Membaca Krisis Yaman dari Perspektif Geopolitik dan Kawasan

Bagikan artikel ini

Menelaah Yaman di tengah gempuran militer Arab Saudi dan aliansi Gulf Cooperation Council (GCC) atau Dewan Kerjasama Teluk, termasuk ada militer Sudan di dalamnya, juga Mesir, ada Maroko, dll bahkan Israel, ibarat menembak target sasaran yang bergerak. Artinya, akurasi telaah pasti cenderung bergerak, nisbi, atau relatif. Apalagi jika pisau analisa hanya berbasis atas konflik antarmazhab, atau pertikaian aliran dalam agama (Islam), kemungkinan kadar akurasinya jauh dari harapan, mengingat konflik apapun di muka bumi terutama konflik berskala besar sifatnya hanya “tema” belaka, karena niscaya tersimpan hidden agenda serta bercokol “skema” lain yang hendak ditancapkan. All warfare is deception, kata Sun Tzu. “Semua perang adalah tipuan.” Namun kendati sebatas tema —tipuan— konflik antarmazhab tetap dijadikan keping ulasan walau cuma menyambung bahasan, bukan inti bahasan.

Skala krisis di Yaman bukanlah konflik mikro yang dapat diselesaikan melalui perjanjian damai, rekonsiliasi, atau islah, namun konflik dimaksud memiliki dimensi makro (geopolitik, geostrategi dan geoekonomi) oleh karena terkait hegemoni superpower dan niscaya tersirat kepentingan para adidaya. Nah, tulisan ini coba mem-breakdown perang tersebut dari perspektif geopolitik dan kawasan, kenapa demikian?

Bahwa kawasan sebagai keadaan atau kondisi statis merupakan kepingan puzzle agar kajian tidak meluas kemana-mana, selain perilaku geopolitik (para adidaya) kerapkali memetakan (mapping) kawasan sebagai obyek atau sasaran kolonialisme. Dan kawasan itu sendiri, dalam perspektif hegemoni adidaya juga sering ditempatkan sebagai pijakan bagi geostrategi dalam rangka menguasai kawasan-kawasan lain (geoekonomi). Inilah kemasan kolonialisme di muka bumi.

Sedangkan alasan kenapa geopolitik dijadikan pisau bedah menguak peristiwa ini, memang ia lazim digunakan oleh kalangan global review sebab sifatnya multi dimensi, lintas ilmu, serta mampu menguak hal tersirat daripada yang tersurat, ataupun dapat melihat latar ‘mengapa krisis terjadi’ bukannya sebatas pada kajian ‘apa yang tengah terjadi’.

Tak ada maksud menggurui siapapun dalam kajian ini selain sharing wawasan (bukan cuma kedalaman) semata. Bila ada perbedaan perdapat baik arti, maksud dan makna, mohon dimaklumi. Artinya bila ditemui perbedaan nantinya, anggap sebagai kewajaran yang perlu didiskusikan lebih dalam untuk mengurai kebenaran sesungguhnya, bukan malah timbul syak wasangka, dan sebagainya apalagi sampai memunculkan rasa saling curiga. Inilah uraiannya secara garis besar lagi sederhana.

Yaman adalah negeri kaya minyak dan emas, namun hingga kini rakyatnya miskin, mengapa? Jawabannya simpel: “Karena yang mengeruk keuntungan justru perusahaan-perusaan asing yang mengelola sumberdaya alam (SDA)-nya.” Inilah data dan fakta riil. Kok, mirip Indonesia? Ya. Berulang ganti elit kekuasaan dalam beberapa dasawarsa pun tidak mampu membuat rakyatnya berdaya, tak jua bangkit dari kemiskinan.

Dalam “Musim Semi Arab” atau Arab Spring era 2011-an kemarin misalnya, Yaman pun kembali bergolak sehingga Ali Abdullah Saleh terjungkal dari kepresidenan lalu digantikan Mansour Hadi, si “boneka” asing dan pro Barat. Tidak boleh dipungkiri memang, fenomena Kebangkitan Islam tampaknya bersemi di tengah Musim Semi Arab itu sendiri. Di tengah geliat aksi massa, rakyat tidak cuma meminta ganti rezim, tetapi juga ingin ganti sistem, dsb. Itulah tampak luar atas ruh Kebangkitan Islam.

