhadapan dengan armada Jepang di teluk Korea tepat di muara sungai Yalu, yang terletak di perbatasan Korea dan Manchuria, pasukan Jepang berhasil mempertunjukkan keunggulannya dengan menenggelamkan 5 kapal perang milik Cina dan merusak 3 kapal lainnya. Sebaliknya di pihak Jepang, hanya 4 kapal yang mengalami kerusakan.
Inilah momen yang kemudian menyadarkan Cina bahwa meskipun Jepang negara kecil, namun rupanya sudah masuk kelas negara adikuasa di bidang kemiliteran. Bahkan Jepang berhasil bergerak menembus perbatasan Cina-Korea , menyerbu Weihaiwei dan Port Arthur di Semenanjung Liaodong. Di sini, Cina pun menyerah kalah, dan Jepang memerintahkan untuk menenggelamkan kapal-kapal perang di bawah komando Laksamana Ting dari angkatan laut Cina.
Jika dalam Perjanjian Dagang Jepang-Korea, Cina merasa terancam, maka sebagai akibat dari kekalahan telak di sungai Yalu dan di Semenanjung Liaodong, bahkan ibukota Beijing pun mulai berada dalam bahaya. Sehingga pemerintah Qing terpaksa menawarkan perjanjian damai.
Perjanjian Shimonoseki, Mengawali 50 Tahun Penjajahan Jepang di Korea
Dalam perjanjian damai itu, Jepang mengajukan syarat yang cukup berat bagi Cina. Yaitu menuntut dihentikannya pemberian upeti Korea kepada Cina. Jepang juga menuntut diserahkannya Semenanjung Liaodong dan pulau Taiwan, termasuk pulau Penghu kepada Jepang. Bukan itu saja. Cina juga harus membayar ganti rugi akibat perang kepada Jepang sebesar 200 juta tael perak. Jumlah pampasan perang itu ini lebih dari 10 kali lipat yang diminta oleh Inggris pada Perang Candu II beberapa dekade sebelumnya. Angka ini sama dengan 2 kali pendapatan tahunan Cina dan 4 kali pendapatan nasional Jepang.
Meskipun ada desakan dari dalam istana kekaisaran Cina untuk menolak tuntutan Jepang, namun karena khawatir malah semakin meningkatkan agresi militernya dan menduduki Beijing, kontan Laksamana Li yang diberi wewenang memimpin tim perundingan dengan Jepang yang diperantarai Inggris, akhirnya menandatangani perjanjian yang amat memberatkan Cina tersebut.
Untungnya Jerman, Perancis dan Rusia, merasa kepentingannya terancam, mereka bertiga membentuka aliansi tiga negara memaksa Jepang membatalkan klaimnya atas semenanjung Liaodong. Meskipun Cina terpaksa harus menambah ganti rugi pamparan 30 juta tael perak dari Cina kepada Jepang. Sehingga total yang harus dibayar Cina kepada Jepang sebesar 230 juta tael.
Perjanjian yang kelak dikenal dengan nama Perjanjian Shimonoseki, mengawali sejarah 50 tahun pendudukan Jepang di Kore dan juga Taiwan. Meskipun resminya Korea tetap merupakan negara merdeka, dan raja Gojong diangkat jadi kaisar pertama Korea. Namun ini memang langkah awal Jepang untuk semakin memperkuat genggaman kekuasaannya di Korea. Maka sejak 1910, praktis Korea merupakan koloni Jepang sampai berakhirnya Perang Dunia II pada 1945.
Sementara itu, sebagai dampak dari Perjanjian Shimonoseki yang menghancurkan integritas territorial kekaisaran Cina, maka sejak akhir abad ke-19 memasuki awal abad ke-20 praktis Cina merupakan daerah konsesi internasional yang menjadi obyek “bagi-bagi Cina” antara Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, dan Jepang. Nasib kekaisaran Cina hampir sama dengan kekaisarah Turki Usmani di bawah pemerintahan Sultan Hamid II yang juga mulai rapuh dan menuju keruntuhan.
Pemerintah Indonesia Bisa Prakarsai Penyelesaian Konflik Korea Melalui Skema Dasa Sila Bandung 1955
Melalui konstruksi cerita ini, nampak jelas bahwa Korea selain merupakan Arena Proxy War antara Cina versus Jepang di abad ke-19, pada perkembangannya telah menciptakan hubungan segitiga yang menyakitkan antara Korea, Jepang dan Cina.
Meskipun Krisis Korea yang kemudian membelah Korea Selatan dan Korea Utara, sebagai dampak dari Proxy War baru antara AS versus Uni Soviet pada pasca Perang Dunia II, namun konflik historis antara Cina versusJepang yang berlangsung pada akhir abad ke-19 nampaknya tetap membayang-bayangi konflik regional di Semenanjung Korea tersebut. Meskipun bersifat laten dan terpendam di alam bawah sadar ketiga bangsa Asia tersebut.
Dikarenakan hal tersebut, saya mengusulkan agar dalam penyelesaian konflik antara Korea Selatan versus Korea Utara yang berkepanjangna hingga saat ini, Jepang dan Cina harus diikutsertakan dalam proses perundingan multilateral, bersama-sama dengan AS dan Rusia.
Pada tataran ini, Indonesia mungkin bisa ikut berkontribusi untuk memprakarsai perundingan multilateral 6 negara tersebut di atas berdasarkan skema Dasa Sila Bandung 1955. Sehingga hubungan segitiga negara di kawasan Asia tersebut (Cina, Jepang, Korea) bisa dirangkul ke arah suatu kerjasama yang lebih strategis berdasarkan semangat untuk membangun Pan Asiatisme.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments