Kurniawati, Dosen Sejarah pada Fakultas Ilmu Sejarah UNJ
“Perubahan-perubahan besar terjadi di seluruh dunia, tetapi ada satu hal yang tidak pernah berubah: Anak-anak kita tidak tahu sejarah” (Sam Wineburg, 2007:xxi)
Pendahuluan
Bila berkaca kepada para tokoh pergerakan bangsa Indonesia, maka kita akan menemukan bahwa mereka merupakan para pembelajar yang gigih dan juga pembaca yang tekun. Di antara yang banyak mereka tekuni, sejarah merupakan salah satu yang memesona mereka darimana mereka mendapat inspirasi perjuangan yang tak pernah kering. Sebut saja diantaranya Suwardi Suryaningrat yang menulis artikel menghebohkan pada 1913 “Als Ik een Nederlander was” mempertanyakan alasan merayakan kemerdekaan Belanda dari Prancis oleh bangsa yang terjajah. Begitu juga HOS Tjokroaminoto pada tahun 1920-an telah menulis “Islam dan sosialisme”. bagaimana Suwardi Suryaningrat menulis artikelnya yang hebat jika ia tidak mempelajari sejarah atau HOS Tjokroaminoto dapat melihat adanya hubungan antara Islam dan Sosialisme? Hal serupa juga dilakukan oleh Soekarno-Hatta dan juga tokoh-tokoh lainnya.
Pentingnya pelajaran sejarah agaknya sudah lama diabaikan di negara ini. Belum lama masyarakat dikejutkan oleh pemberitaan televisi nasional mengenai minimnya pengetahuan sejarah anggota DPR-RI. Seorang publik figur muda yang menjadi anggota DPR tergagap-gagap ketika harus menjawab isi sumpah pemuda. Ada siswa yang tidak tahu proklamasi kemerdekaan. Muncul pula keprihatinan berbagai kalangan mengenai hilangnya jati diri bangsa, KKN, separatisme dan primordialisme dan banyak lagi lainnya.
Muncul pertanyaan apakah tidak dipentingkannya sejarah memang berhubungan dengan minimnya kesadaran sejarah generasi muda sekarang? Lalu bagaimana usaha untuk meningkatkan kesadaran generasi muda tentang sejarah bangsa?
Pendidikan Sejarah dan Upaya Membangun Kesadaran Sejarah Generasi Muda
Pelajaran sejarah sudah disadari sejak dahulu sebagai salah satu pelajaran penting (jika tidak, tak mungkin pelajaran itu sejak dahulu diajarkan di seluruh dunia). Pemerintah pun merasa sangat berkepentingan dengan pelajaran sejarah yang tercermin dalam kurikulum. Di Indonesia sejak 1970 telah dirintis penulisan buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) sebagai rujukan pelajaran sejarah dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Tidak cukup dengan itu, pada tahun ajaran 1984/1985 mulai diajarkan pula di sekolah-sekolah Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB). PSPB tidak lagi diajarkan pada kurikulum 1994 dan peran PSPB diambil alih oleh Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Setelah Orde Baru berakhir pada 1998, buku SNI yang dianggap sarat dengan kepentingan Orde Baru mulai dipertanyakan. Tahun 2000 buku SNI dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Buku SNI pun disusun kembali dan terbit dalam 2006 tetapi dianggap masih kurang sempurna sehingga diterbitkan edisi revisi pada tahun 2008. Panjangnya waktu yang diperlukan untuk menerbitkan SNI disebabkan perdebatan yang alot dikalangan sejarawan seputar materi-materi kontroversial seperti Gerakan 30 September.
