Membaca Pembubaran GP Mania

Bagikan artikel ini
Jab-Jab Kecil di Warung Kopi
Siapapun. Entah GP Mania, Ganjarian, dan lain-lain, mereka adalah kelompok buzzer. Kumpulan orang yang diorganisir untuk meng- endorse, mendukung, serta melambungkan seseorang (objek) supaya ngetop dan dikenal publik. Sasarannya tak lain, agar si objek yang di- endorse memiliki elektabilitas tinggi di masyarakkat terkait konstelasi politik yang sedang berlangsung.
Lazimnya para buzzer dalam menjalankan misi si tuan menggunakan ‘kacamata kuda’. Tak peduli cara yang ditempuh keliru, hoax, ataupun menyalahi adab, yang penting sasaran tercapai. Hampir segala cara dijalankan. Doktrin lazim yang dianut kelompok ini ialah ‘ketika tulang ada di mulut anjing, kebenaran hanya dari mulut tuannya’.
Makanya era kini, kerap kali disebut post truth. Sebuah masa di mana kebenaran informasi diletak pada urut kesekian, sedangkan ‘kebohongan’ diframing sedemikian rupa seolah-olah kebenaran. Inilah era pembenaran alias post truth yang konon dimulai sejak serbuan koalisi militer Barat pimpinan Amerika Serikat ke Afghanistan tahun 2001-an atas nama War on Terrorism.
Mereka —para buzzer —menyalak dan saling bersaut-sautan di ruang publik dalam rangka membentuk opini agar sesuai keinganan si tuan. Dan atas kerja tersebut, mereka memperoleh imbalan atau kompensasi. Kalau di dunia militer terdapat tentara bayaran, di dunia maya, itulah mereka. Jadi, kalau dibilang relawan, itu hanya eufemisme. Penghalusan kata belaka. Lebih tepat jika mereka dinamai ‘pamrihwan’. No free lunch. Tidak ada makan siang gratis di dunia politik praktis. NPWP. Nomer piro, wani piro?
Buzzer kini menjadi ‘industri’ yang memproduksi komoditas (isu-isu) post truth, black campaign, dan lain-lain. Seiring konstelasi politik menjelang pemilu, misalnya, kelompok ini akan tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Mereka bukan partai politik, namun sering kali power-nya bisa sejajar dengan partai. Bahkan usai konstelasi pemilu, ada yang nekat membentuk partai politik berbasis jaringan buzzer.
Sungguh unik, ketika dinamika politik semakin mengerucut, tetapi GP Mania kok justru membubarkan diri. Ini fenomena asyik lagi menarik untuk dicermati. Ada apa gerangan?
Beberapa hipotesa muncul terkait pembubaran GP Mania, antara lain:
1. Apakah dukungan logistik sudah tersendat, bahkan tidak menetes lagi;
2. Adakah power di atas objek yang didukung justru menyuruh mereka menghentikan endorsement;
3. GP dipersepsikan sebagai capres tak potensial karena hingga kini belum ada sinyal-sinyal ia didukung PDI-P, atau partai lainnya;
4. Kebangkrutan peran ‘relawan’ (buzzer) dalam Pemilu 2024, dalam arti — semakin cerdasnya publik/nitizen. Dan buzzer kini bukan lagi kekuatan independen yang sejajar dengan partai;
5. Lazimnya kelompok buzzer memiliki ‘mentor’ ataupun bohir yang mengarahkan dan memproduksi isu-isu (‘komoditas’), atau tema gerakan. Bohir juga bisa semacam backing. Dan sang mentor-lah yang punya jaringan luas dengan entitas lain. Nah, pada isu pembubaran GP Mania ini atas instruksi si bohir alias mentor.
Inilah lima asumsi dan/atau hipotesa yang terbaca dengan bubarnya GP Mania.
Tidak ada maksud menggurui apalagi menyinggung para pihak yang keciprat tulisan ini. Mohon maaf. Juga bukan kebenaran, tak pula pembenaran. Hanya sharing uneg-uneg hilir hasil obrolan di warung kopi.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com