Apa boleh buat. Peperangan asimetris atau populer disebut asymmetric warfare bertajuk Arab Spring dalam model gerakan massa yang digelar oleh Barat (Amerika/AS dan sekutu) di Jalur Sutera —akibat Kebangkitan Islam— menjadi out of control (lepas kendali). Di Mesir misalnya, Mohamad Morsi yang mengganti Hosni Mobarak meski riil buah dari gerakan massa (demokrasi) ala Barat, akhirnya toh didongkel oleh junta militer pimpinan Jenderal al Sisi. Agaknya hal serupa terjadi di Yaman, karena Mansour Hadi —si boneka Barat— seperti halnya Morsi di Mesir, ia pun dijatuhkan dari kekuasaan oleh milisi atau pasukan al Houthi.

Milisi al Houthi sebenarnya (dianggap rakyat) bukan pemberontak di Yaman meski media-media mainstrem menyebutnya pemberontak, kenapa? Bahwa cap dan stigma ‘pemberontak’ terhadap al Houthi, lebih disebabkan faktor berseberangan (‘ideologi’) dengan Arab Saudi, si ketua GCC. Ya, al Houthi bermazhab syiah, sementara Arab Saudi merupakan rezim wahabi dan sunni. Namun di luar pertikaian tersurat —sekali lagi, “tema”— di atas permukaan tadi (entah antara syiah versus sunni, atau wahabi versus non wahabi dsb), al Houthi didukung oleh para pemilih syah di Yaman.

Secara fisik, bahwa antara al Sisi di Mesir dengan al Houthi di Yaman ada ‘kesamaan nasib politik’ karena keduanya adalah side effect (dampak samping) atas Kebangkitan Islam yang mengakibatkan “Arab Spring”-nya Barat di Jalur Sutera, lepas kendali. Ya. Jalur Sutera atau The Silk Road merupakan kawasan kaya emas, minyak, dan gas bumi. Ia adalah jalur ekonomi sekaligus jalur legenda militer dunia. Jalur yang merupakan ‘garis pembatas’ antara Dunia Barat dan Dunia Timur dimana melintang dari perbatasan Cina – Rusia hingga ke Maroko.

Kembali ke konflik Yaman. Setidaknya, ada sedikit kejanggalan pada serbuan militer Arab Saudi dkk di Yaman, karena Mesir pun ternyata terlibat sebagai agresor, kenapa? Pertanyaan ini agak sulit dijawab bila mengingat ‘kesamaan nasib politik’ antara al Sisi dan al Houthi, namun jawaban singkatnya ialah: “Kharakter dan perkembangan politik, khususnya politik global itu bersifat turbulent (tiba-tiba) dan unpredictable(sulit diramalkan)”. Tak ada kawan dan lawan abadi melainkan kepentingan. Mungkin itulah jawaban sementara guna menghindari berlarutnya diskusi, sedang hal tersebut bukanlah substasi bahasan nantinya.

Fakta lain yang mencengangkan, bahwa milisi al Houthi berhasil merebut Aden, kota pelabuhan internasional di Teluk Aden. Betapa teluk dimaksud merupakan lintasan pelayaran menuju Laut Merah, Terusan Suez dan Laut Tengah (Mediterania), jalur lalu lintas pelayaran (perdagangan) dunia. Dan selain Selat Hormuz dan Selat Malaka, Laut Merah juga dinilai sebagai chokepoint shipping in the world. Jalur sibuk pelayaran. Aden masuk dalam Bab el-Mandeb, kawasan sibuk keempat dunia karena dilintasi 3,3 juta barel setiap harinya.

Bab el-Mandeb, kawasan tersibuk keempat dalam hal lalu lintas perdagangan dunia karena dilintasi minyak 3,3 juta barel setiap harinya.

Selanjutnya, sebagai kilasan tentang kondisi lalu lintas kawasan dan jalur pelayaran, bahwa lintasan tersibuk atas kapal-kapal tanker pembawa minyak memang ada di Selat Hormuz karena mengangkut 17 juta barel per hari; tersibuk kedua ialah Selat Malaka mencapai 15 juta barel setiap hari; kemudian disusul Terusan Suez sebagai jalur tersibuk ketiga sebab dilintasi 4,5 juta barel/hari; Bab el-Mandeb termasuk kawasan sibuk keempat (3,3 jta barel); kemudian Teluk Turkey 2,4 juta barel/hari; kawasan Baku-Tbilisi-Ceyhan atau BTC pipeline sejumlah 1 juta barel/hari; Kanal Panama dilintasi 0,5 juta barel per hari, dan lain-lain.

Pertanyaan menggelitik muncul, “Berapa juta barel per hari yang melintas di Selat Sunda, Selat Lombok, dan selat-selat lain di Indonesia?” Gubernur Lemhanas pernah menyatakan, akibat faktor (takdir) geoposisi silang Indonesia di antara dua samudera dan dua benua, maka 50% perdagangan dunia melintas di jalur perairan kita. “Kenapa ia tidak terdata, atau sengaja tidak didatakan?”

Kembali ke topik bahasan. Menengok sistem kendali oleh Paman Sam terhadap kawasan serta jalur minyak di atas. US Central Command (USCENTCOM) misalnya, didukung oleh Armada-5 Amerika mengendalikan hilir mudik tanker-tanker minyak di Selat Hormuz dan Bab el-Mandeb; sedang Armada-7 memantau Selat Malaka; Armada-6 mengawasi Terusan Suez, Selat Turkey, BTC pipeline, dan lain-lain. Inilah sekilas mapping kendali Barat atas kawasan dan jalur-jalur minyak di seputaran perairan pada Jalur Sutera.

Fakta lain lagi, bahwa milisi al Houthi adalah proxy (perpanjangan)-nya Iran yang didukung oleh Cina dan Rusia. Hal ini terbaca, bahwa konflik Yaman merupakan efek rezim bipolar —bukan multi-polar— namun dalam konteks antara Barat dan Timur, bukan dua negara semacam Amerika versus Uni Soviet dulu. Barat dalam hal ini adalah AS dan sekutu, sedang Timur diwakili oleh Cina, Rusia, Iran dan beberapa negara di BRICS.

“Konflik lokal bagian daripada konflik global.” Ini asumsi logis. Konflik di Yaman sebagai contoh aktual, bukanlah hanya melulu persoalan (lokal) kawasan, niscaya terkait geopolitik global. Tak bisa tidak, maka melalui asumsi ini dapat diurai hakiki skenario, bahwa pertempuran di Yaman meskipun tanpa kehadiran fisik AS dan sekutu secara nyata (kecuali Israel yang ikut penyerbuan), namun sebenarnya merupakan pertikaian antara Barat versus Cina (dan Rusia + Iran) sebagaimana peperangan di Ukraina, konflik di Syria, termasuk pula potensi konflik yang bakal meledak di Semenanjung Korea antardua Korea (Utara versus Selatan) dalam skema perebutan sistem kontrol lalu lintas perdagangan (minyak) dunia. If you would understand world geopolitic today, follow the oil, kata Deep Soat. Inilah kemasan proxy war dalam artian negara lain dijadikan “medan tempur”-nya.

Maka dapat diduga, bahwa penyebab utama serbuan militer Arab Saudi dan aliansi ke Yaman, jelas atas restu dan “suruhan” Paman Sam karena manuver milisi al Houthi sudah merambah ke Aden, Kawasan Bab el-Mandeb. Sudah barang tentu langkah Houthi amat mengusik Barat cq AS yang selama ini mengontrol Teluk Aden via Armada ke 5 Amerika. Dalam perspektif hegemoni superpower, siapapun kompetitor dan berpotensi mengganggu kepentingan geopolitik serta geostrategi kawasan AS, mutlak hukumnya untuk dilemahkan dari sisi internal melalui smart power (perang nirmiliter), ataupun diserbu dengan cara hard power (kekuatan militer) baik langsung maupun secara tidak langsung via para negara proxy seperti yang kini berlangsung di Yaman.

Dengan demikian, bagi Barat — krisis di Yaman kali ini mungkin dianggapnya PERANG TERMURAH, kenapa? Karena selain tanpa repot mengupayakan terbitnya Resolusi PBB, juga ia tidak perlu ikut dalam invasi militer, cukup dihembuskan isue destabilisasi kawasan berkenaan konflik antarmazhab di Jalur Sutera, lantas wilayah target pun bergolak. Itulah yang sekarang terjadi.

Sesuai prolog catatan ini, analisa ini memang masih bersifat nisbi dan relatif, bukan final akurasi —target masih bergerak, peperangan tengah berlangsung— namun jika merujuk hal-hal di atas, masih pantaskah apabila dunia larut oleh isu-isu bahwa konfik di Yaman akibat pertikaian antarmazhab dalam agama (Islam)?

Terimakasih

Perang di Yaman merupakan perang termurah bagi Paman Sam karena cukup melalui para negara proxy saja

 

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com