Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera (8)

Bagikan artikel ini

Menganatomi India di BRICS

Musuh ideologi (Cina + Rusia) adalah kapitalisme (AS) dan sekutu, meski dalam beberapa hal mereka sejatinya senafas. “Serupa tetapi tak sama.” Serupa pada daya eksploitasi dan dominasinya di berbagai bidang khususnya dalam hal kontrol ekonomi dan SDA dengan cara mencari bahan baku semurah-murahnya, lalu mencipta pasar seluas-luasnya. Sedangkan ketidaksamaannya (perbedaan) ada di hulu manajemen. Artinya, jika komunisme dikelola oleh segelintir elit negara, sedangkan kapitalisme dimanage sekelompok kecil elit partikelir (swasta). Bahkan muncul semacam olok-olokan politik bahwa komunisme itu ‘kapitalisme plat merah’.

Geostrategi Cina paling urgen adalah mengamankan ‘jalur kehidupan’-nya melalui String of Pearls, strategi handalnya di perairan, terutama upaya membangun pelabuhan-pelabuhan laut sepanjang daratan yang sebelah-menyebelah pada Garis Hidup Imperialisme (Jalur Sutera). Sekali lagi, pantaslah bila syahwat kolonialismenya berdiri keras manakala ia ditawari membangun Poros Maritim Dunia (Tol Laut) oleh Indonesia.

Sementara di internalnya sendiri, Cina cenderung menggunakan ‘pendekatan naga’ (hard power) daripada ‘pendekatan panda’ (smart power). Ia menutup akses masuk atas pengaruh asing di Hongkong dan Xinjiang, kenapa? Meski Hongkong tidak punya SDA sama sekali, tapi status ekonomi sebagai sepuluh pelabuhan tersibuk di dunia sungguh menggiurkan. Inilah sumberdaya menggiurkan bagi kaum kapitalis dalam perspektif geopolitik, sehingga membuatnya diperebutkan oleh para adidaya. Estimasinya, apabila jebol di Hongkong maka kolonialisme asing dalam ujud sphere of influence akan sulit dibendung. Tidak boleh dipungkiri, Hongkong ialah bagian ‘Geostrategi (pertahanan) Naga’ dan salah satu sumber bagi pertumbuhan ekonomi Cina.

Pendekatan naga di Xinjiang berbeda lagi, ketika suku (Uigur) asli yang mendiami Xinjiang adalah mayoritas muslim, maka seperti halnya perilaku kolonialisme Barat di dunia muslim, Cina pun ‘menciptakan konflik’ di daerah yang memiliki potensi besar atas minyak ini. Ia drop dan mobilisir suku Han dalam jumlah besar guna meminggirkan suku (asli) Uigur. Konflik komunal pun pecah berlarut hingga kini, mengapa? Oleh karena konflik merupakan modus geostrateginya dalam rangka mengendalikan Xinjiang agar tidak seliar Hongkong. Ya, dalam perspektif pendekatan naga, Hongkong dinilai “liar” serta agak sulit dikendalikan akibat lama bergabung dengan Barat (Inggris). Selanjutnya, tujuan konflik itu sendiri — adalah upaya Cina mereduksi pengaruh asing di Xinjiang, khususnya pengaruh negara-negara muslim dari (perbatasan) Asia Tengah.

Mengingat banyak kendala dalam membangun aliansi dengan negara-negara di sekitar Laut Cina, maka solusi terbaik dari beberapa alternatif buruk lainnya ialah ‘menciptakan konflik’. Harap maklum, jika beberapa accident di perairan baik dengan Jepang , Philipina, Vietnam maupun melawan AS sendiri — Cina terlihat sangat agresif. Ingin segera berlaga. Di satu sisi, apakah keberaniannya melawan AS karena didukung dua aliansi (BRICS dan SCO)? Mungkin juga. Sedang pada sisi lain, Paman Sam —saat ini— terkesan menghindari benturan secara langsung dengan Cina di perairan. Entah kenapa. Menunggu lengkapnya 60% armada laut (2020)-nya, atau Paman Sam hendak membenturkan Cina dengan para negara proxy-nya, atau karena faktor besarnya utang AS kepada Cina?

Kembali ke anatomi BRICS. Masuknya India di BRICS dipersepsikan memiliki motif uniq dan latarbelakang tersendiri. Secara histori, bergabungnya India dalam BRICS merupakan ulangan atas “Triangle Strategic”-nya Yevgeni Primakov, PM Rusia di era Perang Dingin. Memang (dulu) ada aliansi antara Moskwa, Beijing dan Dehli untuk membendung pengaruh Washington melalui penciptaan common enemy (musuh bersama). Sedang keuniqan motifnya adalah, bukankah India bagian Commonwealt —eks jajahan Inggris— semacam Malaysia dan Singapura? Mereka adalah “anak-anak” yang lahir dari rahim kolonialisme Inggris. Ilustrasi lain — seperti halnya Israel, Inggris adalah sekutu tradisionalnya Paman Sam. Menjadi keniscayaan bila terdapat jalinan strategi di antara mereka.

