Indri Hapsari Mustika Dewi, Master of Art in Public Administration & International Christian University, Tokyo, Japan
Pengantar
Fenomena masalah Jugun Ianfu merupakan salah satu kejahatan terhadap hak asasi manusia. Namun hingga saat ini, masih sedikit upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Oleh karena itu, makalah ini ingin memberikan solusi alternatif untuk mengatasi masalah Jugun Ianfu di Indonesia, dengan melihat contoh-contoh program “truth-telling” yang telah disediakan oleh para supporter/NGO bagi para korban [Jugun Ianfu] di Filipina, Korea Selatan, Taiwan dan Jepang.
Istilah Jugun Ianfu mengacu pada para perempuan yang dipaksa untuk melayani kebutuhan seksual para perwira militer dan sipil Jepang yan di tempatkan di ianjo (Yoshimi 2000; AWHRC 1998; WCCW 1998; WCCW 2000; Ikeda pada Tsujimura 2007; Hindra & Kimura 2007; Schmidt 2000), atau tempat lain seperti rumah barak, pangkat perwira tinggi dan rumah para korban selama Perang Asia Pasifik di tahun 1931-1945. Sistem perbudakan seksual ini diciptakan oleh militer Jepang dan merupakan bagian dari logistik dan strategi perang Jepang selama Perang Asia Pasifik 1931-1945.
Saat ini, para mantan Jugun Ianfu berusia rata-rata 80-90 tahun. Mereka hidup dengan kenangan yang mengerikan sebagai mantan Jugun Ianfu dan berupaya memulihkan keadaan mereka dengan usaha mereka sendiri. Sebagian besar dari para korban menderita psikologis, luka fisik dan menghadapi “new forms of violence” seperti: stigmatisasi sebagai “manusia kotor” atau “ransum Jepang” oleh masyarakat di sekitar rumahnya, kehidupan ekonomi yang sulit dan secara politik terpinggirkan. Penderitaan para mantan Jugun Ianfu di Indonesia, diperparah ketika Pemerintah Jepang dan Indonesia terus menyangkal keberadaan para mantan Jugun Ianfu dan menolak bertanggung jawab tanggung jawab secara hukum dan moral. Saya berasumsi, penyangkalan dan penolakan ini berkaitan erat dengan “political conspiracy” dan “conspiracy of silence” antara pemerintah Jepang dan Indonesia, sehubungan dengan kepentingan ekonomi pemerintah Indonesia terhadap pemerinta Jepang.
Untuk mematahkan ‘conspiracy of silence’, proses rekonsiliasi melalui “truh-telling” dipercaya dapat membantu penyembuhan pribadi dan memberikan keadilan bagi para korban. Makalah ini memiliki dua masalah penelitian: (1) mengapa “truth-telling” sangat penting sebagai landasan bagi rekonsiliasi untuk mengatasi masalah Jugun Ianfu di Indonesia, dan (2) bagaimana “truth-telling” sebagai landasan bagi rekonsiliasi dapat membantu keadilan dalam kasus Jugun Ianfu dari di Indonesia. Proses “truth-telling” dalam makalah ini akan memfokuskan pada voices of the victims dengan empat bentuk “truth-telling” inisiatif: factual or forensic truth, social truth, personal narratives truth and restorative truth.
Mengapa “truth-telling” sangat penting sebagai landasan bagi rekonsiliasi untuk mengatasi masalah Jugun Ianfu di Indonesia?
Pertama, pemerintah Jepang dan Indonesia masih menolak dan mengingkari keberadaan para mantan Jugun Ianfu dan menolak bertanggung jawab atas tindakan mereka di masa lalu.
Kedua, NGO dan supporter baik itu di tingkat lokal dan internasional masih belum bisa membantu para korban Jugun Ianfu karena hubungan politik yang kuat antara Indonesia dan Pemerintah Jepang; kurangnya komitmen, dana, program dan strategi.
Ketiga, para survivor [Jugun Ianfu] di Indonesia belum terwakilkan secara maksimal di tingkat internasional, dibandingkan dengan survivor [Jugun Ianfu] dari Philipine, Korea, Taiwan dan China.
Keempat, Resolusi PBB 1325 tidak dapat memaksa pemerintah Indonesia dan Jepang untuk mengambil inisiatif guna mengatasi masalah ini karena tidak ada sanksi bagi mereka yang melanggar resolusi.
Kelima, negara-negara super power seperti Amerika Serikat tidak dapat memaksa Jepang untuk mengambil bertanggung jawab hukumnya, karena kedua negara memiliki sejarah kejahatan yang sama terhadap manusia dan hubungan ekonomi dan politik yang kuat.
Keenam, di Indonesia, dimana budaya “constructed hierarchy” sangat kuat dan hak asasi perempuan belum menjadi prioritas, menyebabkan masalah Jugun Ianfu tidak mendapatkan perhatian khusus.
Ketujuh, dalam masyarakat patriarki seperti Indonesia, “cultural taboo” dan stigma sosial yang terkait, bersama-sama dengan keyakinan adat bahwa perkosaan merupakan kejahatan terhadap kehormatan masyarakat, memberikan kontribusi untuk mempertahankan “conspiracy of silence“. “Cultural taboo” dan stigma sosial menyebabkan sebagian besar mantan Jugun Ianfu menolak untuk tampil ke public dan menceritakan kebenaran sejarah mereka.
Delapan, lebih jauh lagi, beberapa masyarakat Indonesia dan generasi muda banyak yang belum mengetahui akan dari Jugun Ianfu di Indonesia, karena kurangnya informasi. Alasan-alasan ini kemudian menjadi dasar argumen saya dan rekomendasi mengapa “truth-telling” merupakan instrument yang penting untuk mengatasi masalah Jugun Ianfu di Indonesia. Konsep “truth-telling” sangat penting sebagai landasan bagi rekonsiliasi untuk mematahkan “conspiracy of silence” antara pemerintah Indonesia dan Jepang, dan sebagai upaya untuk mendapatkan perhatian publik, empati, kepercayaan dan bahkan pengampunan.
Bagaimana “truth-telling” sebagai landasan bagi rekonsiliasi dapat membantu keadilan dalam kasus Jugun Ianfu dari di Indonesia
Ada 4 bentuk “truth-telling” inisiatif yang saya rekomendasikan sebagai alternative solusi untuk menyelesaikan masalah Jugun Ianfu di Indonesia. Empat bentuk “truth-telling” inisiatif ini merupakan adaptasi dan dikembangkan dari kerja South African Truth and Reconciliation Commission (Fisher 2000:133):
1) Factual or forensic truth atau kebenaran faktual atau forensik mengacu pada “gagasan hukum atau ilmiah dengan mencari bukti-bukti dalam memperoleh informasi yang akurat, terpercaya (tidak memihak, obyektif) dan melalui tahap-tahapan prosedural” (Fisher 2000:133). Kebenaran faktual atau forensik dapat dilakukan dalam bentuk penelitian dan penyelidikan dengan menciptakan tim investigasi atau “Truth Commission”. Tim investigasi dibuat oleh badan atau organisasi yang dapat dipercaya dan bersifat netral. Tim atau komisi ini akan bekerja untuk mengidentifikasi bangunan dan lokasi ianjo yang dibangun oleh militer Jepang dan mencari saksi mata dalam rangka untuk mengumpulkan kesaksian dan bukti-bukti. Testimoni para korban dan saksi mata dapat membantu untuk mengkonfirmasi fakta-fakta adanya system perbudakan seks dan ianjo.
2) Personal narrative truth atau “victims’ stories”. Narrative atau narasi yang dimaksudkan disini adalah “cerita sejarah kehidupan perempuan” (Narasi Pribadi Kelompok 1989:4). Dalam situasi di mana korban merasa sulit untuk menceritakan pengalaman hidupnya, kisah hidup mereka dapat diceritakan kepada “second person” yang dipercaya. Second Person kemudian mencatat setiap dokumen yang diperlukan kedalam bentuk seperti gambar, video, buku harian, jurnal dan surat. Saya sarankan empat bentuk yang berbeda dari Personal Narrative, yaitu: pertama, non-verbal literature seperti buku – biografi dan otobiografi, jurnal, surat dan buku harian. Kedua, art performance seperti teater, pendek / panjang bioskop dan film documenter. Ketiga, art exhibition seperti pameran lukisan dan foto. Keempat, personal narrative taught by second person seperti presentasi, diskusi, konferensi dan publikasi sejarah kehidupan symposiums. Pengungkapan kebenaran sejarah kehidupan para korban [Jugun Ianfu] harus dibarengi dengan publikasi seperti konferensi pers, untuk membangunkan kesadaran publik akan masalah Jugun Ianfu. Publikasi harus dilakukan dengan mengundang media yang memiliki kredibilitas.
3) Social truth atau kebenaran sosial. Merupakan satu bentuk “truth-telling” yang memiliki target untuk membangun jembatan pengungkapan kebenaran antara individu dalam proses pendidikan. Artinya, kebenaran dapat diwujudkan dalam bentuk interaksi sosial timbal balik antara korban dan “other”. Objectivitas social truth sebagai metode pengungkapan kebenaran melalui pendidikan didasarkan pada paradigma bahwa “perdamaian bisa dididik dengan menekankan peran sikap individu dan perubahan perilaku untuk pencapaian perdamaian” (Galtung 1975). Truth Commission atau aktor-aktor lain dapat menyebut program ini sebagai Education for Reconciliation atau Pendidikan untuk Rekonsiliasi atau dapat menciptakan nama-nama terkait lainnya. Ada beberapa program yang saya sarankan dalam pendidikan untuk rekonsiliasi seperti: pertama, “historical research and education center” ‘sebagai pusat penelitian sejarah dan pendidikan. Kedua, mengorganisir program “Friendship” yang bertujuan untuk membangun hubungan antara para korban dengan akademisi, dan individu. Ketiga, integration program. Program ini dapat di organisir oleh supporter atau keluarga korban yang bertujuan untuk membantu korban dalam pencarian mereka mencapai rekonsiliasi. Keempat, membangun historical museum dan memorial monument. Kelima, NGO dan supporter dapat mengorganize Education for Reconciliation program dengan “Information, Education and Media Relations” dan “advocacy programs”. Selain program-program tersebut, Education for Reconciliation sebaiknya diikuti dengan program lain seperti: pertama adalah “welfare assistance” program untuk para korban. Kedua adalah kerja kampanye dan advokasi. Ketiga adalah dukungan berupa “lawsuit”. Keempat adalah memfasilitasi “monthly general meeting” untuk para korban dan keluarga. Kelima adalah “international networking program”.
4) Restorative truth mengacu pada “tingkat makro analisis dalam mencari fakta dan makna dalam hubungan manusia seperti antara korban dan masyarakat atau antara korban dan negara”, (Fisher 2000:133). Public Hearings dapat menjadi salah satu contoh nyata dari prosedur ini.
Untuk melihat dinamika aktor – yang akan mempengaruhi dan terkena pengaruh dalam proses truth-telling dan pendekatan proses rekonsiliasi, saya menggunakan piramida (tiga tingkat-segitiga) dan pendekatan bottom-up, yang saya adaptasi dan kembangkan dari kerja John Paul Lederach ( 1997:30-39). Untuk mengatasi masalah Jugun Ianfu di Indonesia, proses truth-telling harus dimulai dari bawah ke atas. Pendekatan bottom-up adalah “transisi menuju perdamaian yang didorong oleh tekanan untuk perubahan yang menggelembung naik dari akar rumput” (Lederach 1997:54). Proses truth-telling akan dimulai dari grassroots level – rekonsiliasi antara korban dengan diriny sendiri, rekonsiliasi antara korban dengan keluarga dan masyarakat. Di national level – rekonsiliasi antara korban dengan pemerintah Indonesia dan Jepang. Di international level –rekonsiliasi antara para korban dengan masyarakat international. Pendekatan bottom-up melibatkan hubungan interpersonal diantara anggota masyarakat sebagai metode utama untuk proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi di tingkah home-grown dan inisiatif dari tingkat grassroots dipandang sebagai kunci bagi kesukseskan proses rekonsiliasi.
Truth-telling sebagai salah satu instrument rekonsiliasi harus seimbang dengan instrument rekonsiliasi yang lain seperti healing, restibutive-justice dan reparation, yang dipercaya dapat memberikan keadilan dan menciptakan perdamaian positif bagi para korban. Dalam kasus Jugun Ianfu di Indonesia, saya berargumentasi, konsep truth-telling harus dilakukan terlebih dahulu sebagai landasan untuk rekonsiliasi. Di Indonesia, dimana masalah Jugun Ianfu tidak diketahui oleh publik dan pemerintah Indonesia menolak untuk mengatasi masalah ini, truth-telling menjadi kunci utama untuk mencapai rekonsiliasi.
Kesimpulan
Meskipun truth-telling dapat menjadi salah satu mekanisme agar suara para korban dapat didengarkan, namun ada faktor lain yang tidak dapat diabaikan. Salah satu faktor utama yang dapat membantu mewujudkan dan memperlancar proses truth-telling adalah komitmen yang kuat yang harus dikembangkan antara para aktor dan supporter yang bekerja untuk masalah Jugun Ianfu. Peran persuasif dari media (lokal, nasional, internasional) dianggap menjadi backup yang sangat penting. Situasi dimana truth-telling sebagai sarana menuju rekonsiliasi kemungkinan mengalami kegagalan; intervensi internasional harus diaktualisasikan untuk memberikan tekanan berat kepada pemerintah Indonesia untuk melaksanakan tanggung jawab hukumnya. Dalam hal ini, tekanan eksternal tersebut diberikan untuk memprovokasi pemerintah Indonesia untuk serius melihat masalah ini. Faktanya adalah, foreign pressure merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam membuat kebijakan luar negeri.
Makalah ini ingin menegaskan pula bahwa truth-telling itu sendiri tidak akan membawa rekonsiliasi. Namun, truth-telling akan dan dianggap sebagai kunci utama untuk mencapai rekonsiliasi. Keadilan adalah kunci penting lainnya untuk menyembuhkan luka dengan membuat pelanggar hukum membayar kejahatan-kejahatan mereka. Oleh karena itu, kebenaran dan keadilan harus datang bersama sebagai dua kunci penting untuk memperoleh rekonsiliasi penuh. Pemahaman saya adalah, dalam masalah Jugun Ianfu di Indonesia, rekonsiliasi dapat dicapai bila truth-telling menjadi landasan untuk mencapai keadilan, yang prosesnya diikuti atau diimbangi dengan instrument lainnya seperti healing, retributive-justice dan reparation.
References
Asian Women Human Rights Council, 1998, War Crimes on Asian Women: Military Sexual Slavery by Japan during World War II, the Case of the Filipino Comfort Women Part II, Manila, Philippine: AWHRC, 1998
Asian Women Human Rights Council, Justice with Healing: an Anthology of the Lolas Kampanyera Survivors of WWII Japanese Sexual Slavery in the Philippines, Manila, Philippine: AWHRC, 2007
Dewi, Indri Hapsari Mustika, Truth-telling as a Foundation for Reconciliation for the Jugun Ianfu in Indonesia, Master Thesis, International Christian University, Tokyo, Japan, 2011.
Fisher, Simon, et al, Working with Conflict: Skills Strategies for Action, The British Council, 2000.
Galtung, Johan, Galtung, Johan, Peace: Research, Action, Education. Essays in Peace Studies: Volume 1, Copenhagen: Ejlers, Cited as EPR1, 1975.
Hindra, Eka dan Kimura, Koichi, 2007, Momoye : Mereka Memanggilku, Erlangga, 2007.
Fisher, Simon, et al, Working with Conflict: Skills Strategies for Action, The British Council, 2000.
Lederach, John Paul, Building Peace : Sustainable Reconciliation In Divided Societies, Washington D.C: United States Institute of Peace Press, 1997.
——–Civil Society and Reconciliation in Crocker, A, Chester, et. all, ed, Turbulent Peace : The Challenges of Managing International Conflict, Washington D.C: United States Institute of Peace Press, 2001, p.849.
Personal Narratives Groups, 1989, Interpreting Women`s Lives: Feminist Theory and Personal Narratives, Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press, 1989.
Schmidt, Andrew David, Ianfu-The Comfort Women of the Japanese Imperial Army of the Pacific War: Broken Silence, Japanese Studies Volume 10, USA: The Edwin Mellen Press, 2000.
Tsujimura, Miyoko and Yano, Emi, ed, Gender & Law in Japan, Gender Law & Policy Center, Tohoku University, Japan: Tohoku University Press, 2007.
Yoshiaki, Yoshimi, Comfort Women : Sexual Slavery in The Japanese Military During World War II, New York: Columbia University Press, Translation Copyright, 2000.
*) Makalah ini dipresentasikan pada Lokakarya Strategi Membangun Kesadaran Sejarah bagi Generasi Masa Depan tanggal 7 November 2011, yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI)