Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera (2)

Bagikan artikel ini

PD II (1939- 1945)

Belum sampai 20-an tahun pasca PD I, tarik menarik kepentingan antara empat kubu (kapitalis, komunis, fasis dan Islam) mendekati puncaknya. Diawali oleh Stalin yang memploklamirkan The Great Turn (1928) dalam rangka menyatukan komunisme dunia di bawah komando Uni Soviet di satu pihak, sedangkan di pihak lain Yahudi mendeklarasikan kapitalisme sentralistik berbasis ajaran Keynes (1933). Kapitalis ala Keynes melahirkan sistem perbankan terpusat (Bank Sentral). Dan selang bersamaan (1933) waktu, kelompok negara fasisme semacam Jerman, Italia dan Jepang pun bangkit, disusul Pan Islamisme (1936-an) hendak menyatukan diri.

Ternyata dari empat kubu di atas, hampir semuanya mencapai “puncak” jelang 1939 kecuali Islamisme yang belum begitu solid. Akibatnya suhu politik meningkat di Eropa dan Asia, terutama di negara-negara basis daripada isme-isme dimaksud. Komunisme misalnya, ia menjalar ke Eropa Timur. Fasisme pun demikian, selain memiliki basis di Jerman, Italia dan Hungaria, Jepang pun mulai mendominasi Asia Timur dan Asia Tenggara.

Ketegangan kian meningkat ketika basis utama kapitalis di Eropa dan wilayah koloni di Asia-Afrika ‘diganggu’ oleh komunisme dan fasisme. Maka tahun 1939 pun meletus PD II, yang sejatinya merupakan peperangan antara kapitalisme melawan fasisme. Itulah yang terjadi. Pertanyaannya adalah, “Dimana posisi komunisme dan Islamisme pada perang ini?”

Apa boleh buat, komunisme di bawah Stalin sebenarnya tidak ingin terlibat dalam perang tersebut, tetapi manakala terbentuk Poros (Jerman, Italia, Jepang) Axis, hal ini mempengaruhi Uni Soviet. Kenapa demikian, adanya dominasi Yahudi di Uni Soviet mampu ‘membujuk’ Soviet agar berkoalisi sesama Yahudi (kapitalisme) Eropa. Uni Soviet pun terpancing lalu bergabung dengan kapitalisme untuk melawan fasisme dan Poros Axis. Dan PD II (1939- 1945) yaitu peperangan antara fasisme (Poros Axis) versus koalisi kapitalis-komunisme — dimenangkan oleh koalisi.

Namun ada hal tak lazim terjadi, bahwa kemenangan pada PD II bukannya membuat kubu komunisme dan kapitalisme semakin erat berkoalisi, sebaliknya malah muncul persaingan dan ketegangan antara keduanya. Aroma perseteruan ini tercium janggal. Memang, dalam politik ada adagium, “Tidak ada kawan dan lawan abadi kecuali kepentingan.”Apa gerangan yang sesungguhnya terjadi?

Organisasi komunis internasional (Komintern) malah dibubarkan oleh Uni Soviet tahun 1943. Entah pertimbangan apa. Kapitalisme cq Amerika (AS) melihat adanya degradasi kekuatan pesaing akibat dibubarkannya Komintern, peluang ini tidak disia-siakan oleh Paman Sam, kemudian ia mendirikan North Atlantic Treaty Organization(NATO) bersama Eropa dekade 1949.  Itulah dinamika pasca PD II, sementara ‘Islamisme’ mulai tumbuh dan berkembang, lalu membentuk Liga Arab (1945).

Sekurang-kurangnya, ada lima peristiwa menonjol yang mutlak dicatat dari hiruk pikuk PD II ini antara lain, selain kekalahan fasisme, muncul ketegangan antarkubu pemenang perang, ada pembubaran Komintern dan ekspansi Uni Soviet ke Eropa Timur, Afrika, dan Amerika Latin, juga dbentuknya NATO sebagai penyatuan kelompok kapitalisme, serta berdiri pula Liga Arab dan kebangkitan kelompok negara bekas jajahan Barat.

Perang Dingin (1948-1991)

Usai PD II, ketegangan antarmaniak perang (AS dan Uni Soviet) semakin memanas. Pemicu ketegangan adalah kapling-kapling wilayah pengaruh, dalam hal ini soal pembagian Jerman Barat dan Timur termasuk di dalamnya kapling Eropa Barat dan Eropa Timur. Sementara gerak laju dua poros baru yakni Liga Arab dan kelompok eks kolonial, nyaris tak terbendung. Pertanyaan nakal timbul, “Kenapa antara Uni Soviet dan AS tidak sekalian menggelar perang terbuka guna menentukan siapa sejatinya yang unggul?” Hal itu tidak mereka lakukan.

Ya. Perang selain membutuhkan modal juga bisa menghabiskan modal itu sendiri, kendati di sisi lain ia mampu mendatangkan modal. “Pampasan perang.” Asumsi pertikaian terbuka antardua superpower akan berujung kehancuran bagi pihak-pihak yang berperang, hal ini tentu menguntungkan Liga Arab dan kelompok negara eks kolonial yang nantinya dapat menelikung, lalu menggapai takhta di panggung global.

Merujuk pertimbangan tersebut, maka jalan tengahnya —- dibidani apa yang disebut “Perang Dingin,” dimana antara kapitalis AS dan komunis Uni Soviet sejatinya tetap berperang, tetapi memakai perwalian negara lain, atau menggunakan lokasi (berebut pengaruh) di kawasan Liga Arab dan di wilayah kelompok negara eks kolonial sebagai medan tempurnya. AS dan Uni Soviet hanya peremot peperangan.

Dengan demikian, asumsi sementara yang boleh dibangun, bahwa Perang Dingin itu sejatinya adalah ‘gabungan geostrategi’ kedua adidaya baik AS maupun Soviet yang bertujuan melemahkan soliditas Liga Arab dan menghambat kebangkitan negara-negara eks kolonial —- atau sering disebut dengan istilah The New Emerging Forces (NEFOS).

Bersambung ke 3 ..

Jalur Sutera, atau istilah BK adalah Garis Hidup imperialisme

 

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com