Berlarutnya konflik Ukraina hingga kini, bukanlah faktor (tunggal) berdiri sendiri berupa konflik intrastate antara faksi-faksi di internal Ukraina sendiri, namun lebih terbaca sebagai konflik antar negara-negara di sekelilingnya, lalu mereka meletakkan Ukraina hanya sekedar medan tempur (proxy war). Memang pasca Perang Dunia (PD) II, konfigurasi politik global para adidaya sering memakai proxy war sebagai modus guna meraih kepentingannya. Entah kenapa.
Pada catatan kali ini, saya mencoba menampilkan beberapa perspektif dalam memandang konflik di Uraina yang hingga tulisan ini terbit masih berkecamuk, bahkan terkesan semakin meluas dengan tertembaknya MH17 milik Malaysia yang melintas di wilayah (udara) konflik.
Sudut pertama penelusuran konflik tersebut, saya cermati via Revolusi Oranye yang populer sebagai modus kolonialisme berkedok “gerakan rakyat” era 2004-an di Ukraina. Pendekatan kedua dari kajian geopolitik dan turunan elemennya. Sedangkan perspektif ketiga melalui motif currency war (perang mata uang). Baik perspektif pertama (Orange Revolution) maupun kedua (geopolitik), sepertinya telah lazim digunakan para analis konflik (global) sebagai pisau kajian. Mungkin hanya currency war dianggap perspektif baru dalam mencermati konflik di Ukraina. Pada topik ini(currency war), akan dibahas agak sedikit panjang dibanding perspektif pertama dan kedua. Inilah uraiannya secara sederhana.
Revolusi Oranye
Terlalu panjang jika mengurai latar belakang dan seluk beluk Revolusi Oranye, maka untuk menyingkat catatan ini kita awali dari pemilihan presiden di Ukraina dulu. Intinya ialah, bahwa ada modus gerakan massa yang dimainkan oleh Barat dalam rangka menggagalkan kemenangan Yanukovich yang pro Rusia dalam pemilu 2004. Selanjutnya gerakan massa tersebut dipotret oleh media (asing) sebagai Revolusi Oranye.
Singkat cerita, kubu Yuschenko pro Barat kalah tipis dalam pemilu (pilpres) melawan Yanukovich yang pro Rusia. Tetapi melalui pemanfaatkan media-media massa Barat dan beberapa LSM global, kubu Yuschenko berhasil membentuk opini publik bahwa Yanukovich berlaku curang saat pemilihan umum. Gejolak massa pun merebak dari kubu Yuschenko. Dan maraknya kekerasan pasca pemilu, dijadikan dalih oleh pihak internasional untuk turun menengahi. Inilah skenario yang memang dipersiapkan, yakni hadirnya ‘organ asing’ di Ukraina.
Yuschenko minta pemilu ulang melalui Mahkamah Agung (MA). Akhirnya dilaksanakan pemilu ulang pada 26 Desember 2004 serta dimenangkan oleh Yuschenko. Pendukung Revolusi Oranye menang. Kemenangan Yuschenko yang didukung Barat pada pemilu ulang dikenal sebagai “bangkit”-nya Revolusi Oranye di negara berpenduduk 46 juta ini. Di sini modus operandi Amerika Serikat (AS)-Uni Eropa terlihat sangat massif dan terang-benderang. Kemenangan Yuschenko sarat kontroversi.
Pada gilirannya, gerakan rakyat ini sering dijadikan modus oleh kolonialisme Barat dalam menata ulang “kaki kekuasan”-nya di dunia, salah satu contohnya ialah gerakan massa pada beberapa negara di Jalur Sutera yang dikenal dengan sebutan “Musim Semi Arab” atau Arab Spring. Ketika konflik yang diawali dengan aksi massa pro Yuschenko dinilai sebagai Revolusi Oranye jilid kedua, maka dengan merujuk uraian di atas sudah bisa ditebak siapa sesungguhnya bermain di belakang aksi-aksi jalanan hingga aksi kekerasan di Ukraina sampai sekarang.
