Membaca Isyarat Rungkad Dari Istana

Bagikan artikel ini
Melihat Fakta di Balik Peristiwa atas Viral Isu MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi
Hari ini, sepertinya tengah terjadi upaya pembelahan ataupun pelemahan kekuatan secara masif oleh invesible hands supaya isu-isu hulu, khususnya isu MPR kembali menjadi Lembaga Tertinggi Negara tidak menjadi trending topic. Tak jadi perhatian publik. Ini asumsi awal catatan ini.
Ya, mengembalikan MPR selaku lembaga tertinggi memang identik mengembalikan Kedaulatan Rakyat sebagai pemilik tertinggi kedaulatan di negara ini, dimana sejak 2004, telah dibajak oleh partai politik (parpol) berbasis UUD hasil amandemen (1999 – 2002).
Sekali lagi, itulah salah satu isu hulu yang kini tengah bergulir kuat di publik setelah topik tersebut dilempar Bamsoet, Ketua MPR, lalu disambut oleh LaNyalla, Ketua DPD RI, dalam pidato kenegaraan pada hari Rabu, 16 Agustus 2023 di Gedung Nusantara II, DPR/MPR RI, Jakarta. Intinya, “MPR kembali menjadi lembaga tertinggi, membuat GBHN, memilih dan menunjuk presiden/wakil presiden sebagai mandataris, membuat Ketetapan/Tap dan seterusnya”.
Kalau sudah begini, isu ‘bajingan tolol’-nya Rocky Gerung, misalnya, ataupun berita pengkhianatan Budiman Sudjatmiko kepada PDIP-P, atau kasus-kasus korupsi yang terus terkuak di publik dan lain-lain, sejatinya merupakan isu-isu hilir yang tidak perlu terjadi bila masalah hulu ini sudah dibenahi dan diselesaikan. Penjelasan hal dimaksud, perlu sesi tersendiri. Lain kali dibahas.
Jadi, apakah penggaduhan isu-isu hilir hanya deception (pengalihan) agar isu hulu tidak menjadi agenda publik?
Tidak juga. Keduanya, baik isu hulu maupun hilir saling berkelindan membentuk format terbaik untuk bangsa dan Negara Tauhid ini. Semoga. Dan sepertinya, ada skenario lain menyelinap senyap di antara beberapa skenario para elit politik. Dan ia —skenario lain— tercium melalui beberapa isyarat alias tanda-tanda. Maka, bacalah!
Tak dapat dipungkiri, pemilu bermodel one man one vote sebagai produk konstitusi UUD hasil amademen (1999 – 2002), selain bernapaskan individualis lagi liberal, justru membuat polarisasi sosial, menciptakan keterbelahan masyarakat kian lebar, menimbulkan konflik antarparpol maupun di internal parpol, juga yang paling utama — one man one vote— menabrak sila ke-4 dan melemahkan ikatan sila ke-3 dari Pancasila. Itu yang perlu disadari bersama oleh segenap anak bangsa. Pancasila telah dilanggar (bahkan ditinggalkan) secara terang-terangan dalam sistem bernegara akibat amandemen UUD 1945.
Kiranya, Pidato Kenegaraan Bamsoet dan LaNyalla di Gedung Nusantara II adalah ‘pintu pembuka’ bagi semua elemen bangsa, dan menjadi gelombang perubahan sistem bernegara kembali ke jati diri bangsa dengan menggunakan lagi konstitusi yang merupakan maha karya the Founding Fathers.
Terkait hari yang terpilih pada Pidato Kenegaraan, Ki Lanange Jagat pernah bertutur, “Le, Rabu itu tandanya RAJA, omongannya selalu BENAR!”.
Sesungguhnya kita semua hanya penyaksi. Sekedar menjemput takdir masing-masing. Dan di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com