Membaca di Balik Manuver Angkatan Laut Amerika di Pulau Socotra dan Masirah

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Meski proxy war antara Amerika-NATO versus Rusia-Cina di Selat Hormuz sepertinya tidak akan terjadi, namun skenario terburuk pecah perang terbuka di kawasan ini terbuka. Kelompok garis keras koloborasi sipil militer model Jenderal Charles Wald dan Senator Demokrat Charles Rob, ternyata tetap memainkan diri sebagai Kelompok Penekan terhadap Presiden Obama agar menerapkan kebijakn pertahanan yang lebih agresif.

Meski Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama sudah menarik pasukannya dari Irak, Pentagon tampak mengerahkan pasukannya ke dua pulau yang terletak di selatan Selat Hormuz. Dengan menempatkan militernya di wilayah tersebut, AS akan mudah menginvasi Iran. Memabaca tren ini, kiranya ketegangan militer masih cukup memanas.

Apalagi ada rencana Maret mendatang, Obama juga berniat akan mengerahkan beribu-ribu pasukannya di wilayah tersebut.

Seperti diberitakan oleh DEBKA, Kamis (2/2/2012), AS memerintahkan angkatan udara, laut, dan marinirnya untuk menempatkan diri di dua buah Pulau Socotra, yang merupakan wilayah Yaman. Serta Pulau Masirah yang masuk ke dalam kedaulatan Oman. Dua negara Arab yang hingga kini masih masuk dalam orbit pengaruh negara-negara Dewan Kerjasama Teluk yang dikendalikan AS dan Inggris,

Beberapa pejabat militer dari Barat tidak dapat memastikan berapa jumlah pasukan yang dikerahkan AS ke wilayah tersebut. Namun menurut kabar, pasukan AS yang hendak ditempatkan di Socotra dan Masirah berasal pangkalan militer AS di Diego Garcia, wilayah di Kepulauan Chagos.

Pada Maret mendatang diperkirakan situasi hankam di kawasan Timur Tengah dan Afrika akan semakin memas jika armada tempur Prancis benar-benar akan melintas di Teluk Persia, Teluk Oman, dan Laut Arab bersama dengan kapal induk Paman Sam.

Penempatan pasukan Barat di perairan Timur Tengah sebenarnya ditujukan untuk mengamankan jalur distribusi migas. Selat Hormuz adalah salah satu jalur pemasok minyak dunia yang sempat terancam diblokir oleh Iran.

Pemblokiran Selat Hormuz juga akan membuat harga minyak dunia menjadi melonjak dan oleh karena itulah Barat nampak bersikeras mengamankan perairan itu dari segala bentuk ancaman.

Berdasarkan perkiraan semacam itulah, Global Future Institute mengingatkan para pemegang otoritas keamanan nasional Indonesia agar mencermati dan mengantisipasi skenario terburuk jika pada akhirnya Proxy War yang sudah terlanjur memanas dan mengkristal antara AS-NATO versus Rusia-Cina di kawasan Timur Tengah dan Afrika.

Dari prakiraan politik global 2012 yang dilansir oleh Global Future Institute di awal tahun ini, kawasan Asia Tenggara besar kemungkinan akan dijadikan zona pertempura baru untuk meledakkan Proxy War antara AS-NATO versus Cina-Rusia-Jepang.

Sudahkan para pemegang otoritas keamanan nasional Indonesia mencermati secara intensif sekaligus mengantisipasi skenario terburuk yang bakal dihadapi ini?

Provokasi Kelompok Garis Keras Amerika Kepada Pemerintahan Obama

Sementara, ada satu perkembangan yang cukup mencemaskan terjadi di dalam negeri Amerika itu sendiri. Karena pada gilirannya bisa memanaskan keadaan dan memprovokasi sentiment pro peperangan di dalam negeri Amerika.

Sebagaimana liputan berita dari Blumberg, Sekelompok politisi bipartisan Amerika Serikat (AS) berencana mendesak Pemerintahan Presiden Barack Obama untuk memasok 200 bom yang mampu menembus bunker pertahanan. Bom itu nantinya akan digunakan untuk menyerang Iran.

Proposal itu merupakan bagian dari laporan yang dikeluarkan oleh Bipartisan Policy Center’s National Security Project. Kelompok adalah sebuah kelompok peneliti yang berbasis di Washington.

Kelompok yang dipimpin oleh mantan Senator dari Partai Demokrat Charles Robb dan pensiunan Jenderal Charles Wald, mendesak agar Pemerintah AS menyediakan sekitar 200 GBU-31 bom pintar kepada Israel. Selain itu mereka juga meminta agar Israel dipasok tiga pesawat tanker KC-135.

Fakta ini membuktikan adanya kolaborasi antara kaum sipil dan militer garis keras dari Pentagon yang tetap mengobarkan sentiment pro peperangan, meski Pemerintahan Obama justru mengambil sikap menahan diri dan cenderung mengambil langkah-langkah drastic memicu perang di kawasan Selat Hormuz.

Manuver Charles Rob dan mantan Jenderal Charles Wald, yang kebetulan sama sama bernama Charles ini, sama saja dengan menyiram bensin ke Israel. Karena kesiagaan militer Israel saat ini sudah pada taraf maksimal.

Betapa Tidak. Seperti diketahui Israel saat ini sudah memiliki belasan pesawat sejenis KC-135, yang dibutuhkan pesawat tempur Israel melakukan pengisian bahan bakar di udara untuk menyerang target di Iran.

“Ancaman militer yang diperlukan dari Israel bagi Iran memang amat diperlukan. Mengingat Iran memiliki kapasitas untuk memproduksi uranium dan mengembangkannya menjadi senjata nuklir,” jelas laporan tersebut seperti dikutip Bloomberg, Kamis (2/2/2012).

Kalau disimak pernyataan Jenderal Wald, kelihatan sekali proposal dari Bipartisan Policy yang dirilis oleh National Security Project tersebut, memang dimaksud untuk mendesak Pemerintah Obama supaya menerapkan kebijakan pertahanan yang lebih agresif seperti era kepresidenan George W Bush tempo dulu.

“Meski Pemerintah AS tidak mendukung serangan militer Israel, kami justru meyakini bahwa ancaman Israel dapat menekan Iran untuk melakukan negosiasi,” jelas Jenderal Charles Wald.

Laporan ini dikeluarkan di saat para pembuat kebijakan di Kongres AS melayangkan kekhawatiran mereka mengenai program nuklir AS. Senator Dianne Feinstein menilai tahun ini menjadi tahun yang amat kritis untuk mencegah program nuklir Iran.

Namun inti dari berita ini jelas sudah. Bahwa kelompok garis keras macam Charles Rob dan Charles Wald tersebut, yang berada dalam kendali pengaruh Pentagon, masih tetap berupaya agar Amerika didorong maju ke medan peperangan di kawasan Selat Hormuz maupun kawasan-kawasan lainnnya.

Waspadalah.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com