Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera (4)

Bagikan artikel ini

Kemenangan Tanpa ‘Penguasaan’ 

Buku Killing Hope: US Military and CIA Intervention Since World War II karya William Blum mengungkap fakta, bahwa pada sejarah perang modern, rekor AS selaku agresor duduk di tangga tertinggi. Pasca kemerdekaan tahun 1776 misalnya, ia aktif menebar konflik dan mengobarkan sembilan perang besar. Ada sekitar 200-an penyerbuan militer dilakukan. Dan terhitung 1977-1993 tercatat, Paman Sam mengirim militernya (invasi) ke 32 wilayah di luar negaranya. Apa yang diurai Blum di atas, belum termasuk invasinya ke Afghanistan (2001), penyerbuan Iraq (2003), atau bombardier terhadap Libya via Resolusi PBB Nomor 1973 No Fly Zone memakai tangan NATO, dan lain-lain.

Kembali ke Perang Dingin. Hikmah yang bisa ditarik ialah bahwa kebijakan ‘nyleneh’Uni Soviet di tengah (kelaziman) sentralistik komunisme, akhirnya justru memporak-porandakan ekonomi dan politiknya sendiri. “Senjata makan tuan.” Kenapa demikian, tatkala Cold War berlangsung, Uni Soviet mempengaruhi negara-negara satelitnya dengan isue perestroikaglasnost, dll sehingga melemahkan ekonomi dan politiknya secara makro. Betapa kawasan yang tumbuh kuat (dan besar) karena faktor sentralistik serta otoritarian, tiba-tiba dibuka, ditebar dan dihembuskan (kebijakan) arus demokratisasi, kebebasan serta keterbukaan, maka pecahlah Negeri Tirai Besi berkeping-keping. Ini berbeda dengan cara AS dan NATO mengelola para satelitnya, Barat tak mengganggu negara ‘proxy’-nya bahkan mendukung sepenuhnya.

Secara fisik, ada beberapa dampak Perang Dingin. Antara lain adalah: kemenangan kapitalisme atas ideologi komunisme, pecahnya Uni Soviet menjadi beberapa negara, Liga Arab melemah, hancurnya potensi kelompok NEFOS di Asia dan Amerika Latin, dsb. Perlu dicatat, meski Perang Dingin mampu melemahkan (persatuan) negara-negara Pan Islamisme, namun kenyataannya masih tersisa beberapa Negara Islam kuat seperti Irak, Iran, Libya, Syria, Mesir, dan lain-lain.

Sejatinya, Perang Dingin merupakan kemenangan kali ketiga bagi kapitalisme Barat atas isme atau ideologi-ideologi lain di dunia sejak PD I. Dan lazimnya kemenangan, harusnya memicu gelombang industrialisasi, liberalisasi, kapitalisasi, dll sesuai watak ideologinya — tetapi prakteknya tidaklah demikian, karena kemenangan kapitalisme waktu itu tidak dibarengi dengan penguasaan secara politik dan otonom atas SDA di negeri-negeri kalah perang.

Menciptakan Konflik di Dunia Muslim 

AS dan NATO menyadari, bahwa SDA yang dibutuhkan kapitalisme terbentang di Jalur Sutera. Kawasan basah berlimpah mineral dan aneka tambang. Namun celakanya — dalam perspektif hegemoni Barat, mayoritas penduduk di jalur tersebut didominasi umat muslim yang (sebelumnya) tidak berminat atau kurang menjalankan demokrasi secara penuh. Tidak boleh dielak, demokrasi merupakan sistem politik yang cenderung menyuburkan geliat industrialisasi, liberalisasi, kapitalisasi, dan jenis ‘sasi-sasi’ lainnya. Pertanyaan nakal timbul, “Apakah demokrasi itu ujud Geostrategi Barat guna mengontrol ekonomi dan menguasai SDA di sebuah negara?” Ini perlu permenungan bersama agar setiap bangsa tak hanyut dalam euphoria yang sengaja ditebar oleh Barat guna melemahkan kedaulatan sebuah negara yang ditargetnya. Ingat doktrin: “Control oil and you control nations. Control food and you control the people” (Henry Kissinger), itulah tujuan permanen atau skema abadi kolonialisme apapun di muka bumi.

Barat pun melanjutkan petualangannya untuk menguasai secara total The Silk Road, kawasan berlimpah SDA yang berpenduduk mayoritas muslim. Pintu pembuka memasuki Dunia Islam adalah Perang Afghanistan (1979), dimana AS dan Uni Soviet —sebelum Negeri Tirai Besi pecah— saling berkompetisi. Kemudian berlanjut Perang Irak-Iran (Perang Teluk I, 1980), Perang Teluk II (1990) antara Irak-Kuwait, lalu penyerbuan kembali Afghanistan (2001), pengeroyokan Irak (2003) oleh pasukan koalisi pimpinan AS, dan lain-lain.

Conflict is the protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Itu asumsi tentang konflik di kalangan global review dan penggiat geopolitik yang kerap disampaikan Dirgo D Purbo, pakar (geo) perminyakan, dalam rangka menyikapi maraknya konflik di banyak kawasan (muslim) produsen gas dan minyak. Termasuk asumsi: “Konflik lokal adalah bagian dari konflik global.” Maksudnya ialah, bahwa sebuah konflik bukanlah faktor tunggal berdiri sendiri, mungkin hanya test case atau prolog dari skenario politik yang besar. Dan konflik juga kerap diciptakan untuk deception atau pengalihan perhatian publik agar hidden agenda (tujuan sebenarnya) yaitu menguasai jalur-jalur dan kawasan kaya mineral, tidak terpantau.

