Dalam menjabarkan geopolitiknya menjadi geostrategi di bidang militer, Amerika Serikat menerapkan dua pola geostrategi. Yaitu pendekatan Hard-power atau pengerahan kehadiran pasukan militer di pelbagai kawasan dunia, dan yang kedua adalah pendekatan Soft-Power. Untuk artikel kali ini, saya akan lebih fokus pada pola geostrategi AS melalui pendekatan hard-power.
Dalam menjabarkan hegemoni globalnya sebagai negara adikuasa di bidang militer, pemerintah AS sepertinya masih tetap merujuk pada pandangan klasik dari pakar geopolitik Inggris Sir Halford Mackinder (1861-1946) yang mana menurutnya ada empat kawasan penting dan strategis di dunia.
- Kawasan Heartland atau World Island, dikenal juga dengan sebutan A”Jantung Dunia.” Meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah. Mengapa disebut Jantung Dunia? Karena kaya sumberdaya alam yang melimpah seperti minya dan gas bumi.
- Kawasan Marginal Lands, terdiri dari Eropa Barat, Asia Selatan, Sebagian Asia Tenggara dan sebagian daratan Cina.
- Kawasan Desert (Padang Pasir) yang mana dalam hal ini yang dimaksud adalah Afrika Utara.
- Kawasan Island atau Outer Continents meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.
(Untuk kajian secara lebih mendalam silahkan baca karya Halford Mackinder bertajuk the Geographical Pivot of History dan artikel M. Arief Pranoto bertajuk Membaca Ulang Kawasan dari Perspektif Geopolitik, Jurnal the Global Review Quarterly terbitan Maret 2015).
Pertanyaan strategisnya adalah, dalam perspektif pergeseran konflik global yang semula berpusat di kawasan Atlantik ke Asia Pasifik di abad 21, kawasan manakah yang saat ini menjadi sasaran strategis (utama) dari AS dan negara-negara sekutunya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)?
Kalau kita telisik secara seksama cara pandang geopolitik militer AS dalam menjabarkan pola geostrategi hard-powernya di pelbagai kawasan dunia berupa pengerahan pasukan militer, maka AS membagi dunia dalam enam kawasan dimana pada masing-masing kawasan tersebut dibentuk komando pengendali dengan didirikannya pangkalan dan jejaring militer (armada).
Untuk itu mari kita identifikasi terlebih dahulu salah satu pusat komando militer AS di Asia Pasifik. Dulunya untuk kawasan Asia Pasifik Komando Pasifik AS disebut USPACOM atau US Pacific Command. Namun saat ini karena AS mengubah konsepsi Asia Pasifik menjadi Indo-Pasifik maka namanya berubah menjadi US Indo-Pacific Command. Secara kawasan hakekatnya sama saja. US Indo-Pacific Command merupakan komando gabungan antara Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Angkatan Darat, dan Marinir. yang bermarkas di Honolulu, tepatnya di Pulau O’ahu.
Adapun USCENTCOM (Komando Sentral Amerika) mengendalikan 20 negara terdiri dari Afghanistan, Bahrain, Mesir, Iran, Irak, Yordania, Kazakhstan, Kuwait, Kyrgyzstan, Oman, Lebanon, Pakistan, Qatar, Arab Saudi, Suriah, Tajikistan, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Uzbekistan. USCENTCOM ini adalah jabaran nyata dari geopolitik militer AS di kawasan yang oleh Mackinder disebut Heartland.
Begitu pula geopolitik militer AS dijabarkan di kawasan Eropa lewat USEUCOM, USAFRICOM di kawasan Afrika dan tentu saja di kawasan Amerika itu sendiri lewat USNORTCOM.
Menariknya lagi kalau kita kaji secara lebih jeli, dalam penempatan maupun pengerahan pasukan maupun armadanya, AS selalu berpedoman pada anatomi masalah dan ancaman yang dihadapi maupun pemetaan sasaran yang dihadapi. Misalnya di kawasan yang masuk dalam kendali USCENTCOM, pemerintah AS memandang kawasan tersebut kaya minyak dan gas bumi. Maka Armada ke-5 Amerika diperintahkan untuk memusatkan seluruh kekuatan militernya mengawal lalu-lintas pelayaran kapal-kapal tanker minyak yang bermuatan 17 juta barel/per hari di perairan Selat Hormuz.
Adapun yang masuk dalam kendali komando tentara AS di Asia-Pasifik lewat US Indo-Pacific Command, maka Armada ke-7 Amerika diperintahkan memusatkan perhatiannya dalam memantau Selat Malaka yang mana lewat jalur tersebut melintas sebesar 15 juta barel minyak per hari.
Namun demikian, ketika pemerintah Cina mulai mencanangkan Silk Road Maritime Initiative sebagai strategi nasional dan menjadikanya sebagai input geopolitik dalam penyusunan kebijakan strategis di bidang politik, ekonomi dan militer, maka Geopolitik Jalur Sutra muncul sebagai kontra hegemoni yang diterapkan pemerintah Cina terhadap hegemoni AS dan NATO.
Presiden pertama RI Sukarno, dalam pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika Bandung1955, ketika menyinggung apa yang beliau sebut Garis-Garis Hidup Imperialisme, untuk menggambarkan negara-negara yang berada dalam lintasan garis tersebut sebagai sasaran utama dari skema kolonialisme dan imperialisme negara-negara Barat, sejatinya yang dimaksud garis-garis hidup imperialisme tersebut adalah Geopolitik Jalur Sutra.
