Membaca Isu dan Operasi Bendera Palsu

Bagikan artikel ini

Tampaknya, false flag operation (operasi bendera palsu) menjadi cara dan modus baru di dunia (geo) politik, terutama bagi para elit politik atau elit penguasa dalam rangka mempertahankan dan/atau merebut kekuasaan, atau menaikkan pamor politiknya. Lingkungan strategis —lokal (nasional), regional dan global— banyak memberi pembelajaran tentang hal itu. Banyak contoh. Akan tetapi, sebelum melangkah jauh, sebaiknya kita urai dahulu sekilas perihal isu politik dan bagaimana operasi bendera palsu dijalankan.

Operasi bendera palsu ialah serangkain operasi intelijen tingkat tinggi guna mengkambing-hitamkan suatu kasus tertentu dengan maksud meraih opini publik. Tujuannya agar publik mempercayai hal yang dilakukan dan apa yang mereka katakan. Kasus atau peristiwa yang terjadi, bisa jadi kejadian nyata (tanpa direkayasa, ia cuma ditumpangi saja), tetapi seringkali merupakan hasil rekayasa atau “dikondisikan” (cipta kondisi). Intinya, seolah-olah bekerja bagi kepentingan lawan padahal untuk kepentingan sendiri.

Bahan utama sebuah false flag operation ialah isu politik aktual (nge-trend), entah soal demokrasi, atau intoleransi, korupsi, komunisme, pemimpin tirani, dan lain-lain, tergantung situasi yang berkembang.

Tujuan operasi bendera palsu, selain untuk mempertahankan kekuasaaan (bagi rezim saat itu), juga guna menaikkan kembali popularitas atau pamor politik di mata rakyat akibat “kejenuhan politik” karena sang rezim mungkin sudah tak lagi populer, atau terlalu lama berkuasa, dan/atau boleh jadi sekedar test the water, “refresing politik” dan lain-lain.

Pada era orde lama misalnya, isu politik aktual adalah kontra-revolusi. dengan kata lain, untuk menggebuk lawan politik yang berseberangan — maka elit politik dan penguasa kala itu cukup menghembuskan isu dimaksud, selanjutnya melalui operasi bendera palsu, lawan politik pun dihabisi. Zaman orde baru pun demikian. Isu aktualnya adalah komunisme/PKI, atau subversif. Lalu, melalui kedua isu tersebut, ia membabat lawan-lawan politiknya. Sedang di orde reformasi sekarang ini, berbeda lagi. Namun tidak boleh disangkal, bahwa isu korupsi kini dianggap modus favorit dan sarana aktual membungkam (memenjarakan) lawan-lawan politik.

Antara isu dan operasi bendera palsu bisa satu paket atau memang rentetan skenario, atau terkadang operasi berdiri sendiri — hanya menumpang pada kejadian riil, dan/atau “peristiwa” hasil cipta kondisi.

Menjadi keniscayaan bila di setiap operasi bendera palsu selalu ada “korban” dan/atau “pihak yang dikorbankan.” Itu memang sudah jamak pada dunia politik. Entah korbannya adalah orang, kelompok, atau bahkan faham, aliran dan ideologi (saya tidak mau menyebut agama), tergantung bagaimana skenario dijalankan.

Sekitar tahun 2015-an lalu di Rusia, Putin berhasil menaikkan kembali pamor politiknya melalui operasi bendera palsu dengan cara “menghilang dari publik.” Isu pun bertebaran karenanya. Ada yang bilang ia dikudeta oleh militer, atau bergulir isu bahwa Putin sedang menengok pacarnya yang habis melahirkan, atau isu punggungnya terkilir, dan lainnya. Rusia sempat geger karena “menghilangnya” Putin beberapa saat. Tata cara ini dapat pula disebut test the water, melihat riak air (publik) melalui lemparan batu (isu). Menyelami loyalitas rakyat terhadap pemimpinnya. Termasuk 2016 kemarin ketika ia kembali dari KTT G-20 di China, mobilnya ditabrak oleh orang tak dikenal hingga si sopir tewas. Putin memang tidak ada di mobil tersebut. Dunia sempat gempar. Namun belakangan hari, pantas diduga, bahwa peristiwa tabrakan tersebut bagian dari false flag operation guna menaikkan kembali pamor politik Putin baik di forum global terutama di negeri yang dipimpinnya.

Kudeta 5 (lima) Jam di Turkey pun demikian. Ini merupakan contoh operasi bendera palsu yang dikemas rapi oleh Recep Tayip Erdogan karena pertimbangan situasi. Sah-sah saja. Siapapun rezim, tentu tidak ingin ada “matahari kembar” di masa kekuasaannya. Tidak ada kawan dan lawan abadi kecuali kepentingan. Kenapa? Erdogan dan (Fethullah) Gulen sebelumnya justru berkawan, bahkan berkoalisi untuk memenangkan Erdogan pada pemilu 2002, termasuk membendung kudeta Ergenekon dan Bolyus yang dikendalikan kelompok sekuler pada 2004. Erdogan menggunakan pengaruh Gulenis di lembaga kejaksaan dan intelejen kepolisian untuk mengungkap rencana kudeta kelompok sekuler.

Tak boleh dipungkiri memang, pengaruh Gulen di Turkey sangat besar. Gerakannya tidak hanya fokus pada bidang agama dan sosial saja, namun ia memiliki jaringan di berbagai lini seperti di militer, di kepolisian, kejaksaan, birokrasi, dan lainnya. Bahkan lebih luas lagi, jaringannya tersebar hingga ke luar negeri dimana kader-kadernya tunduk pada satu komando (Gulen). Tapi sungguh sayang, di mata Erdogan, gerakan para Gulenis dinilai tidak bisa bekerjasama selaku pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di Turkey. Singkat kata, pemerintahan di bawah kepemimpinan Erdogan merasa terancam oleh gerakan Gulen. Maka dibuatlah operasi bendera palsu bertajuk: “Kudeta 5 Jam” sebagaimana tersaksikan di berbagai media. Intinya menyingkirkan Gulen dan loyalisnya dari pemerintahan Turkey.

Pantas saja relatif singkat —5 jam— dimana Erdogan mampu menangkap 124 Jenderal (35%) dari 358 Jenderal angkatan bersenjata Turki, dan 83-nya berpangkat Brigadir Jenderal dan Laksamana Muda, karena niscaya para loyalis Gulen telah dipetakan (mapping) terlebih dulu oleh Erdogan. Boleh bandingkan penanganan kudeta di Turkey dengan penanganan 3 teroris di Jalan Tamrin, Jakarta yang memakan waktu lebih dari 5 jam.

Berkaca pada kasus di Turkey, ada 4 (empat) learning point yang dapat dipetik, antara lain: (1) tidak boleh ada matahari kembar di sebuah kekuasaan, (2) isu yang ditabur adalah: “Gerakan Gulenis membahayakan pemerintah;” (3) Operasi bendera palsu bertajuk: “Pemberontakan,” dan (4) Gulen dan para loyalisnya adalah “sosok yang dikorbankan”.

Dan tampaknya, kuat diduga (diperkirakan) China pun akan terjadi hal serupa (seperti) di Turkey. Kenapa? Selain kedudukan Xi Jinpiang sebagai pemimpin relatif lama, juga beberapa media massa China kini tengah membangun opini bahwa “ada sebuah gerakan rahasia hendak melengserkan Xi Jinping.” Entah potensi gerakan tersebut riil, atau sekedar isu ciptaan untuk pembenaran tindakan jika kelak (operasi bendera palsu) dimainkan. Dan sepertinya, kemungkinan Xi bakal meniru pola Erdogan atau Putin yang sekedar refresing untuk mempertahankan kekuasaannya. Inilah creative destruction (terobosan merusak). Asumsinya, ketika aura kekuasaan cenderung melorot turun, maka perlu dilakukan terobosan merusak untuk kembali menaikkan pamor kekuasaan.

Kemungkinan isu aktual yang diusung dalam operasi bendera palsu oleh XI perihal korupsi, mengingat pemerintah China kini tengah gencar-gencarnya memerangi tindak korupsi. Pertanyaan selidik, “Apakah kini ada matahari kembar di China; dan siapa sosok yang bakal menjadi korban dan/atau dikorbankan bila digelar false flag operaton ala Xi kelak?”

Uraian di atas bukanlah text book, panduan yang menjadi rujukan jawaban dari pertanyaan. Bukan. Sekali lagi, tulisan ini hanya sebuah analisis atas berbagai fenomena di panggung politik (global) terkait false flag operation. Tidak ada maksud menggurui siapapun terutama para ahli dan pihak yang berkompeten. Hanya sekedar sharing pengetahuan.

Terimakasih.

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com