Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera (10)

Bagikan artikel ini

Naturalisasi K-Pop dan J-Rock

Untuk melemahkan “pagar timur”-nya BRICS dan SCO —Poros Komunis— Paman Sam melakukan transaksi senjata dalam jumlah signifikan dengan Taiwan untuk mengantisipasi agar Taiwan menolak tawaran Cina menjadi bagian provinsinya. Ini modus lain smart power-nya Barat, betapa tidak cuma keuntungan, yang utama adalah KETERGANTUNGAN negara pembeli kepada si produsen (AS) atas kebutuhan spare part misalnya, atau capacity building, pelatihan operator, dan lain-lain.

Langkah lainnya adalah naturalisasi. Ini mirip cara Barat menstigma jahat Iran dan Pakistan, hanya kemasannya berbeda. Bila stigmasisasi sebelumnya berkisar isue-isue kekerasan (negara) Islam demi tercipta Islamophobia, sedang untuk melemahkan pagar timur melalui sentimen ras dan upaya pengglobalan budaya Korea Selatan dan Jepang.

Awal abad ke 21 lalu, muncul gebyar media-media (dan berafiliasi ke) Barat plus Hollywood melakukan kampanye secara gegap gempita Korean-Pop (K-Pop) hampir ke seluruh penjuru dunia. Program jalinan sosial budaya dilakukan secara sistematis dan masif. Pertukaran siswa dan pelajar Korea ditingkatkan secara massal dengan sejumlah negara, terutama pada negara-negara Asia Tenggara. Hal ini terbaca sebagai bentuk naturalisasi (kampanye) kemasan lain. Sasarannya, apabila terjadi serangan militer terhadap Korea Selatan, maka seluruh dunia akan bersimpati kepada Korea, dan sebaliknya mengutuk kelompok negara penyerang. Ini bentuk supportPaman Sam mem-back up Korea Selatan, selain ribuan militernya bercokol di Seoul (28.000-an personel) secara permanen.

Naturalisasi K-Pop untuk mengglobalkan budaya Korea di panggung budaya dunia.

Demikian pula naturalisasi Japanesse Rock (J-Rock) sebelum isue K-Pop gegap gempita. Inti sasarannya, agar budaya Jepang dan Korea menjadi bagian budaya global. Dengan demikian, jika kelak terjadi perang di Asia Pasifik dan memilih lokasi di Laut Cina, maka masyarakat internasional akan mendukung kedua negara, termasuk merestui intervensi Barat dalam perang dimaksud.

Pengglobalan budaya Jepang di dunia untuk meraih dukungan publik internasional

Sebagai catatan kecil di Bumi Pertiwi ini, bahwa penggebyaran K-Pop dan J-Rock dirasa kurang membumi. Memang sempat populer, tetapi hanya pada kalangan kecil di perkotaan. Kenapa demikian, entah sengaja atau kebetulan, kepopuleran K-Pop dan J-Rock tiba-tiba meredup, tergilas oleh heboh ‘Joget Khaisar’ dan ‘Goyang Oplosan’-nya Soimah yang hingga sekarang masih menarik bila ditonton. Seperti tidak masuk akal memang, namun itulah yang terjadi. Adakah peristiwa terjadi secara kebetulan?

Popularitas K-Pop dan J-Rock seketika meredup, tergilas oleh Joget Kaisar

 

 

Tanpa sengaja, Goyang Oplosannya Soimah mampu menggusur demam K-Pop dan J-Rock

Memanasnya Semenanjung Korea antardua Korea (Utara versus Selatan), mirip konflik di  Ukraina, artinya keduanya (Ukraina dan Korea) hanya proxy war antarporos komunis cq Cina dan aliansi melawan kapitalis cq AS beserta sekutunya. Dalam perspektif poros komunisme, Korea Utara merupakan pagarnya di timur, maka wajar bila Barat mempunyai kepentingan untuk merobohkan. Dan selain via naturalisasi K-Pop, stigmasisasi jahat pun diarahkan terhadap Korea Utara lewat filem.

Ya. Mirip filem Argo dan Zero Dark Thirty di muka, Hollywood pun kembali meluncurkan filem “Olympus Has Fallen” yang berkisah tentang penyerbuan Korea Utara ke Gedung Putih. Bisa ditebak, bahwa kampanye layar lebar tersebut ialah propaganda Barat menstigma Korea Utara sebagai negara agresif, suka perang, dan seolah-olah menginginkan kehancuran Paman Sam. Sasaran propaganda bisa dibaca, bahwa filem Olympus ialah upaya menggiring opini dunia agar kelak merestui AS melakukan intervensi jika meletus Perang Korea. Ada pertanyaan muncul, “Kenapa Barat bernafsu menjatuhkan Korea Utara?”

The Lady, filem yang mengherokan kiprah Aung San Sun Kyi sebagai pejuang demokrasi di Myanmarm bagian dari propaganda Barat

Semenanjung Korea adalah pintu utama bagi Barat memasuki Cina. Walau pada satu pihak, Korea Selatan dalam kendali Barat, tetapi Korea Utara itu ‘anak emas’-nya Cina di pihak lain. Kondisi berimbang. Kegaduhan politik yang dilakukan Kim Jung-un mengganggu Barat khususnya Paman Sam selama ini, dipastikan atas restu Paman Mao, istilah lain Cina.

Tanpa terlebih dulu menduduki Korea Utara, strategi AS menguasai Cina bakal terkendala. Pantaslah bila di perairan, Paman Sam cenderung menghindari benturan langsung dengan Cina, karena beberapa pagar dari poros komunis tersebut, belum ada yang roboh sama sekali.  Inilah unpredictable (sulit diramalkan)-nya perkembangan politik global.

Turbulensi Posisi India di BRICS

Posisi uniq India dalam BRICS kembali kita bahas terkait mapping (geo) ekonomi. Di satu sisi, India berseteru dengan AS sehingga ia bergabung ke BRICS, namun di sisi lain — India menjalin kerjasama pipa gas dengan Myanmar. Jika cengkeraman politik dan militer Paman Sam terhadap Myanmar sangat kuat, nantinya nasib India selain akan semacam Cina, diputus segala kontraknya di tengah jalan, juga apabila meletus friksi terbuka antardua adidaya serta masing-masing aliansinya, sudah dapat diprediksi, bahwa India pasti mendukung Myanmar dengan alasan keberlangsunganenergy security terus berlanjut di Myanmar. Dan jika ramalan (perang) itu tidak meleset, sudah boleh dipastikan bahwa India kelak berpaling ke AS meski sebelumnya berseteru. Inilah turbulensi posisi India dalam BRICS yang layak dicermati.

Berbasis circumstance evidence dan patern evidence, semakin terbaca bahwa konflik Muslim Rohingya versus Budha Rakhine kemarin, diduga kuat merupakan ‘Geostrategi Barat’ dalam rangka menancapkan (mengambil-alih) pengaruh di Myanmar, kenapa? “Tema kolonialis“-nya relatif tidak berubah, yakni hadirnya pasukan asing pasca konflik dalam hal ini PBB dan AS, karena ujungnya Myanmar berbalik menjadi pro Barat. Bukankah sebelum muncul konflik Rohingya, investasi Cina dan Rusia lebih banyak daripada AS?

Kembali ke modus Barat dengan senjata naturalisasi untuk melemahkan pagar-pagar kawasan (poros komunisme). Lagi-lagi, naturalisasi semodel K-Pop, filem Argo, Olympus Has Fallen, dll ditayangkan oleh Barat untuk mendukung Myanmar. “The Lady” diluncurkan di tengah konstalasi politik global. Filem tersebut berkisah tentang Aung San Sun Kyi sebagai pejuang demokrasi Burma, nama lama Myanmar. Mungkin targetnya, apabila kelak diserang Cina dan/atau Thailand maka masyarakat internasional akan mengutuk penyerang, sebaliknya (diharapkan) publik merestui sikap PBB untuk campur tangan, ataupun membenarkan langkah AS beserta sekutunya melakukan intervensi. Pertanyaan menggelitik muncul di tengah turbulensi politik, “Kemana Indonesia hendak bersekutu?”

(Bersambung ke 11)

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com