Menurut Sukarno, Garis-Garis Hidup Imperialisme jika ditinjau dari Barat ke Timur, bermula dari Selat Gibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Timur (maksudnya Lautan Cina Selatan), sampai ke Lautan Jepang. Menurut Sukarno:
“Daratan sebelah-menyebalah pada garis hidup yang Panjang itu sebagian besar ialah tanah jajahan. Rakyatnya tidak merdeka. Hari depannya terabaikan kepada sistem asing. Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.”
(Baca: Dr Roeslan Abdul Gani, The Bandung Connection, Konferensi Asia-Afrika Bandung Tahun 1955).
Melalui gambaran sekilas tadi, maka penempatan dan pengerahan pasukan militer AS di pelbagai kawasan tidak lepas dari motif penguasaan geopolitik untuk menguasai sumberdaya alamnya yang melimpah. Atau kalau bukan karena sumberdaya alamnya, adalah lokasi geografisnya.
Salah satu kasus yang menarik ketika pada pada akhir 1962 dataran tinggi gurun Aksai Chin yang terletak jauh di pegunungan Himalaya Barat, sempat jadi titik rawaqn yang memicu perang perbatasan antara India dan Cina.
Konflik perbatasan Cina-India terkait klaim atas dataran tinggi Aksai Chin bisa terjadi karena ulah Inggris sebagai penjajah di kawasan Asia Selatan di masa silam. Pada masa kolonialisme Inggris di India, garis batas India, Afghanistan, Tibet dan Cina seringkali bergeser maju-mundur mengikuti pasang suru politik yang dilakukan negara-negara adikuasa ketika berbagi wilayah jajahan seperti antara Inggris, Prancis, Belanda, Spanyol dan Portugis.
(Baca: Geoff Hiscock, Earth Wars, Pertempuran Memperebutkan Sumber Daya Global).
Secara kebetulan Aksai Chin, luput dari perhatian Inggris semasa menjajah India, sehingga tidak ada pos-pos militer untuk menandai klaim atas Aksai Chin. Namun demikian India yang merdeka pada 1947, melihatnya sebagai bagian integral dari wilayahnya, mengklaim bahwa 38 ribu km persegi wilayah Aksai Chin yang dikelola Cina merupakan bagian dari dari Kashmir India dan harus dikembalikan.
Meski tidak mengandung kekayaan alam seperti mineral, Aksai Chin dipandang strategis oleh Cina, sehingga penguasaannya atas dataran tinggi Aksai Chin itu memungkinkannya untuk mempertahakan “jalan rahasia” yang telah dibangun untuk menghubungkan wilayah barat Xinjiang dengan Tibet. Berarti, menguasai wilayah Aksai Chin akan membuka jalan bagi peningkatan eksploitasi sumberdaya mineral Tibet.
Meski cerita tersebut berlangsung pada decade 1960-an, dan saat ini Cina dan India sudah menjalin kerjasama strategis yang cukup erat lewat skema kerjasama blok ekonomi-perdagangan BRICS(Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), namun cerita tersebut merupakan latarbelakang yang cukup penting buat menjelaskan bahwa selain AS masih tetap mempertahankan skema penguasaan daerah Heartland atau daerah Jantung, namun seturut dengan itu pula Cina punya skema Geopolitik Militer Jalur Sutra sebagai kontra hegemoni terhadap AS dan blok Barat.
Betapa pentingnya menguasai dataran tinggi Aksai Chin sebagai wilayah yang menghubungkan Xinjiang sebagai hulu dari Geopolitik Jalur Sutra menuju Tibet, memperlihatkan bahwa Cina pun punya perspektif geopolitik militer yang tidak kalah strategis dibandingkan perspektif geopolitik militer AS dan NATO.
Apalagi ketika dalam pengembangan konsepsi geopolitik Jalur Sutra, Cina kemudian mengembangkan rute tambahan yang melintasi Laut Cina Selatan yang merupakan rute penghubung antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Sehingga lambat-laut AS menyadari bahwa Cina lewat Jalur Sutra lintasan Selatan yang melintasi negara-negara Asia Tenggara, berhasil membangun pengaruh yang semakin kuat dengan negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara. Konstruksi geopolitik Indo-Pasifik yang diluncurkan Presiden Donald Trump pada 2017 lalu, sebenarnya merupakan respon atas menguatnya pengaruh Cina di kawasan Asia Pasifik utamanya Asia Tenggara.
Seperti terlihat pada Agustus 2021, melalui skema the Enhanced Defence Cooperation (EDCA) antara AS-Filipina, Filipina telah memberikan akses kepada tentara AS untuk menguasai empat lokasi strategis yang akan diproyeksikan sebagai pangkalan militer bagi AS. Yaitu pangkalan angkatan laut Camilo Osias di Sta Ana dan bandara Lal-lo, keduanya di provinsi Cagayan, dan Camp Melchor Dela Cruz di Gamu, provinsi Isabela, dan pulau Balabac di lepas pantai Palawan.
Sayangnya ketika AS merespons keunggulan Cina di bidang nonmiliter tersebut melalui pendekatan hardpower alih-alih soft power, seperti membangun persekutuan militer ala Perang Dingin dengan Filipina melalui pembangunan kembali pangkalan militer ala Subic dan Clark semasa Perang Dingin, secara nyata memperlihatkan bahwa AS dan NATO sejatinya telah ketinggan dua atau tiga langkah dibandingkan Cina. Setidaknya dalam membangun pengaruh di Asia Tenggara.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute