Membaca Tanda-tanda Zaman dalam Pilpres 2014

Bagikan artikel ini
PENDAHULUAN
Pada suatu hari Alexander Agung berhasil menangkap bajak laut yang senantiasa mengacau lautan. Kemudian terjadi dialog antara Kaisar dengan sang bajak laut. Iskandar Agung: ”Mengapa kamu mengacau lautan?” Dibalas oleh sang bajak laut: ”Mengapa Baginda berani mengacau dunia? Sebelum Sang Kaisar bereaksi, si bajak laut berkata lagi: “Apakah karena aku merompak dengan perahu kecil, aku disebut maling? Sedang Anda, karena melakukannya dengan kapal besar, dipanggil kaisar!” (Noam Chomsky)

ILUSTRASI diatas menjadi fenomena yang pas ketika kita menengok kondisi Indonesia saat ini yang kekayaan alamnya dijarah, dirampok habis-habisan oleh para investor asing atas nama pembangunan dan kemajuan. Dan ketika ada suara-suara yang mencoba mengkritisi maka munculah hujatan balik dengan istilah-istilah anti investasi, anti asing, anti demokrasi, dan sebagainya. Ketika rakyat hanya mencoba bertahan hidup, bekerja menguras keringat mencari 1 gram emas saja, maka mereka langsung dihujat sebagai penggali liar. Padahal rakyat hanya ingin meminta sedikit keadilan, agar bisa membeli pakain, bisa memberi makan keluarga, bisa membayar hutang yang menumpuk, bisa memberi anak uang jajan ketika sekolah. Demikian pula ketika ada seorang petani kecil di sebuah kampung kecil berhasil menemukan bibit unggul langsung di cap menjiplak, melanggar hak cipta, pencuri, dan sebagainya.

Suara keadilan dari seorang anak bangsa kini telah menjadi musuh bersama bagi penguasa negeri dan pemilik modal yang mencoba mempertahankan hegemoninya. Bahkan suara keadilan dianggap sebagai anti globalisasi oleh dunia internasional. Suara keadilan kini menjadi usang terpinggirkan oleh rayuan iblis yang memabukkan. Rasa kebanggaan sebagai anak bangsa lumer tergerus gaya hidup hedonis yang mempesonakan dan mengairahkan.

Sehingga realitas berubah menjadi reality show. Terpaan informasi melalui media massa selama 24 jam penuh setiap hari telah merubah dunia menjadi panggung sandiwara. Masyarakat sudah tidak mampu lagi membedakan mana “dunia nyata” dan “dunia fantasi” yang dikemas dalam pertunjukan-pertunjukan, festival-festival, film, iklan, sinetron, dan sebagainya. Masyarakat telah tercabut dari akar budayanya meninggalkan warisan kearifan lokal yang telah menjaga kesadaran mereka selama ini.

Ya, dunia kini telah menjadi panggung sandiwara. Bagi mereka yang tidak mengenal jadi dirinya maka mereka akan menjadi aktor-aktor yang melengkapi panggung sandiwara itu. Mengikuti irama iblis yang memabukkan dan menggairahkan.

Dalam kondisi ini seruan keadilan dan kebaikan menjadi tidak bermanfaat. Mengapa? Karena penjajahan yang sifatnya sistemik dan global tidak bisa dilawan dengan kata-kata. Keadilan tidak datang dari langit. Keadilan harus direbut. Tentu saja dengan cara-cara yang demokratis dan beradab. Dan Pilpres 2014 ini adalah momentum dan kesempatan untuk merubah nasib bangsa kita menjadi lebih baik.

PILPRES 2014: MEMBACA TANDA-TANDA ZAMAN

Pilpres kali ini sesungguhnya adalah sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dicermati. Sebuah peristiwa politik yang mungkin baru akan kita saksikan 7 abad lagi. Sejak kejayaan Sriwijaya abad ke 7, Majapahit abad ke 14, maka sekarang tibalah saatnya kebangkitan Indonesia Raya di abad ke 21.

Meskipun peristiwa ini oleh sebagian orang biasa saja dan tidak menarik – namun bagi sebagian orang lagi, orang-orang yang berpikir, tampilnya Prabowo Subianto sebagai capres adalah sebuah tanda-tanda zaman. Sebuah era kebangkitan Indonesia Raya yang telah diramalkan oleh sejarah. Mengapa? Bayangkan saja sebuah konspirasi besar dan sistematis yang didukung oleh kekuatan global berusaha keras dengan menghalalkan berbagai cara untuk menyingkirkan Prabowo Subianto dari arena politik. Peristiwa yang paling jelas adalah kompaknya seluruh partai politik, diluar partai Gerindra, untuk mengganjal pencapresan Prabowo Subianto melalui Parliamentary Threshold 20%. Dan berhasil.

“Bahwa Prabowo Subianto sudah masuk kotak, dan tidak mungkin bisa lolos bertarung dalam Pilres 2014 – karena dianggap sudah pasti tidak lolos Parliamentary Threshold 20% yang sudah ditetapkan.”

Skenario tersebut memang berjalan dengan mulus. Dan benar saja sesudah perhitungan Pileg, Partai Gerindra hanya mendapat 11,81%, alias tidak lolos Parliamentary Threshold 20%. Gerindra tidak bisa mencalonkan Presiden Sendiri.

Nah, inilah yang diluar dugaan, ketika sampai pada waktu detik-detik pencalonan presiden dan wakil presiden terjadi suatu perubahan politik yang mengejutkan dan diluar perkiraan semua orang. Golkar tiba-tiba mendukung pencapresan Prabowo. Demikian pula partai politik lain, diluar koalisi PDIP, yang tadinya menyingkirkan Prabowo Subianto keluar arena politik tiba-tiba berbalik mendukung pencapresan Prabowo Subianto. Nah loe, apa yang terjadi sesungguhnya? Rencana koalisi Golkar-Demokrat mengusung Pramono Eddy Wibowo gagal. Koalisi Partai Islam pun gagal. Bahkan yang mengejutkan adalah tampilnya Mahfud MD menjadi “Ketua Tim Sukses” koalisi Merah Putih yang mengusung pasangan Capres Prabowo-Hatta.

Dan seiring dengan itu tiba-tiba ibarat jamur  di musim hujan, dukungan dari berbagai elemen masyarakat terhadap Prabowo Subianto tumbuh dimana-mana. Tiada hari tanpa deklarasi dukungan terhadap pasangan capres Prabowo-Hatta diberbagai daerah. Koalisi Merah Putih tiba-tiba melesat menyusul pasangan Capres Jokowi-JK dalam waktu singkat. Pasangan Prabowo-Hatta unggul 51,2% berbanding 48,8% sebagaimana disinyalir Sunday Herald Morning yang mengatakan bahwa ada tiga lembaga survey kredibel Indonesia yang menyembunyikan hasil surveinya.

Kondisi tersebut, tentu saja mengejutkan pasangan Capres Jokowi-JK yang diusung oleh koalisi PDIP yang sejak awal memang sudah yakin pasti menang. Keyakinan koalisi PDIP bukan tanpa alasan, karena mereka sudah bekerja keras mencitrakan dan mempromosikan habis-habisan Jokowi sebagai Capres yang bersih, jujur dan sederhana selama lima tahun ini. Hasil kerja yang sistematis dan terorganisir bertahun-tahun ini, dengan dukungan uang dan jaringan media massa yang kuat memang sukses berat, mengalahkan kandidat lain. Berdasarkan hasil survey, Jokowi unggul sampai diatas 20% terhadap kandidat-kandidat lain di periode April-Mei 2014.

Tampilnya Prabowo Subianto sebagai Capres 2014 memang diluar dugaan banyak pihak. Terutama bagi para pendukung Jokowi, sehingga membuyarkan skenario pemenangan Capres yang memang bukan disiapkan untuk menghadapi Prabowo Subianto. Mesin operasi pemenangan Jokowi-JK langsung hang. Memasuki bulan Juni, mesin dukungan terhadap pasangan Capres Jokowi-JK mengalami stagnasi, kalau tidak mau diakatakan mogok. Dan skenario alternatif ternyata tidak siap. Jadi seandainya bila pasangan Jokowi-JK kalah ya wajar saja.

Kalau kita perhatikan, perjalanan Prabowo Subianto menjadi Capres RI 2014 bukanlah tanpa perjuangan dan kerja keras. Sejak sejak muda, sebelum masuk militer, Prabowo Subianto dengan LSM nya sudah melihat dan merasakan langsung betapa susahnya kehidupan bangsa Indonesia yang miskin. Padahal Indonesia adalah negara kaya yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Jadi bisa dibayangkan bagaimana perasaan seorang Prabowo Subianto, seorang anak menteri bisa turut hidup bersama rakyat yang paling miskin pada waktu itu. Rasa empati inilah yang kemudian membakar jiwa Indonesia Raya Prabowo Subianto.

Jadi selama lebih 40 tahun mengabdi dan berjuang dengan ikhlas membantu rakyat Indonesia dengan sekuat jiwa dan raganya, membuat Presiden Gus Dur merasa hormat, sehingga dengan tegas Gus Dur berani mengatakan bahwa Prabowo Subianto adalah orang yang paling ikhlas berbuat untuk rakyat Indonesia.

Berpikir positif, tidak berpikir jelek terhadap orang lain, bekerja keras dengan ilmu pengetahuan, dengan niat tulus dan ikhlas buat rakyat Indonesia dan siap mengorbankan  jiwa raga adalah modal spiritual yang dahsyat bagi seorang pejuang tulen. Tuhan tidak tidur. Upaya keras Prabowo Subianto menegakkan keadilan dan membela orang-orang tertindas sejak sebelum dan sesudah dia masuk militer tidaklah sia-sia. Meski dia dihina, dikecam, dikucilkan bahkan terusir dari negeri sendiri. Namun seperti kisah Mahabarata, akhirnya Pandawa kembali dari pengasingan. Hasil survei terakhir menunjukkan bahwa Prabowo Subianto sudah unggul 52% berbanding Jokowi 42,8%. Hasil mengejutkan itu membuat Kurawa gelisah, karena tahta, harta dan kekuasaan akan hilang. Haruskah Baratayuda terjadi?

MEMBANGUN POLITIK YANG SEHAT

Penyimpangan yang terjadi di era reformasi ternyata lebih dahsyat dari ORBA, karena bukan saja penyimpangan ekonomi, tetapi juga penyimpangan ideologi danPENGKERDILAN NKRI dengan melemahkan PERAN TNI – sehingga negara tetangga berani menghina Indonesia.

Dengan lemahnya TNI, ditambah angka kemiskinan rakyat Indonesia yang masih tinggi – membuat kehidupan ekonomi Indonesia dengan mudah “ditakar murah” oleh kekuatan asing – sehingga rakyat Indonesia tidak dapat menikmati hasil produksi sumber kekayaan alam sesuai dengan amanat Pasal 33, UUD 1945. Bahkan negara kita dipaksa impor 29 bahan komoditas pangan pokok termasuk garam – padahal Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, negara agraris yang subur yang selalu disinari matahari sepanjang tahun. Ironisnya, kebanyakan para pengusaha kita secara sadar maupun tidak, telah menjadi budak asing di negeri sendiri. Menjadi komprador tulen yang memakan darah daging sendiri.

Meskipun telah ditakar dengan murah, Indonesia telah menjelma menjadi sebuah negara kaya dalam kelompok 20 negara terkaya di dunia (G20). PDB kita telah menembus angka Rp 10.000 Trilyun dengan GDP per Capita Rp 40 Juta per tahun atau setara Rp 3,3 Juta per bulan. Sadarkah rakyat Indonesia bahwa sesungguhnya di era reformasi ini mereka telah menjadi bangsa yang “makmur”. Telah terlepas dari belenggu kemiskinan. Tapi pada kenyataan, justru ketimpangan semakin dalam. Angka kemiskinan semakin besar seiring dengan keberhasilan pembangunan. Disinilah keadilan ekonomi wajib ditegakkan, sehingga pemerataan hasil pembangunan benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia dalam waktu singkat.

Oleh karena itu, marilah kita membangun paradigma baru, membangun mindset baru yang lebih produktif. Membuat blueprint pembangunan bangsa lima tahun ke depan yang matang – yang mampu membuka lapangan kerja, mengatasi dengan singkat kebutuhan pangan, energi dan teknologi kita secara mandiri.

Saat ini, “demonstrasi” spektakuler seperti zaman Orde Lama bukanlah jalan keluar yang tepat dalam mengatasi problem bangsa ke depan. Yang kita perlukan sekarang adalah kesamaan visi, dan kebersamaan bersama berbagai elemen bangsa terutama kaum muda dan kalangan kampus untuk menjadikan Indonesia benar-benar mandiri di segala bidang kehidupan. Dimana dalam perjuangan ini kesabaran dan mawas diri menjadi modal yang sangat penting, agar kita tidak gampang terpancing oleh isu-isu yang memang sengaja dihembuskan guna memperkeruh suasana. Mengadu domba diantara kita ala politik divide at impera.

Sekarang adalah momentum yang tepat untuk bertindak guna menjawab dan mengatasi problem bangsa bersama-sama elemen bangsa yang lain yang masih komit terhadap ideologi Pancasila, UUD ’45 dan NKRI.

Nah, membangun politik yang sehat adalah dengan melakukan mekanisme kontrol yang terus menerus terhadap penyelenggara negara. Kita sebagai warga negara yang baik akan mendukung kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang baik. Tapi sebaliknya, harus berani mengkritisi dengan keras kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang menyimpang dari konstitusi secara konstruktifsolutif dan inovatif. Karena tujuan kita bernegara adalah menjaga agar jalannya pemerintahan sesuai dengan amanat konstitusi dan cita-cita founding fathers kita.

PENUTUP

Dunia semakin sempit. Teknologi satelit telah mengubah dunia menjadi kampung kecil. Terpaan informasi telah menyihir umat manusia hidup dalam dunia fantasi. Realitas telah menjadi reality show. Kebenaran telah usang. Kebaikan telah menjadi formalitas basa-basi kehidupan. Agama telah menjelma menjadi obat instan guna mengatasi penyakit sosial masyarakat.

Dan ketika orang baik diam, maka kejahatan akan merajalela. Ketika orang baik hanya bicara saja maka negara akan hancur. Orang yang mendiamkan kejahatan lebih jahat dari pada pelaku kejahatan itu sendiri. Orang yang membiarkan negaranya hancur adalah orang yang paling tidak bermoral – karena korbannya adalah 250 juta rakyat Indonesia.

Dan bila waktunya tiba, semua peristiwa yang menjadi pertanyaan orang banyak akan terbuka dengan sendirinya. Perjalanan sejarah kedepan akan menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi di negeri ini. Memang sudah saatnya terjadi rekonsialisasi nasional untuk menyelesaikan seluruh masalah bangsa agar kita bisa bangkit melupakan sejarah kelam bangsa yang menyakitkan untuk menyongsong Indonesia Raya yang telah diramalkan sejarah.****

Penulis: Agus Setiawan, Pegiat Sosial Politik dan Research Associate GFI

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com