Buffer Zone, Gas Weapon dan Faktor Geopolitik
Kenapa Ukraina jadi ajang perebutan para adidaya? Inilah bahasan yang mungkin lebih menarik daripada kajian soal Revolusi Oranye. Tak bisa dielak. Peran Ukraina sebagai buffer zone (daerah penyangga) sesungguhnya lebih kepada kepentingangeopolitic of pipeline (jalur pipa). Tampaknya, peristiwa ini mirip dengan “takdir” geopolitik Syria yang juga diperebutkan oleh adidaya Barat dan Timur, artinya selain faktor geostrategy position di Jalur Sutera, juga karena keberadaan jalur pipa. Betapa aliran pipa gas dan minyak yang melewati Syria bersifat antar negara, bahkan lintas benua. Setidaknya, demikian pula jalur pipa gas Ukraina meski skalanya tak sebesar Syria, tetapi cukup signifikan bagi negara-negara yang tergantung pasokan gas dari Rusia.
Selanjutnya urgensi daerah penyangga contohnya, sewaktu Putin menghentikan gas yang mengalir melalui pipa di Ukraina pada 1 Januari 2006 ketika terjadi sengketa gas (2006-2009) antara Rusia – Ukraina, ternyata berdampak sangat dahsyat. Tidak hanya Ukraina yang menjerit kekurangan gas, tetapi hampir merata di seluruh Eropa berteriak kurang pasokan akibat penutupan kran gas dimaksud. Kenapa demikian, betapa 80% jalur ekspor gas Rusia yang menuju Uni Eropa (UE) melalui lintasan pipa Ukraina. Maka tatkala diputus atau dikurangi “titik simpul”-nya, niscaya menjerit para (negara) konsumen di hilir jalur pipa.
Dalam konteks ini, Ukraina merupakan simpul jalur gas, sedang posisi UE dan negara sekitarnya ada di hilir perpipaan. Inilah gas weapon (senjata gas) Beruang Merah terhadap jajaran UE yang dapat digunakan sewaktu-waktu. UE dan negara lain yang tergantung atas gas Rusia, sejatinya dalam kendali total Beruang Merah. Tak bisa tidak.
Latvia misalnya, tergantung 100% pada gas Rusia termasuk diantaranya Slovakia, Estonia dan Finlandia. Untuk Bulgaria, Lithuania dan Czech Republik bergantung lebih 80%. Sedang yang bergantung 60% antara lain Yunani, Austria dan Hongaria. Itulah data yang nyata. Ketergantungan UE atas gas Rusia mencapai 80% lebih. Dan betapa rawan lagi riskan manakala aliran gas dari Rusia untuk UE, mutlak harus melalui jalur pipa di Ukraina.
Sedangkan dari perspektif geopolitik, perebutan Ukraina lebih terinspirasi pada ajaran Sir Halford Mackinder, British (1861-1946). Teori ini entah dijalankan oleh Rusia, atau justru tengah diterapkan oleh Barat itu sendiri, entahlah siapa mendahului. Bahwa teori Mackinder berpangkal pada pernyataannya dalam buku “The Geographical Pivot of History” (1904):
“Who rules East Europe, command the Heartland; Who rules the Heartland, command the World Islands; Who rules the world islands, command the wolrd”
(Terjemahan bebas: “Siapa mengatur Eropa Timur, akan mengendalikan jantung dunia (Asia Tengah); Siapa mengatur jantung dunia/Asia Tengah, maka akan mengendalikan Pulau Dunia (Timur Tengah); Siapa mengatur Timur Tengah maka akan memimpin dunia”).
Sepertinya terjawab sudah, kenapa Ukraina menjadi rebutan para adidaya dalam hal ini Rusia cq Yanukovich versus Barat (Amerika dan UE) cq Yuschenko. Rekomendasi Mackinder memang terang benderang, bahwa jika ingin memimpin dunia, maka siapapun mutlak harus mengendalikan Eropa Timur terlebih dulu, dan Ukraina merupakan pintu pertama menuju Eropa Timur. Akhirnya bisa dimaklumi bersama, mengapa Ukraina menjadi proxy war antara Rusia melawan Barat, selain daripada faktor buffer zone di atas.
Bersambung ke (2)
Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)