Alasan pokok bergabungnya India dalam BRICS selain faktor kedekatan geografi, juga dilatarbelakangi perseteruan (diplomasi) dengan AS. Sedang ramalan seandainya berkonflik melawan Cina, ia tidak akan berkutik sebelum Pakistan dan Iran lemah. Embrio konflik serta konfrontasi antara Cina versus India memang telah berlangsung lama terkait perbatasan.

Sampai kapanpun, perang antarkawasan (Cina-India) mustahil terjadi akibat hambatan alamih yaitu Gunung Himalaya. Dalam logika perang modern, dropping logistik dalam skala besar pada peperangan relatif lama akan mengendala dengan kondisi medan semacam itu. Bahkan jika kelak timbul clash pun, pertempuran-pertempuran kecil justru lebih efektif. Kedua adidaya sudah “saling mengancam”, jangan coba-coba membangun kekuatan militer di sekitar pegunungan, atau mencoba saling menyeberangi Himalaya.

Pakistan akan mengambil manfaat situasi jika terjadi konflik antara India versus Cina. Di satu sisi, ada dua wilayah Cina yang masih dinilai rawan (Tibet dan Xinjiang) karena gigih menentang “pendudukan” suku Han yang dimobilisir oleh pusat. Lepasnya kedua daerah ini bisa menimbulkan gangguan terhadap kedaulatan Cina. Misalnya, ancaman India melalui utara Himalaya selain dapat membesarkan radikalisme Islam di Xinjiang, juga geliat Tibet pun — yang didukung India— berpotensi membuat “kegaduhan” sendiri di internal Negeri Tirai Bambu.

Bukankah Pakistan didukung Cina dan Iran? Maka mustahil bagi India mengobarkan perang melawan Cina sebelum Iran dan Pakistan jatuh. Ini sekedar catatan kecil soal  India, kenapa ia (India) bergabung dalam BRICS.

Kita ke Beruang Merah, sebutan lain Rusia. Ya. Selain Putin aktif melebarkan jangkauan  di luar kawasan, namun ia tidak melupakan lingkungan sekitar — para (negara) tetangga. Inilah sisa kebijakan “Nearby Abroad”-nya Andre Kozyrev yang dilestarikan oleh Putin, berupa penegasan atas peran strategis regional Rusia di kawasan. Putin enggan melepas pengaruhnya di semua sektor terutama pangan dan energi baik di Kazaktan, Kirgistan, Turkistan, dst di Asia Tengah maupun di Kawasan Caucasus seperti Azerbaijan, Georgia, Armaenia, dan lain-lain.

Belarusia pun coba dirangkul untuk menjadi provinsi Rusia selain ia mendukung kelompok tertentu dalam konflik di Ukraina. Dan konflik di Ukraina itu sendiri, hakikinya adalah proxy war antara BRICS cq Rusia melawan Barat cq AS dan NATO. Dengan kata lain, manuver Rusia meluaskan pengaruh, mendapat respon langsung oleh AS. Misalnya, ketika Rusia pro Victor Yanukovic, maka Barat mendukung Victor Yusmencho, dsb. Akar masalahnya tidak lain adalah berebut kepentingan, dalam hal ini adalah kepentingan atas “takdir geopolitik” Ukraina yang berupa geopolitical of pipeline dan geostrategy position. Tanya kenapa?

Betapa takdir Ukraina sejalan dengan ajaran geopolitik Halford Mackinder, British (1861-1946) dalam buku “The Geographical Pivot of History” (1904):“Who rules East Europe, command the Heartland; Who rules the Heartland, command the World Islands; Who rules the world islands, command the world” (Terjemahan bebas: “Siapa mengatur Eropa Timur, akan mengendalikan jantung dunia [Asia Tengah]; Siapa mengatur jantung dunia/Asia Tengah, maka akan mengendalikan Pulau Dunia [Timur Tengah]; Siapa mengatur Timur Tengah akan memimpin dunia.”)

Inti pokok ajaran Mackinder merekomendasi, kuasai Eropa Timur dahulu sebelum menguasai kawasan Heartland dan World Island —sebagaimana ruh teori Mackinder— pintu masuknya pengaturan ada di Ukraina. Tak boleh dielak memang, selain faktor geopolitical of pipeline (minyak dan gas) seperti halnya takdir geografi Syria, yang tidak kalah penting adalah ‘posisi geografi’-nya. Inilah takdir (strategis) geopolitik Ukraina di panggung global. Dan hal ini pula yang kini tegah berproses secara masif. Ya. Ukraina hanyalah sebagian kecil proxy war (medan tempur) yang digelar akibat friksi antara Timur versus Barat, kenapa? Karena Ukraina adalah lintasan Jalur Sutera yang menuju Eropa (Lihat gambar: Mapping pipa energi di Ukariana).

Mapping migas di Ukraina, takdir geopolitk Ukraina di lintasan Jalur Sutera

Kontra Strategi Barat

Tampaknya percepatan gerak BRICS dan SCO melalui sosok pemrakarasa Cina dan Rusia dalam membangun aliansi baru di kawasan sekitar, mampu dibaca oleh Barat. AS dan sekutu pun melakukan serangkain manuver untuk menghambat gerak laju kompetitornya. Langkah-langkah kontra skema pun dikerjakan oleh Barat terkait geliat geopolitik Cina dan Rusia.

Pagar BRICS di sebelah barat contohnya, diganggu oleh Barat dengan (rencana) meletuskan konflik antara Iran melawan Israel. Namun langkah ini mustahil terjadi sebelum Syria jatuh di tangan AS dan NATO. Secara geografi, Syria bersebelahan dengan Irak, sedangkan Irak berbatas dengan Iran. Dalam upaya Barat, meski AS dan sekutu kemarin gagal menaklukkan Irak dalam perang 10-an tahun (2003-2012) yang menyebabkan krisis global. Agaknya kini, mereka datang kembali melalui pintu Islamic State of Irak and Syam (ISIS).

Ya, ISIS adalah kelanjutan isu al Qaeda (WoT) yang telah tutup buku pasca tewasnya Osama. Dalam cermatan patern evidence oleh Global Future Institute (GFI), Jakarta, ISIS hanyalah bidak catur pengganti Resolusi PBB untuk militer Barat memasuki kedaulatan negara lain, dalam hal ini (sementara) ialah Irak dan Syria. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bidak catur itu menjalar kemana-mana, terutama ke negara-negara berlimpah SDA sesuai mapping dan hasrat “tuan besar”-nya.

Kepentingan Barat di Irak selain minyak dan gas, menjadikan Negeri 1001 Malam itu sebagai pangkalan militernya. Secara geostrategi, jika bercokol pangkalan militer AS dan NATO di Irak maka akan memutus hubungan dengan Iran dan Syria, sekaligus melemahkan kedua negara tersebut. Makanya, dalam hybrid war di Syria, Iran mendukung Assad secara total termasuk Cina dan Rusia demi menggagalkan misi AS mendirikan pangkalan militer di Irak. Inilah yang kini berproses secara masif, namun di atas permukaan dibungkus dalam skenario memerangi Islam radikal (ISIS, dll) ataupun berkedok perbantuan kekuatan untuk mengatasi konflik antarmazab umat muslim.

Merobohkan Pagar Sebelah Barat

Langkah Barat menjatuhkan Bashar al Assad sungguh bertubi-tubi. Tak pelak, gagal melalui aksi massa (Arab Spring), kualitas aksi pun diubah menjadi pemberontakan bersenjata atau perang sipil (hybrid war). Agaknya rezim Assad kokoh bertahan. Isu pemakaian senjata kimia oleh Assad pun ditebar, namun kembali gagal. Berkali-kali dicoba via pintu Dewan Keamanan (DK) PBB agar terbit resolusi, namun juga berulang buntu karena diganjal hak veto Cina dan Rusia. Upaya Barat semakin menggebu-gebu. Mereka sekarang menggempur Syria melalui dalih yang diada-adakan yakni ‘mengejar ISIS’ di Syria. Luar biasa. Hal inipun sebenarnya terbaca oleh publik global khususnya para penggiat dan pengkaji geopolitik. Sehingga pengerahan kapal-kapal perang dan pesawat tempurnya ke Syria, terkesan ragu-ragu. Muncul pertanyaan, “Kenapa syawat politik Barat begitu besar ingin menjatuhkan Assad?”

Sasaran antaranya, bila Syria jatuh dalam genggam Barat maka pemerintahan (boneka) akan memutus hubungan dengan Iran. Perlu disadari bersama, bahwa KUNCI peperangan antara Iran versus Israel adalah “nasib (jatuhnya) Syria,” artinya Israel (dibantu Barat) niscaya akan menyerbu Iran secara terbuka jika Syria jatuh dalam kendali AS dan NATO. Maka disinilah, pintu lebar penguasaan Timur Tengah —penggalan Jalur Sutera— secara mutlak dan otonom akan berlangsung permanen oleh para adidaya Barat.

Dengan demikian, skema pelemahan pagar BRICS di sisi barat berjudul “Perang Israel versus Iran”. Dalam perspektif Barat, Iran dianggap negara terkuat di Jalur Sutera selain Arab Saudi dan lima anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang sudah pro Barat. Dalam perspektif geostrategi asing di Timur Tengah, kejatuhan Assad akan melumpuhkan Iran. Dan bila Iran lemah, Pakistan pun akan mudah dikuasai. Maka peluang besar bagi AS dan sekutu (mungkin juga India?) menyerbu Cina dari sisi Barat, bahkan nantinya Myanmar, Vietnam dan India pun bakal mudah mengganggu hegemoni Cina di Thailand.

Mencermati perilaku geopolitik kaum adidaya di Jalur Sutera, penulis teringat teori Toni Cartalucci, peneliti dari Central Research on Globalization (CRG), Kanada, pimpinan Prof Michel Cussodovsky, “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia.” Asumsi inikah yang berproses?

Promakov penggagas aliansi Cina, Rusia dan India

Bersambung ke 9 ..

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com