Epicentrum Perubahan Geopolitik
Abad ke 20 lalu disebut Era Atlantik. Artinya ialah, bahwa ilmu pengetahuan, peradaban, kemakmuran, atau segala sesuatu yang membuat ‘terang benderang’ dunia — khususnya faktor HEGEMONI itu berasal, berpihak dan ada di Barat, yang dalam hal ini adalah negara-negara di seputaran Benua/Lautan Atlantik. Hegemoni dalam arti mikro terlihat via kecanggihan militer serta nilai mata uang pada sebuah kawasan tertentu, atau bahkan daya tukarnya di dunia.
Namun kendati abad lalu disebut ‘matahari terbit dari Barat’ (Era Barat), tetapi TITIK PUSAT (epicentrum)-nya justru ada di Kawasan Heartland atau Jantung Dunia, ataupun World Island (Timur/Asia Tengah) —meminjam istilah Mackinder— selaku kawasan utama penyuplai atas moncer-nya hegemoni Barat di panggung politik global. Artinya, tanpa eksploitasi dan kolonialisme Barat di Jantung Dunia, hegemoninya niscaya meredup. Makanya GFI, Jakarta, kerap menyatakan bahwa geopolitical shift (pergeseran geopolitik) sesungguhnya bukan berpindah dari Atlantik ke Asia Pasifik, tetapi gerak bandulnya kuat bergoyang dari Jalur Sutera dalam hal ini adalah Heartland, menuju ke Laut Cina sebagai ‘titik besar’ arah pergeseran dimaksud. Bukankah Laut Cina itu sendiri merupakan lintasan Garis Hidup Imperialisme (Jalur Sutera) sebagaimana isyarat BK di KAA, Bandung?
Sebagaimana diulas pada prolog tulisan ini, perairan nusantara termasuk lintasan ataupun penggalan dari Jalur Sutera yang diperebutkan para adidaya dunia. Mencermati lebih dalam geopolitical shift abad ke 21 dari Atlantik menuju ke Asia Pasifik, bahwa epicentrum dimaksud tentunya akan berubah pula. Memang titik (pergeseran) makronya kuat diduga ada di Laut Cina, tetapi epicentrumnya di sebelah mana? Sebagai pembanding di Era Atlantik lalu, meski warna hegemoni ada di Atlantik/Barat, namun titiknya malah di Heartland (Timur/Asia Tengah), jantungnya dunia. Asumsi (sementara) GFI, Jakarta, epicentrum di Era Asia Pasifik kemungkinan ada dan berada di Indonesia.
Tampaknya asumsi GFI tadi sejalan dengan pendapat Dirgo D Purbo, bahwa Indonesia adalah Heartland-nya Asia Pasifik. Menurutnya, kita layak ‘jual mahal’ dalam pengertian leverage terhadap negara-negara yang memiliki kepentingan ekonomi di NKRI. Dirgo menambahkan, bahwa 80% APBN Australia misalnya — itu tergantung dari (perairan) geografis Indonesia. Betapa berbagai ekspornya (dan impornya) dari/dan ke negara-negara Asia Timur seperti Taiwan, Korea, Jepang dan Cina selalu dan selalu melintas di perairan Indonesia dalam hal ini adalah Selat Lombok. Boleh dibayangkan, jika suatu saat Selat Lombok ditutup oleh Indonesia dengan alasan kemananan nasional terganggu, atau alasan lain —- maka Aussie bakal ‘merengek-rengek’.
Selain menurut Dirgo, terkait asumsi epicentrum geopolitik di Asia Pasifik itu ada di negeri tercinta ini, sekurang-kurangnya ada dua rujukan lain yang bisa dijadikan referensi. Antara lain:
Pertama: “Pentagon Papers Eisenhower Administration” (1953). Entah bocor atau sengaja dilepaskan, tetapi sesuai UU Amerika memang setiap 30-an tahun, peristiwa yang dinilai ‘top secret’ pun wajib dibuka ke ranah publik. Hal inilah yang kini tersebar. Bahwa dokumen dimaksud mengungkap pertemuan Presiden AS, Eisenhower dengan para Gubernur Amerika. Dalam rapat tersebut Eisenhower memberi pernyataan dan tercatat:
“You dont know, really, why we are so concered with the far off southeast corner in Asia. … So, when The United State vote $400 million to help that war, we are not voting for a giveaway program. We are voting for the cheapest way that we can to prevent occurence of something that would be of the most terrible significance for The Unites State of America. Our security, our power and ability to get certaint thing we need from the riches of the Indonesia territory, and from Southest Asia”.
Terjemahan bebasnya:
–“Anda benar-benar tidak paham, mengapa kita begitu peduli dengan sebuah sudut di tenggara Asia (Indonesia).”–
–“jika kita kehilangan semua itu, bagaimanakah dunia bebas akan mempertahankan ‘empire” Indonesia yang kaya?”–
–Jadi, ketika Amerika Serikat memutuskan mengeluarkan $400 juta dolar (tahun 1953) untuk membantu perang itu, kita tidak memilih untuk program “giveaway”. Kami memilih cara termurah yang kami bisa untuk mencegah terjadinya sesuatu yang paling mengerikan bagi Amerika Serikat–khususnya keamanan kita, kekuatan dan kemampuan untuk mendapatkan hal-hal tertentu kita butuhkan dari kekayaan di wilayah Indonesia, dan dari Asia tenggara.”–
Dokumen yang dulu top secret kini telah berubah menjadi surat terbuka sesuai masa berlakunya. Intinya AS ingin memastikan kekayaan alam Indonesia dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Amerika.
Kedua: Statement Richard Nixon, Presiden AS tahun 1969-1974 yang dicuplik oleh Charlie Illingworth, penulis Amerika. Illingworth menulis:
“Presiden AS Richard Nixon (1969-1974) menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina.”
Dari dua referensi (plus pendapat Dirgo D Purbo) di atas, telah dapat ditebak bahwa zona penyuplai di Asia Pasifik kini dan nanti — sebagaimana dulu Heartland dijadikan kawasan penyuplai bagi hegemoni Barat pada Era Atlantik kemarin, bahwa epicentrum geopolitik di Era Asia Pasifik pastilah Indonesia, negeri kaya namun rakyatnya banyak yang terlunta-lunta. Ini perlu dipahami bersama, sebab itulah yang sekarang tengah berproses masif, sistematis dan konsepsional – strategis di kalangan adidaya terkait perpindahan epicentrum geopolitik global. Maknanya apa? Ya. Indonesia telah dan akan dijadikan area atau ajang bancaan (rebutan) bersama oleh kaum adidaya dunia baik kini maupun kedepan menggantikan posisi Heartland. Sekali lagi, ini yang penting dipahami bersama. Pertanyaan menggelitik timbul, “Lalu, bagaimana para elit dan pengambil kebijakan di negeri ini bersikap atas keadaan itu?”
(Bersambung ke 12)
Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)