Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
“Munculnya Cina sebagai kuasa regional yang baru dalam tempo 10 sampai 15 tahun ke depan dapat meningkatkan persaingan Amerika Serikat dan Cina di Asia Tenggara dan akan meningkatkan potensi konflik bersenjata.”
(Dokumen Rand Corporation tahun 2000).
Masih ingat majalah berbahasa Inggris Far Eastern Economic Review? Dalam terbitannya pada 2002 lalu bertajuk “Wrong Target” majalah ini menulis: “ Kampanye Amerika sehubungan dengan terorisme di Asia Tenggara sungguh tidak masuk akal. Beberapa kalangan berspekulasi kemungkinan adanya motif lain, mereka mencurigai Amerika menghendaki pemulihan kembali pancangan kaki strategisnya setelah terusir dari pangkalan-pangkalan mereka di Filipina satu dasawarsa yang lalu.”
Sinyalemen Majalah Far Eastern Economic Review yang dilansir pada saat-saat maraknya isu War on Terror yang dilancarkan Presiden George W Bush 10 tahun yang lalu, nampaknya punya alasan yang cukup kuat. Percaya atau tidak, majalan tersebut sekarang sudah tidak beredar lagi di pasaran.
Mari kita telusur kembali dokumen-dokumen lama terkait dengan beberapa rekomendasi para perumus kebijakan luar negeri AS sejak 2002. Dari penelusuran Tim Riset Global Future Institute, Asia Tenggara nampaknya jadi fokus utama kajian-kajian dan rekomendasi para perumus kebijakan luar negeri di Washignton.
Sebuah laporan utama yang dikeluarkan CFR pada Mei 2001, satu setengah tahun sebelum peristiwa 12 Oktober 2002 Bom Bali menulis:
“Waktunya tepat sekali bagi pemerintahan anda untuk memfokuskan perhatian terhadap suatu kawasan yang selama ini acapkali terabaikan dari perhatian kita, yang akibatnya selalu menimbulkan bencana bagi kita (This is a timely moment for your administration to focus on a region that too often in the past has fallen off our country radar screens, always to our peril).
Laporan CFR ini ditujukan pada Presiden Bush sebagai bahan-bahan penyusunan arah kebijakan strategis Gedung Putih terkait Asia Tenggara. Rekomendasi Ini tentu saja punya implikasi yang cukup serius mengingat CFR dalam menyusun laporan dan rekomendasi kebijakan luar negeri selalu melibatkan keikutsertaan kelompok akademis dari berbagai universitas terkemuka, Eksekutif Korporasi, kalangan sektor perbankan, profesional seperti komunitas pengacara, dan bahkan dari kalangan pelaku media massa baik cetak maupun elektronik. Praktis, melalui CFR inilah, seluruh aspirasi para stakeholders atau Pemangku Kepentingan kebijakan luar negeri AS, duduk dalam satu meja merumuskan arah kebijakan luar negeri AS.
Rekomendasi CFR yang dirilis pada Mei 2001 tersebut, bahkan masih relevan hingga saat ini. Kala persaingan global antara AS dan Cina semakin memanas di kawasan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Dalam rekomendasinya, CFR menekankan, bahwa untuk melawan pengaruh Cina yang makin membesar di kawasan Asia Tenggara, khususnya Laut Cina Selatan bernilai sangat strategis, maka Amerika harus mengambil langkah-langkah yang lebih jelas dan lebih tegas. Dari laporan CFR ini jelas bahwa Laut Cina Selatan secara eksplisit disebut-sebut.
Karena itu, lebih lanjut dokumen CFR tersebut mengemukakan kepentingan AS di kawasan Asia Tenggara:
“Bahkan dengan mengabaikan ingatan akan terjadinya tragedi perang Vietnam, sulit untuk menerima ada satu kawasan seluas itu, dengan penduduk hampir 525 juta jiwa dengan GNP 700 miliar dolar setahun, yang merupakan mitra dagang kelima kita, sampai bisa terlupakan dalam kebijakan luar negeri AS. Hal ini tidak boleh sampai terjadi, khususnya terhadap suatu bagian dunia, dimana Amerika telah pernah melibatkan diri dalam tiga perang besar dalam tempo enam dasawarsa, dan dimana, krisis keuangan 1997-1998 yang terjadi disana, telah mengancam mendestabilisasi sistem keuangan seluruh dunia. “
Lalu adakah sorotan khusus CFR terhadap Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara? Simak rekomendasi CFR selanjutnya:
“Yang perlu diperhatikan secara khusus adalah cadangan minyak dan gas bumi serta tingkat produksi di Indonesia dan Brunei. Indonesia adalah satu-satunya anggota OPEC yang mengekspor 20% dari produk LNG dunia, sedangkan cadangan yang dimilikinya belum sepenuhnya diketahui.Ladang minyak dan gas bumi terus ditemukan di sana, di Malaysia, di Vietnam, dan di Filipina.”
Jelas lah sudah. Meskipun pada saat laporan CFR ini ditulis Indonesia belum keluar dari keanggotaannya di organisasi pengekspor minyak OPEC, namun sisi strategis yang digarisbawahi Amerika adalah betapa Indonesia dan negara-negara di kawasan ASEAN, mempunyai potensi kandungan minyak yang lebih besar daripada yang dibayangkan. Kosa kata yang dipalkai “Belum sepenuhnya diketahui” mengandung makna bahwa cadangan minyak Indonesia memang masih cukup besar.
Kenyataan bahwa di Sampang Madura, Jawa Timur, terungkap mampu menghasilkan 14 ribu barel per hari minyak bumi, yang berarti mampu menghasilkan uang minimal senilai 1,4 juta dolar Amerika Serikat per harinya, jelas Indonesia pastilah dipandang Washington punya nilai strategis secara geopolitik.
Maka bisa dipahami jika laporan CFR ini menekankan arti pentingnya kawasan Asia Tenggara berkenaan dengan sumber daya energy minyak dan gas bumi, mengingat selama ini sektor strategis ini merupakan pendorong utama dalam pengembangan strategi kepentingan nasional AS.
Dokumen ini menunjuk arti strategis kawasan ini sebagai sebuah tempat yang memiliki arti geopolitik penting pada persimpangan alur laut paling kritis di dunia. Begitu istilah yang digunakan CFR. Karena lebih dari 1,3 triliun dolar AS barang dagangan diangkut melalui Selat Malaka dan Selat Lombok. Data ini menggambarkan bahwa nyaris separoh dari nilai perdagangan dunia-termasuk minyak yang krusial dari Teluk Persia ke Jepang, Korea Selatan, dan Cina.
Karena itu CFR mengingatkan:
“Akibatnya, setiap gangguan atau pengalihan terhadap alur pasokan minyak tersebut akan mengakibatkan pengaruh yang berdampak menghancurkan ekonomi Asia Timur, dan pada perkembangannya dampak sekunder yang tidak terbayangkan terhadap ekonomi Amerika juga.”
Pada tataran ini kelihatan jelas penyakit paranoidnya para elit politik di Washington.
Kecemasan yang akhirnya dirumuskan menjadi peringatan melalui rekomendasi CFR, maka kemudian dokumen ini merumuskan ini sebagai masalah dan ancaman nasional Amerika di masa depan. Sehingga dokumen CFR ini merekomendasikan perlunya dan bahkan keharusan untuk mencegah intervensi oleh sebuah kekuatan rival lain, melalui saran yang disampaikan kepada penasehat keamanan nasional (National Security Council). Kekuatan rival yang dimaksud dalam dokumen ini tak pelak lagi adalah Cina dan Rusia.
Karena itu dalam rekomendasinya, CFR menekankan untuk menguasai kawasan ini, sehingga control atas alur laut yang mempunyai nilai kunci, atau choke points, di seluruh Asia Tenggara akan menempatkan Washington pada posisi yang mampu menekan Cina. “Dengan memperkuat kehadiran militer di kawasan ini, Amerika Serikat akan mampu menghadapi tantangan klaim Cina di Laut Cina Selatan dan pulau-pulau yang dipersengketakan seperti Spraley dan Paracel.”
Paragraf ini lagi lagi menjelaskan secara terang benderang bahwa fokus utama dan sasaran strategis Washington adalah penguasaan cadangan minyak dan gas bumi yang diprediksi punya kandungan yang cukup besar.
Sisi menarik dari modus operandi kehadiran militer AS yang luput dari amatan dan liputan media massa adalah, terumuskan dalam dokumen CFR ini: “Amerika Serikat harus memelihara kehadiran kekuatan militer yang handal melalui suatu program latihan bersama sekawasan yang didukung oleh infra struktur yang efektif.”
Karena itu sudah sewajarnya Indonesia mewaspadai segala macam bentuk kegiatan seperti latihan militer bersama dan forum gabungan lintas negara yang biasanya sepenuhnya berada dalam supervise Pentagon. Baik pelatihan militer antar angkatan maupun antar negara. Maupun program pelatihan dalam bentuk pertukaran tingkat perorangan perwira maupun kelompok kecil.
CFR bukan satu-satunya rujukan atau narasumber bagi para pelaku kebijakan luar negeri AS dalam perumusan arah kebijakan strategisnya.
Membedah Dokumen Rand Corporation Tahun 2000
Pada 2000, sebuah think –thank yang dibiayai Pentagon, Rand Corporation, dalam sebuah studinya bertajuk The Role of the Southeast Asia in the US Strategy toward China, secara terang-terangan meminta perhatian akan bahaya yang dihadapi oleh Cina terhadap kehadiran Amerika di Asia Tenggara. Dan menyarankan untuk mengembangkan suatu strategi yang mereka sebut hedging strategy (Strategi Memagari). Sebuah istilah baru untuk menggantikan konsepsi lama containment strategy (Strategy Pembendungan) yang digunakan di era Perang Dingin. Istilah hedging strategy ini digunakan Rand Corporation untuk membenarkan alasan AS perlunya menghadirkan dan memperkuat kehadiran dan akses militer AS atas berbagai fasilitas yang diperlukan guna membendung pengaruh Cina.
Strategi AS untuk membendung Cina di Asia Tenggara nampaknya memang tidak main main. Laporan Rand Corporation secara tegas dan lugas menekankan:
“Munculnya Cina sebagai kuasa regional yang baru dalam tempo 10 sampai 15 tahun ke depan dapat meningkatkan persaingan Amerika Serikat dan Cina di Asia Tenggara dan akan meningkatkan potensi konflik bersenjata.”
Meskipun Laporan Rand Corporation ini dirilis pada 2000 semasa pemerintahan Bush, namun pemerintahan Obama bisa dipastikan tetap akan merujuk pada rekomendasi Rand Corporation tersebut. Karena untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, akan sangat tergantung pada kemampuan memelihara kehadiran dan pengaruh Amerika di kawasan itu, serta terbukanya akses tanpa hambatan ke jalur-jalur laut yang ada di kawasan itu.
Di sinilah posisi krusial Indonesia dan ASEAN ke depan menjadi tak terhindarkan lagi. Karena seperti tertulis dalam Laporan Rand Corporation, Amerika perlu membina hubungan yang kuat dengan negara-negara ASEAN. Secara khusus Rand Corporation menyebut Singapore, Filipina dan secara khusus pada Vietnam, ditengarai memilii posisi strategis untuk mengepung Cina. Khususnya Singapore dinilai berlokasi sangat ideal untuk menguasai choke points (titik titik kunci) seperti Selat Malaka, serta akses menuju Vietnam dan Filipina. Sehingga bisa membantu untuk membangun superioritas udara atas jalur-jalur di Laut Cina Selatan.
Karena itu tidak heran jika Rand Corporation dalam dokumennya menyarankan untuk mengembangkan program bantuan yang bersemangat terhadap para sekutu di kawasan Asia Tenggara, khususnya Filipina.
Aspek paling krusial dari rekomendasi Rand Corporation adalah, menyarankan pemulihan hubungan militer-militer dengan Indonesia secara penuh dan memulihkan pengalihan perlengkapan militer dan suku cadang dalam rangka mencegah ambruknya kemampuan pertahanan Indonesia. Namun istilah tersebut hanya sekadar digunakan untuk dalih pengembangan program bantuan yang bersemangat atau a robust security assistance program to allies in the region.
Rujukan Pustaka
1. The Council for Foreign Relations (CFR), “The United States and the Southeast Asia: A Policy Agenda for the New Administration.
2. Erich Marquardt, China’s Threat to US Dominance in Asia, Power and Interest News Report, Edisi September 2003.
3. Rand Corporation Report, The Role of The Southeast Asia in the US Strategy toward China, tahun 2000.
Facebook Comments