Selaras dengan hal di atas, GFI, Jakarta, pimpinan Hendrajit (2010) pernah melansir sebuah asumsi: bahwa wilayah yang kerapkali terjadi konflik sering pararel dengan daerah atau jalur-jalur yang memiliki potensi besar atas emas, minyak, gas bumi. Publik dan rakyat disuguhi mainan konflik komunal secara parsial di tataran hilir, sehingga skema kolonial untuk kuasai ekonomi dan pencaplokan SDA semakin mengakar.

Membaca peristiwa konflik selama ini, sepertinya cuma bagian dari Geostrategi Barat guna memasuki kedaulatan negeri lain atas nama dogma global semacam HAM, liberalisasi, demokrasi, dll. Padahal pokok masalahnya adalah KETERGANTUNGAN-nya terhadap minyak dan gas di negara-negara produsen. Retorikanya sederhana, “Apakah di Nigeria akan muncul Boko Haram —kelompok Islam radikal— jika ia hanya penghasil ketela rambat; mungkinkah ISIS bakal lahir di Singapura, atau Israel?” Tidak untuk dijawab memang, namun retorika ini sebagai bahan perenungan.

Bahwa isue utama yang dipakai oleh Barat untuk memasuki (dan menciptakan konflik) di Dunia Islam —pasca Perang Dingin— selain melalui isue semacam pemimpin tirani, korupsi, demokratisasi, HAM dsb yang teraktual adalah stigma: “Radikalisme Islam”. Al Qaeda merupakan INDUK atau “pokok batang”-nya, sedang ranting-rantingnya adalah al-Qaeda in Arabian Peninsula di Yaman misalnya, atau Ansar al-Sharia di Libya, Boko Haram di Nigeria, Jabhat al-Nusra di Suriah, al-Qaeda in Islamic Maghreb, al-Shabab, atau yang paling aktual kini Islamic State of Irak and Syam (ISIS). Sasarannya menciptakan Islamophobia (ketakutan berlebih kepada Islam) di dunia, sedang tujuan Barat sesungguhnya ialah mencaplok SDA di negara-negara yang telah ditabur benih ‘radikalisme Islam’. Agendanya melalui skenario memerangi kelompok Islam radikal, capacity building, dsb dimana ujungnya what lies beneath the surface, kapling-kapling SDA di negara target — hal-hal yang terkandung di bawah permukaan.

Secara kronologis, ada beberapa tahapan menuju ‘Islamophobia’ melalui bangunan simulasi, stigmasisasi, naturalisasi, dan streotyping. Dalam diskusi Islam: Risalah Cinta Semesta digelar Penerbit Mizan, serta didukung oleh Studia Humanika, 19 April 2013, dua pembicara, Yasraf Amir Piliang (YAP) dan Haidar Bagir (HB) menguraikan perihal tahapan membangun opini publik (dikutip oleh Dina Y Sulaeman dalam artikel “Islam: Teroris atau Cinta” – Journal GFI ke 3: Rusia, Indonesia dan G-20, 2013), antara lain:

(1) Simulasi: menciptakan model-model realitas yang seakan tampak nyata, seakan-akan realitas, padahal rekayasa. Tragedi Boston misalnya, di jejaring sosial telah banyak tersebar berbagai foto kejanggalan dalam peristiwa itu, antara lain kehadiran tentara bayaran (private military forces) di lokasi. Para tentara itu berasal perusahaan bernama Craft yang di logonya tertera ‘Violence does solve problem’ (kekerasan pasti menyelesaikan masalah). Meskipun memang ada kemungkinan segelintir ‘jihadist’ yang terlibat, tetapi ada indikasi keterlibatan orang ‘dalam’ AS sendiri.

(2) Stigmatisasi: mendiskreditkan (setiap ada kekerasan, dimunculkan foto-foto orang Arab secara sistematik, sehingga Arab identik dengan kekerasan). Dalam tragedi Boston, stigmatisasi menimpa muslim Chechnya.

(3) Naturalisasi: proses pewajaran, melalui kartun atau film, sehingga terasa ‘wajar’ jika pelaku terorisme adalah muslim/Arab.

(3) Stereotyping: ketika disebut ‘Islam’ maka yang terbayang adalah teroris, Saddam Husein, irrasionalitas, atau fanatisme.

Dan gilirannya, terwujud Islamophobia dalam benak masyarakat global. Itulah yang tema diinginkan oleh Barat melalui tahapan serta penggiringan opini di media. Sekali lagi, hal-hal inilah yang mesti direnungkan bersama agar publik global (terutama kalangan muslim) tidak begitu saja larut dalam skema asing yang ditebarkan oleh “agen-agen”-nya di jalur-jalur atau di kawasan berlimpah SDA. Apalagi hanyut atau justru melarutkan diri dalam agenda pecah belah sesama muslim, lalu dibentur-benturkan antar mazhab dalam agama. Pertanyaan selidiknya, “Siapa sesungguhnya si perancang konflik di dunia muslim?”

Bersambung ke 5

Penggebyaran ‘kekejaman’ ISIS via media, bagian dari naturalisasi dan stigmasisai bahwa Islam itu kejam?

Solidaritas Charlie Hebdo? Bagian dari simulasi dalam tahapan cipta Islamophobia

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com