Apa yang telah diungkapkan di atas, menunjukkan betapa lekatnya sejarah dengan kepentingan penguasa. Setelah Orde Baru runtuh, apa yang datang dari Orde Baru dianggap salah. Maka pelajaran sejarah yang dikooptasi pada masa Orde Baru, pada masa reformasi ini menjadi tidak populer karena dianggap sarat kepentingan, tidak sahih dan akhirnya menjadi tidak penting untuk dipelajari. Bagi golongan muda yang lahir tahun 1990 hingga tahun 2000-an, sejarah menjadi lebih tidak penting lagi karena mereka merasa tidak ada kaitan antara mereka dengan materi yang dipelajari. Ditambah dengan metode pembelajaran yang seringkali membosankan. Murid mengidentikkan pelajaran sejarah hanya menghafal bulan dan tahun.Guru tidak punya gairah untuk memberi lebih kepada murid dan hanya menggunakan metode belajar yang konvensional. Para guru dan juga kemudian murid-muridnya hanya peduli dengan pencapaian Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Minim sekali hasrat untuk memberikan pengayaan untuk siswanya. Padahal hal tersebut dimungkinkan dalam kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) yang sekarang diterapkan.
Masih minimnya kemampuan guru sejarah juga masih menjadi persoalan hingga sekarang. Bukan rahasia lagi, mereka yang masuk Jurusan Pendidikan Sejarah bukan- lah di antara yang terbaik dan mempunyai motivasi tinggi untuk menjadi guru sejarah. Seringkali masuk program studi pendidikan sejarah karena tidak diterima di program studi lain. Jika demikian, sulit sekali membangkitkan minat calon guru sejarah tersebut untuk berprestasi. Maka ketika mereka akhirnya menjadi guru sejarah sulit pula mengharapkan mereka punya kemampuan yang memadai dalam mengajar. Hal yang disebut di atas terjadi di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), lalu bagaimana dengan di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)? Pelajaran Sejarah di SMP masuk dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial bersama-sama dengan ekonomi, geografi dan sosiologi.Seringkali terjadi seorang guru IPS yang bukan berasal dari sejarah kesulitan dalam mengajar sejarah.
Berbagai permasalahan yang melingkupi pendidikan sejarah pada akhirnya membuat pelajaran kehilangan maknanya. Materi sejarah mengenai pendudukan Jepang misalnya akhirnya hanya mengenai rangkaian kapan Jepang datang ke Indonesia, organisasi-organisasi yang dibentuknya, romusha dan lain sebagainya. Barangkali tidak banyak guru yang punya kemampuan untuk dapat menghadirkan diskusi yang hangat dalam kelas mengenai apa di balik datangnya Jepang ke Indonesia, faktor apa di dalam pemerintahan Jepang yang mendorong agresivitas Jepang? mengapa Jugun Ianfu? Siapa saja yang direkrut? dan seterusnya.Betapa berat sebenarnya menjadi guru sejarah karena harus menguasai berbagai isu-isu dari politik, sosial, ekonomi, jender dan lain-lain.Namun begitu, penulis mempunyai kesan persoalan sejarah dianggap sepele sehingga sering tidak tersentuh atau diperhatikan oleh pembuat kebijakan.
Kesimpulan
Menanamkan kesadaran sejarah bagi generasi muda lebih dari sekedar retorika. Membangun kesadaran sejarah bagi generasi muda harus dimulai dari hulu ke hilir yaitu input yang akan menjadi guru sejarah, proses pendidikan mereka, kurikulum, maupun sistem evaluasi yang tepat. Pembelajaran sejarah harus merupakan proses yang mempunyai makna bagi siswa bukan sekedar menghapal angka tahun dan peristiwa saja. Hanya dengan menjadikan pelajaran sejarah menjadi sesuatu yang bermakna maka dapat diharapkan siswa memiliki keterikatan dengan masa lalunya untuk diambil pelajarannya di masa depan. Dari sanalah muncul kesadaran sejarah bagi anak-anak muda calon pemimpin bangsa.
*) Makalah ini dipresentasikan pada Lokakarya Strategi Membangun Kesadaran Sejarah bagi Generasi Masa Depan tanggal 7 November 2011, yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI)