Ada False Flag Di Atas False Flag Operation

Bagikan artikel ini
Telaah Kecil Prakiraan Situasi Jelang Tahap Pendaftaran Capres/Cawapres 2024
Judul dan clue di atas cukup menarik. Mengaduk-aduk pikiran publik. Pada satu sisi, ada pihak yang menumpang dalam gejolak massa guna meloloskan agendanya lewat false flag operation (seolah-olah bekerja untuk kepentingan musuh, padahal demi kepentingan sendiri/kawan). Atau, katakanlah itu ‘kegentingan memaksa’. Tak lain. Upaya penciptaan kondisi (cipkon) yang harus ‘diraih’ melalui gejolak sosial berskala besar agar ada dalih untuk menunda pemilu, contohnya, ataupun upaya memperpanjang masa jabatan presiden akibat kegentingan memaksa. Akan tetapi, di sisi lain, bagaimana caranya menunda pemilu dan/atau perpanjangan masa jabatan presiden?
Bila melalui Dekrit Presiden misalnya, selain tidak terumus dalam konstitusi, juga tidak cukup power guna menganulir konstitusi itu sendiri, apalagi cuma Perppu. Nonsense. Maka satu-satunya cara ialah via Ketetapan/TAP MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara yang TAP-nya bersifat regeling alias mengatur.
Lantas, bagaimana bisa terbit TAP MPR sedangkan MPR sudah di-downgrade menjadi Lembaga Tinggi Negara dimana TAP-nya cuma sekadar administratif seremonial belaka?
Ada dua cara untuk mengembalikan MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara agar ia berfungsi selaku puncak piramida politik dan berperan sebagai penjelmaan rakyat pemegang tertinggi kedaulatan rakyat. Antara lain adalah:
Pertama, Kesepakatan/Konsensus Nasional. Alasan filosofinya, NKRI adalah negara kesepakatan. Dan kini, kredo dimaksud dimunculkan lagi untuk mengembalikan kedudukan dan status MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara;
Kedua, jika ingin berbasis konstitusi maka digunakan pasal 37 UUD NRI 1945 tentang perubahan UUD via amandemen ke-5 dalam rangka mengembalikan kembali status MPR selaku penjelmaan rakyat alias Lembaga Tertinggi Negara.
Singkat narasi, bahwa upaya false flag alias cipkon menuju kegentingan memaksa guna ‘meraih’ TAP MPR yang bisa memperpanjang masa jabatan presiden ataupun penundaan pemilu, contohnya, maka akan tergiring false flag operation pula yaitu mengembalikan Kedaulatan Rakyat yakni MPR kembali sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
Tahap lanjutan ialah pertempuran senyap —perang pikiran— di Gedung DPR/MPR dalam rangka memperebutkan siapa dan apa kriteria Utusan Golongan dan Utusan Daerah sebagai unsur dalam MPR selain anggota DPR. Ini tak kalah sengit dan cukup menguras energi bangsa namun bersifat elitis, kurang melibatkan massa.
Lalu, bagaimana kedudukan anggota DPD? Mereka akan dilebur sebagai anggota DPR dari Fraksi Perorangan.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com