Membaca Poros Maritim Dunia dan Posisi Silang dari Perspektif Geopolitik

Bagikan artikel ini

Catatan tak ilmiah ini dilatarbelakangi keprihatinan, bahwa tidak sedikit program dan kebijakan pemerintah yang berdimensi sangat strategis, seringkali tak dibarengi pengetahuan tentang anatomi permasalahan, tanpa basis pemahaman yang mendalam soal geopolitik, dan tidak ada kajian tentang apa dan mana kebutuhan (agenda) prioritas bangsa. Sudah barang tentu, prakiraan yang bakal muncul atas program dimaksud, bahwa selain terkendala secara teknis, atau berpotensi menjauhkan dari tujuan negara (sesuai pembukaan UUD ‘45), juga kebijakan tersebut dapat menimbulkan “bencana geopolitik” pada bangsa dan negara. Artinya, penetapan kebijakan yang tidak pas atau kurang tepat bukan menyelesaikan masalah, malah mengundang persoalan lain yang terkadang lebih besar. Jika hal tersebut berlangsung, sesungguhnya pemerintah justru bagian permasalahan, bukan bagian dari solusi. Inilah premis, asumsi ataupun prolog dalam tulisan sederhana ini.

Merujuk judul di atas, sekurang-kurangnya ada tiga variabel pokok yang akan dibahas, pertama “posisi silang”; kedua “poros maritim dunia”; dan ketiga tentang “perspektif geopolitik” selaku pisau kajian. Kita akan bahas satu persatu secara sepintas termasuk korelasi antara ketiganya, dan sudah tentu akan terkait pula dengan hal-hal lain yang sifatnya strategis terutama Kepentingan Nasional RI sebagai skema besarnya.

Geoposisi Silang

Tahukah makna dan urgensi “(Geo) Posisi Silang” di mata global? Itulah takdir geopolitik Indonesia yang jarang dipunyai oleh negara-negara lain di dunia. Sebuah letak geografi yang berada antara dua benua (Asia dan Australia) serta di antara dua samudera (Lautan Hindia dan Lautan Pasifik), jika ditarik masing-masing garis akan membentuk persilangan di peta Indonesia. Dan sudah bisa dipastikan, posisi yang demikian niscaya memiliki DAYA TAWAR TINGGI di panggung global.

Secara geoposisi, meniscayakan republik ini merajut hubungan dengan berbagai negara pada kedua benua tersebut. Tak bisa tidak. Ia akan memegang (kendali) posisi kunci di antara negara tersebut di satu sisi, namun pada sisi lain, ia bisa saja ‘diplokoto’(diperkuda) — mungkin hanya dijadikan buffer zone (wilayah penyangga) belaka, atau jangan-jangan cuma sekedar proxy war (lapangan tempur) bagi kepentingan negara-negara lain tetapi mengambil lokasi di Bumi Pertiwi. Silahkan pilih mana atau mau jadi apa, maka tergantung geostrategi dan policy pemerintah serta bagaimana anak bangsa ini menyikapi secara cerdas takdir geo (politik) posisi tersebut.

Tak dapat disangkal, keberadaan dalam pusaran serta lintasan dua samudera di jalur pelayaran (serta penerbangan) internasional, meniscayakan pelabuhan-pelabuhannya baik pelabuhan laut maupun bandara udara menjadi persinggahan atau titik transit strategis bagi hilir-mudik pelayaran dan penerbangan jenis apapun di dunia. Inilah urgensi simpul-simpul TRANSPORTASI di posisi (geopolitik) silang. Data menggambarkan, bahwa Indonesia memiliki 39 selat dimana 4 selatnya termasuk chokepoint shipping dari 9 selat-selat tersibuk di dunia semacam Selat Hormuz, atau Selat Malaka, dan lain-lain.

Saat ini saja, “Hampir 50 persen perdagangan laut komersial dunia dilakukan melalui perairan Indonesia dan perairan regional kawasan ini. Hampir dipastikan bahwa negara-negara lain sebagai pengguna jalur strategis ini memiliki arti yang sangat vital dan strategis bagi perdagangan internasional,” ungkap Gubernur Lemhanas, Prof Dr Ir Budi Susilo Soepandji dalam seminar nasional yang digelar GMNI di Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Sabtu (3/5/2014).

Luas wilayah yang mendominasi kawasan, penduduk terbanyak dan sumberdaya alam (SDA) terkaya di kawasan Asia Tenggara, menempatkan Indonesia sebagai kekuatan utama dan kunci stabilisator keamanan kawasan. Bukan suatu yang berlebihan, apabila Indonesia menjadi bagian penting bagi kepentingan maupun kemajuan perekonomian kawasan dan dunia. Maka konsekuensi logisnya, “Indonesia harus mampu memainkan peranan penting sebagai kunci stabilitator keamanan kawasan,” tambah Budi.

