Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Meski Inggris termasuk negara penjajah alias kolonialis, namun daya dorongnya untuk mengeksplorasi dan mengenal kekuatan dan kelemahan sebuah negara yang akan jadi obyek jajahannya, patut diselami dan dipelajari secara mendalam. Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh Sir Stamford Raffles. Gubernur Jenderal Inggris di Jawa pada 1811-1816.
Pada 1814, setelah 3 tahun sebagai penguasa tertinggi di Jawa, mulai melakukan penelitian sejarah dan arkeologi Jawa. Kelak hasil penelitiannnya tersebut dibukukan dengan judul The History of Java. Semua tempat tempat kuno disurveynya. Saat riset dia itulah, ada laporan bahwa sebuah candi besar telah ditemukan, tersembunyi di hutan rimba dekat Yogyakarta. Dalam cerita Raffles tentang Borobudur dalam the History of Java, menunjukkan bahwa dia tidak tahu bahwa Borobudur sejatinya merupakan tempat suci umat Budha.
Waktu itu sedikit sekali pengetahuan tentang Budha, dan keseniannya tidak diperbedakan dengan kesenian Hindu. Alhasil, ratusan relief batu di Borobudur terlihat olehnya sebagai pemandangan dari mitologi Hindu.Belum banyak yang tahu, bahwa di balik dorongan kuat Raffles untuk meneliti soal Jawa, ada peran dari seorang orinetalis Inggris bernama William Marsden, yang waktu itu terkenal sebagai orientalis Inggris yang cukup bereputasi.
Melalui Marsden inilah, nama Raffles sering disebut-sebut di berbagai lingkaran studi di London, seperti misalnya Royal Asiatic yang menaruh perhatian besar pada studi studi sejarah da seni Timur Jauh.
Juga adanya peran dari Joseph Bank, Presiden Royal Society yang juga punya reputasi sebagai ilmuwan. Juga adanya dukungan strategis dari James Cook, yang berkiprah di London Society.
Bukan itu saja. Bahkan Raffles sejak kepulangannya kembali ke London pada oktober 1816, justru berhasil memasuki lingkaran elit kerajaan Inggris. Misalnya melalui momentum pertemuan yang tak terduga ketika Pangeran Regent mengundangnya pada Januari 1817. Adapun Pangeran Regent merupakan putra dari Raja George III.
Meski dikenal rada urakan dan pemabuk, namun Pangeran Regent dikenal punya keahliannya dalam bidang bahasa dan seni, serta pengagum novel-novel karya Jane Austen. sehingga masuk dalam jajaran kaum cendekiawan yang dihormati pada era Raja George III. Karena itu tak heran jika Pangeran Regent sangat menaruh apresiasi pada pada yang dikerjakan Raffles di negara-negara jajahan Inggris di Timur Jauh seperti di Jawa dan India.
Sisi menarik dari kisah persahabatan Raffles dengan Pangeran Regent, adalah kedekatan Raffles dengan Putri Charlote, putri dari Pangeran Regent. Konon, berkat desakan Putri Charlote kepada ayahnya, agar Raffles mendapat perhatian khusus atas bakat-bakat dan minatnya yang besar dalam bidang sejarah timur dan kebudayaan. Sebuah gejala yang langka di kalangan lingkaran birokrasi.
Maka, melalui lingkaran elit Pangeran Regent inilah, Raffles dipertemukan dengan George Canning, yang kelak jadi Perdana Menteri Inggris. Berkat permintaan Canning inilah, Raffles kemudian menyusun sebuah tulisan panjang berupa memorandum ihwal kebijakan Inggris di Timur Jauh, sekaligus mengantisipasi persaingan terselubungnya dengan Belanda di kawasan Asia Tenggara. Melalui sebuah policy paper bertajuk Our Interest in the Eastern Archipelago.
Sejak itu, jalan takdir Raffles sebagai orientalis Inggris nampaknya terbentang sudah. 20 Maret 1817, Raffles diangkat sebagai anggota Royal Society. Di lembaga inilah, Raffles bertemu pertama kali dengan Duke Sommerset.
Dan tiga minggu kemudian, buku The History of Java, diterbitkan dalam dua volume. Buku ini dipersembahkan untuk Pangeran Regent, yang di mata Raffles pastilah dipandang sebagai “pembuka jalan” bagi terwujudnya obsesi-obsesi besarnya tentang kejayaan Inggris sebagai negara imperialis dunia. Terutama di kawasan Timur Jauh.
Bagi Raffles ini bukan hal yang berlebihan. Karena dalam pandangan Pangeran Regent pada saat resepsi di kediamannya pada Mei 1817, Raffles digambarkannya sebagai sosok yang berjasa besar bagi negara Inggris. Dan lewat momen itulah Raffles dianugrahi gelar kebangsawan. Sejak itu, dia bergelar Sir Stamford Raffles.
Koneksi dan jaringann Raffles yang mendukungnya secara total dalam program risetnya tentang Jawa dalam segala aspeknya, menggambarkan betapa besarnya peran lembaga lembaga studi/think thank, maupun funding funding dari yayasan nirlaba di Inggris, dalam membantu program kolonialisasi Inggris di berbagai kawasan dunia.
Inilah Perang Nir-Militer atau Perang Asimetris ala Inggris. Menaklukkan sebuah negara di sektor sosial-budaya. Termasuk di bumi nusantara Jawa yang kelak bernama Indonesia pada 1811-1816. Meskipun pada mulanya didahului dengan penaklukkan secara militer.
Menariknya, Raffles, dengan segala bakat dan minat besarnya pada dunia keilmuan, jadi pas untuk didorong sebagai aktor utama dalam memainkan peran skema imperialisme budaya ala Inggris tersebut.
Meski resminya, merupakan pejabat birokrasi pemerintahan Inggris di negara negara jajahan seperti Inggris dan Jawa-Indonesia, karakter Raffles yang eksploratif dan punya ketekunan mendalami Ilmu Pengetahuan Sejarah dan budaya timur, secara de fakto telah menempatkan Raffles kelak dalam deretan para orientalis asing yang menekuni studi studi tentang daerah daerah di nusantara.
Raffles dan Nilai Strategis Singapore Secara Geopolitik
Tadi sempat disinggung sekilas mengenai memorandum mengenai strategi Inggris menghadapi Belanda dalam persaingannya mencaplok wilayah-wilayah strategis di kawasan Asia Tenggara. Salah satu gagasan yang mencuat dalam memorandum Raffles yang diajukan kepada George Canning adalah, harus diciptakan sebuah wilayah di luar Penang dan Bengkulu, yang bisa membendung ekspansi Belanda di kawasan Asia Tenggara. Karena pada waktu itu, Belanda praktis sudah menguasai Jawa dan Sumatra. Dan beberapa daerah lain di nusantara seperti Maluku, Bali dan sebagainya.
Menurut perhitungan strategis Raffles, wilayah yang jadi basis membendung gerak laju Inggris haruslah berada di pintu keluar sebelah timur dari Selat Malaka. Karena di sanalah gugusan pulau-pulau yang terletak di titik semenanjung Malaya. Saran tindak dari Raffles, Inggris harus menduduki salah satu pulau dan membangun basis komando dari India menuju Lautan Cina.
Menariknya, dalam memorandum tersebut Raffles mengusulkan Pulau Riau. Namun ketika belakangan Raffles tiba di kawasan tersebut ketika bertugas sebagai utusan politik Inggris untuk negara Malaya yang bermarkas di Bengkulu, ternyata Riau sudah dikuasai Belanda. Sehingga Inggris harus mencari wilayah alternatif yang secara geopolitik nilai strategisnya sama dengan Riau. Singkat cerita, 28 Januari 1819, wilayah itu akhirnya ditemukan. Pulau Singapura.
Pada 1819, pulau ini tentu saja tidak ada istimewanya. Posisinya terpisah dari dataran utama, Johor, negara bagian Malaya. Waktu itu, pulau ini penuh rawa-rawa, dan jarang penduduknya. Sebuah kota yang tidak menarik sama sekali. Singapura hingga akhir abad 14, merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Setelah itu, Malaka telah mengambil pulau itu sebagai pintu masuk ke Selat Malaka.
Sebagaimana sejarah kemudian mencatat, Singapura merupakan salah satu bagian dari negara bagian Malaya, yang semuanya berada dalam jajahan Kerajaan Inggris. Dan orang jenius di balik gagasan kolonisasi Singapura adalah Raffles.
Singapura itu sendiri, belakangan melepaskan diri dari negara bagian Malaya, menyusul dimerdekakannya Malaysia oleh Inggris. Karena Lee Kuan Yew, salah seorang pemimpin Singapura didikan Universitas Oxford Inggris, menuntut hak kemerdekaan yang sama sebagai negara berdaulat kepada Inggris. Dan Inggris pun setuju.
Hikmah dari kisah Raffles ini, bahwa penjajahan seringkali diilhami oleh kekuatan-kekuatan gagasan dan imajinasi liar dari orang orang jenius. Dan salah satu yang berbahaya ketika itu, adalah Sir Stamford Raffles.