Para Investor Nikel AS-Eropa Menghalangi Pengembangan Ekspor Nikel Berbentuk Bahan Olahan di Indonesia

Bagikan artikel ini

Belakangan ini kontroversi tentang industri nikel ramai jadi bahan perbincangan berbagai “pemangku kepentingan” industri pertambangan. Hanya sayangnya, diskursus ihwal strategi pengembangan industri nikel di Indonesia di dalam negeri berbasis alih teknologi dari negara-negara maju, sepertinya malah tidak diperbincangkan secara serius. Negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat nampaknya berkeberatan Indonesia mengolah industri nikelnya di dalam negeri lantaran dipandang sebagai potensi ancaman bagi hegenomoni global negara-negara maju di bidang pertambangan khususnya nikel.

Selain itu, negara-negara Barat baik AS maupun Eropa Barat melalui agen-agen proxy-nya menggulirkan secara terus-menerus isu environmental, social and governance (ESG) untuk membangun citra bahwa para pengusaha Indonesia yang bergerak di bisnis nikel telah merusak lingkungan hidup.

 

SpaceX's Elon Musk gives an update on the company's Mars rocket Starship in Boca Chica

 

Hal itu bukan mengada-ngada. Seperti dilansir kantor berita Reuters pada 26 Juli 2021 lalu, beberapa lembaga swadaya masyarakat (non-Governmental Organizations/NGOs) telah mengirim surat terbuka kepada Elon Musk, CEO the Tesla Inc (TSL:A.O) agar supaya tidak melakukan investasi dalam industri nikel di Indonesia dengan alasan tidak ramah lingkungan. Menariknya, surat terbuka beberapa LSM tersebut ikut serta di dalamnya selain Friend of Eart dari AS juga ikut serta beberapa LSM  bersama Presiden Indonesia Joko Widodo ketika bertemu dengan Elon Musk di Texas, membahas potensi investasi dalam bidang industri nikel di Indonesia. Bisa dimengerti jika pemerintah Indonesia menaruh minat besar untuk pengembangan industri nikel dalam negeri alih-alih sekadar sebagai pengekspor dalam bentuk bahan mentah nikel ke luar negeri.

Baca:

NGOs ask Musk to not invest in Indonesia’s nickel industry over environmental worries

 

Menurut informasi yang dihimpun tim riset Global Future Institute, nilai ekspor nikel mentah per tahunnya sebesar Rp 17 triliun. Namun ekspor yang sudah diolah menjadi beragam produk maka nilai ekspornya meningkat tajam  sebesar Rp 510 triliun per tahun.

Dalam konteks inilah maka konsep downstreaming hilirisasi industri nikel yang digulirkan Presiden Joko Widodo menjadi menarik untuk diulas secara lebih mendalam. Sebab dengan demikian, hilirisasi produk nikel hasil olahan yang diekspor ternyata menghasilkan keuntungan  jauh lebih besar bagi negara kita dibandingkan  dengan ekspor produk dalam bentuk bahan mentah.

Baca juga:

Presiden Jokowi Tegaskan Pemerintah Tidak Akan Hentikan Hilirisasi Industri

Namun pada tataran inilah, negara-negara maju (AS dan blok Barat) maupun beberapa pelaku bisnis di sektor pertambangan di dalam negeri, sepertinya tidak tertarik ketika diajak membahas berbagai kemungkinan untuk pengembangan industri nikel Indonesia yang berbasis alih-teknologi dari negara-negara maju seperti AS maupun beberapa negara Eropa Barat. AS maupun beberapa negara Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa maupun G-7, tidak punya itikad baik untuk mengembangkan kerjasama strategis yang saling munguntungkan dan setara dengan negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. AS dan Eropa Barat lebih suka untuk mempertahankan skema ekspor nikel produk berbentuk bahan mentah alih-alih hilirisasi produk nikel hasil olahan yang diekspor.

Selain itu, AS-Eropa juga tidak tertarik membantu Indonesia dan juga negara-negara sedang berkembang pada umumnya dalam  bidang alih teknologi. Lantaran negara-negara maju tersebut tetap berkeinginan agar Indonesia dan negara-negara berkembang tergantung pada negara-negara maju baik di bidang industri maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, AS-Eropa tidak ingin Indonesia mandiri dan berjaya di bidang industri pertambangan utamanya di industri nikel.

Dari sini nampak jelas bahwa Skema Penjajahan Gaya Baru berbasis korporasi global ala VOC pada zaman penjajahan klasik yang dikembangkan AS maupun Eropa Barat, masih tetap berlangsung hingga kini.

Maka itu tidak mengejutkan jika AS dan blok Barat kemudian mengkampanyekan bahayanya perusakan lingkungan hidup ketika Indonesia mengembangkan produksi industri nikel di dalam negeri. Hal tersebut terbukti ketika beberapa NGOs mendesak agar Indonesia menghentikan rencana potential direct investment dalam bidang industri nikel di Indonesia, apalagi dalam menjalin kerjasama yang selaras dengan skema bisnis Tesla.

Bagi AS dan negara-negara Eropa Barat yang sudah menjadi pemain yang dominan dalam bidang industri nikel, menyadari betul cadangan nikel Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Sehingga ada kepentingan statusquo AS-Eropa Barat untuk menghalangi Indonesia memproduksi industri nikelnya berskala besar. Sebagaimana keluhan beberapa pengusaha nikel yang tergabung dalam Asosiasi Penambangan Nikel Indonesia (APNI), para pengusaha nikel Indonesia selalu menghadapi  tentangan keras dari para investor nikel dari AS-Eropa.

Padahal menurut para pelaku bisnis yang bergerak di bidang nikel yang tergabung dalam APNI tersebut, kebutuhan nikel untuk fasilitas pengolahan di Indonesia semakin besar saat ini. Sampai hari ini, terdapat 53 smelter pirometalurgi (RKEF) dengan 179 tungku pembakaran (furnace) yang beroperasi di Indonesia. Dan 4 fasilitas hidrometalurgi (HPAL) di Indonesia.

179 tungku pembakaran  tahun ini membutuhkan 170 juta ton bijih nikel. Hal tersebut terjadi karena semakin besarnya tuntutan kebutuhan. Kalau pada tahun lalu masih ada illegal mining sekitar 30 persen, pada tahun ini sudah tidak ada lagi akibat gencarnya pembersihan praktek-praktek kolusi dan korupsi di sektor pertambangan. Atau terbongkarnya praktek-praktek kolutif di sektor pertambangan oleh berbagai media massa berpengaruh di Indonesia.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com