Kawasan Asia Pasifik —sebagaimana geopolitical shift dari Heartland ke Asia Pasifik— akan tumbuh sebagai pusat perebutan pengaruh geopolitik para adidaya dan menjadi pusat gravitasi perekonomian global. Bentangan geografis, jumlah penduduk dan SDA berlimpah merupakan keunggulan komparatif yang jarang dimiliki negeri lain, kita tinggal mengupayakan munculnya keunggulan-keunggulan kompetitif agar bangsa ini benar-benar memiliki bargaining power dan bergaining position kuat dalam menyongsong ‘Abad Asia-Pasifik’. Itulah sekilas POSISI serta kedudukan daya tawar di mata global akibat faktor “posisi silang” Indonesia.

Letak geo (posisi) yang strategis tadi, dalam kenyataan empirik memiliki implikasi logis baik sifatnya positif maupun negatif, inilah garis besarnya:

Dampak Positif dan Negatif

Perlintasan (dan persinggahan) lalu lintas perdagangan dunia sebagaimana dikatakan Gubernur Lemhanas tadi, meniscayakan Indonesia selain memiliki peluang besar guna mengembangkan transportasi lokal, juga menambah devisa/pemasukan negara. Kita punya kemudahan akses untuk melakukan kerjasama di berbagai bidang terutama industri barang dan jasa dengan negara-negara lain seperti ekspor impor misalnya, atau pariwisata, dan lain-lain.

Negeri ini, selain hanya memiliki dua musim saja juga curah hujannya tinggi — maka tanahnya cenderung subur. Kita punya potensi pertanian dan pengembangan berbagai varian dan komoditi pangan serta dapat menjadi lumbung pangan dunia jika dikelola secara benar, intensif dan sistematis oleh  pemerintah. Kita berpeluang menjadi negara produsen dan pengekspor pangan dunia yang tidak tertandingi, selain memiliki tempat-tempat indah dan eksotis untuk dikelola menjadi daerah wisata sehingga bisa menambah pundi-pundi dan devisa negara.

Sudah tentu, bila hal ini didukung oleh atmosfer politik sangat hangat, ada kepastian hukum dan stabilitas keamanan terjaga, maka para investor serta industri barang dan jasa berbagai bidang akan menyerbu Indonesia (tanpa perlu diundang), tanpa perlu ditawar-tawarkan,

Selanjutnya dampak negatif yang ditimbulkan akibat posisi silang dimaksud, selain maraknya illegal fishing, narkoba, illegal mining, perdagangan manusia, dll jika tanpa dibarengi sistem pengawasan dan penegakan hukum yang handal, terpercaya dan profesional, maka hal yang akan membahayakan kepentingan nasional adalah pelanggaran (dan “pengambilan”) batas wilayah baik darat maupun laut oleh asing, klaim negara-negara tetangga atas pulau-pulau kecil terdepan milik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan lainnya.

Tak dapat dipungkiri pula, produk asing pasti membanjiri Tanah Air dengan harga-harga bersaing. Hal ini mengakibatkan banyak warga lebih menyukai produk asing daripada buatan bangsa sendiri karena “dianggap” (persepsi) bahwa produk luar lebih bagus kualitasnya. Selain itu, kentalnya mental dan sikap populer jika menggunakan produk luar terasa lebih bergengsi, akan cenderung menggiring rakyat menjadi bangsa konsumtif di muka bumi.

Di satu sisi, kian menjamurnya industri dan perusahaan asing justru menyingkirkan industri dalam negeri karena kalah modal bila tanpa “sentuhan” intensif dan perhatian serius pemerintah. Kondisi ini akan menambah konsekuensi (tak langsung) atas ketergantungan terhadap produk-produk yang serba asing. Pada sisi lain, sulitnya berkembang bagi industri kecil masyarakat karena kebijakan pemerintah memberi kemudahan investasi/pendirian perusahaan asing mengakibatkan mereka cepat berkembang karena modal yang kuat, berimbas terhadap industri kecil dengan modal terbatas. Fenomena ‘sempitnya pasar’ bagi kelompok industri kecil pun niscaya muncul, sebab dipicu sikap dan mental konsumtif masyarakat yang lebih suka buatan asing daripada produk bangsanya sendiri. Itu garis besar saja, masih banyak lagi lainnya.

Poros Maritim Dunia

Sekarang kita urai sekilas tentang konsep “Poros Maritim Dunia”-nya Pemerintahan Jkw-JK (2014-2019) yang kini mengglobal karena dipaparkan langsung oleh Presiden RI di beberapa forum global seperti APEC, East Asis Summit dan G-20. Tidak boleh dielak memang, konsep ini kelanjutan “Pendulum Nusantara”-nya SBY pada program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang telah dihentikan oleh Jkw-JK —entah pertimbangan apa— namun yang pasti konseptor kedua program tadi orangnya ternyata sama, yaitu Richard Joost Lino, atau sering dipanggil RJ Lino, Direktur Utama (Dirut) PT. Pelindo II.

Inti Pendulum Nusantara adalah sistem transportasi barang dengan menggunakan kapal ukuran besar (kapasitas 3000-4000 TEU) yang melewati sebuah jalur laut utama dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia secara rutin. Karena pola gerakannya dari barat ke timur dan kemudian berbalik timur ke barat (seperti gerakan pendulum ketika digoyangkan), maka program ini disebut “Pendulum Nusantara”.

Konsep Pendulum Nusantara, bahwa di dalam jalur laut utama akan ada 5 pelabuhan utama yang akan disinggahi oleh kapal-kapal ukuran besar, yaitu Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), Makassar dan Sorong (Papua). Lima pelabuhan ini juga berfungsi sebagai titik simpul atau hubungan regional bagi daerah di sekitarnya (disebut dengan loop). Barang-barang akan dikirim ke pelabuhan di sekitarnya menggunakan kapal lebih kecil, dan seterusnya.

Sedangkan Tol Laut —istilah lain Poros Maritim Dunia— awal gerakan justru kebalikan Pendulum Nusantara yaitu dari Timur (Sorong) bergerak ke Barat, kemudian mengayun kembali dari Barat ke Timur, dst. Tak ada beda sama sekali. Berpola sama seperti “pendulum” bergoyang. Hakiki kedua konsep tadi merupakan strategi pemerintah dalam rangka mengurangi atau kalau perlu menghilangkan disparitas harga barang dan jasa yang cukup mencolok antara wilayah Barat terutama Jawa, Sumatera, dll dengan wilayah Timur seperti Malaku, Papua, dan lainnya.

Sebelum membahas jauh, kita mundur sejenak soal Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) karena nanti akan terkait dengan topik tulisan ini. Hingga saat ini, ALKI adalah ujung terakhir dari geliat “Deklarasi Djuanda 1957” yang merupakan pengejawantahan petuah (geopolitik) Jenderal Besar Soedirman, “Pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947).

Sebelum diakui Deklarasi Djuanda oleh masyarakat internasional, wilayah (perairan) Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939 yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 39) dimana setiap pulau hanya memiliki laut sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti bahwa kapal asing boleh bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau NKRI. Maka ibarat rumah —bila menurut TZMKO 39— Indonesia dulu tidak memiliki PAGAR sama sekali dalam hal kedaulatan wilayah (perairan)-nya.

Klimaks perjuangan Deklarasi Djuanda membuahkan hasil pengakuan internasional bahwa Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic State) melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang disahkan di Montego Bay, Jamaica, 10 Desember 1982. Kemudian UNCLOS 1982 pun diratifikasi pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 1985 tanggal 13 Desember 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea, dan ditetapkan melalui UU No 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Inilah “PAGAR PERAIRAN” wilayah NKRI agar terjaga dari pelayaran bebas (dan kesewenang-wenangan) kapal-kapal asing.

Dalam UNCLOS 82 dan UU 6/1996, semua kapal asing memang dapat melewati (jalur) hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan untuk keperluan melintas dari satu bagian laut bebas atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ke bagian lain laut bebas, namun aktivitas pelayaran asing tersebut diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No 36 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia. Inilah PP tentang ALKI yang merupakan ujung terakhir dan metode Deklarasi Djuanda, dimana setiap kapal asing mutlak dan wajib melintasi ALKI bila memasuki perairan kita, jadi tidak asal melintas seenaknya sendiri sebagaimana aturan Ordonansi Belanda.

ALKI I, II, III dan (Gagasan) ALKI IV 

ALKI I untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia dan sebaliknya, melalui Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda; sedang ALKI II adalah jalur Laut Sulawesi ke Samudera Hindia dan sebaliknya, melewati jalur Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok; ALKI III adalah perlintasan dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan sebaliknya via Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu, dll hingga seterusnya, baik ALKI III-A, III-B maupun ALKI III-C dari Samudera Pasifik ke Laut Timor atau ke Laut Arafura dan sebaliknya, melalui Laut Maluku, Laut Seram, dan Laut Banda. Ketiga ALKI, arahnya vertikal dari Selatan ke Utara, atau kebalikannya. Filosofi ketiga ALKI tersebut, hakiki geraknya berasal dari luar perairan NKRI —- tujuannya juga keluar NKRI. Tidak boleh berhenti, atau melakukan aktivitas lain kecuali force majeure (Lihat Gambar ALKI), jadi bukan berasal dari dalam ke dalam (perairan) NKRI, tetapi dari luar ke luar NKRI —sekali lagi— tanpa boleh berhenti sama sekali.

Memang dahulu pernah dilempar gagasan oleh Amerika dan Australia agar Indonesia membuka ALKI IV dimana lintasannya bersifat horizontal (dan melintang) dari Timur ke Barat, akan tetapi ditolak mentah-mentah sebab disinyalir akan merugikan Indonesia. Kenapa demikian, pakar kelautan Dr Y Paonganan memberi isyarat, jika dibuka ALKI IV seperti memberi akses ‘kamar pribadi’ di dalam rumah kepada maling, nanti istri kita pun dicurinya!

Gambar: Geoposisi Silang

Gambar: Pendulum Nusantara MP3EI

Gambar: Tol Laut

(Bersambung ke-2)

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com