Memperkuat TNI untuk Menjaga Keamanan Indonesia ke Depan

Bagikan artikel ini

Peresensi: Datuak Alat Tjumano, Peneliti pada Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta

Pesan penting yang ingin disampaikan buku ini adalah permasalahan pertahanan dan keamanan Indonesia di era global sekarang menjadi sangat serius. TNI merupakan garda terdepan pertahanan dan keamanan negara dalam menjaga dan memelihara keutuhan wilayah NKRI, namun mengandalkan TNI saja tidak cukup apalagi anggarannya kurang memadai dengan beban tugas yang diembannya, teritorial yang luas. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Kekurangan dan kelemahan yang ada pada TNI perlu dibantu sekaligus dicarikan solusinya dan semuanya bertujuan menjaga keutuhan wilayah NKRI dari segala bentuk ancaman yang merusaknya.

Pesan penting lainnya yang ingin disampaikan melalui buku ini adalah keberadaan lembaga negara baik kementerian, non kementerian, swasta dan bahkan LSM di dalam menjalankan tugas negara dan fungsinya harus bermuara kepada kepentingan nasional, agar tujuan dan cita-cita negara dapat tercapai.

Apalagi, di era banyaknya ancaman asimetris dan paradigma baru soal hankam, maka potensi Indonesia diganggu atau diserang oleh negara-negara lainnya termasuk negara tetangganya cukup besar. Seperti dikatakan James Mossman dalam bukunya “Rebels in Paradise : Indonesia Civil War (1961)”, bukan rahasia lagi bahwa Inggris dan AS selalu berhubungan dengan kaum pemberontak. Inggris melakukan kontak lewat agennya di Singapura dan Malaysia, dan AS melalui Formosa dan Manila.

Sedangkan, Greg Poulgrain dalam buku “The Genesis of Malaysia Konfrontasi : Brunei and Indonesia 1945 (1965)” menulis, Inggris tidak mau kemerdekaan Indonesia mempengaruhi Malaysia, Singapura dan Brunei yang menuntut kemerdekaan dari Inggris, karena itu berarti Inggris akan kehilangan tambang uang. Inggris melakukan beberapa provokasi langsung di Kalbar, Kalteng, Kaltim dan Riau. Pada 1964 saja tercatat 213 provokasi yang dilancarkan Inggris di beberapa wilayah tersebut.

Sementara itu, Audrey R Kahin dan George Mc Turnan Kahin dalam bukunya berjudul “Subversion as Foreign Policy, The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia” menyebut, Singapura sebagai sentral kendali di Asia Tenggara, Singapura juga salah satu pusat pengendalian kekuasaan regional, baik dengan intelijen maupun dengan pemasokan senjata dan serdadu. Singapura juga dalam meningkatkan kapasitas militernya bekerjasama dengan Israel. Oleh karena itu, sampai saat ini kekuatan militer Singapura paling kuat di ASEAN, walaupun bersifat “force abroad” (banyaknya persenjataan Singapura yang ditempatkan di beberapa negara lainnya).

Buku ini juga memetakan atau membahas walaupun secara singkat dan berdasarkan data yang sudah lama (tahun 2008) tentang perbandingan militer di beberapa negara. AS digambarkan dalam buku ini sangat takut dengan kebangkitan ekonomi dan militer Cina. Tentara Pembebasan Rakyat Cina (TPRC) yang berjumlah 2,3 juta personil merupakan yang terbesar didunia Industri-industri militer Cina juga telah berhasil membuat pesawat tempur sendiri yaitu J-8 dan J-10 dan pesawat serang maritim supersonik (JH-7 Leopard) setelah Cina mendapatkan dukungan alih teknologi dari Rusia. Di matra darat, Cina membuat rudal balistik jarak dekat (DF-11/A atau M-11 yang dibangun CASIC Sanjiang Space Group (halaman 15). Berdasarkan laporan World Military Strenght Ranking (WMSR) tahun 2010, yang terkuat masih AS, diikuti Cina, Rusia, India, Inggris dan Indonesia berada pada peringkat ke-14 (halaman 28). Penguatan militer berbagai negara dilakukan untuk mengantisipasi ancaman konflik global, terutama yang terkait dengan krisis minyak bumi dan isu kebangkitan Cina (halaman 43).

Berdasarkan rencana pengembangan alutsista TNI yang tertera di cetak biru KPM 2024, untuk tahap Renstra I 2010-2014 misalnya TNI AD harus dilengkapi dengan 146 tank, 15.000 pucuk senjata infanteri, dan 3.600.000 butir peluru untuk senjata infanteri. TNI AL harus dilengkapi 1 kapal selam, 2 kapal perusak kawal rudal, 5 kapal cepat rudal, dan 2 kapal angkut tank. TNI AU harus diperkuat dengan pesawat angkut berat setingkat C-130, pesawat intai taktis setingkat CN-235, pesawat terbang tanpa awak, rudak jarang pendek 20EA dan rudal jarak sedang 30 EA (halaman 297).

Buku ini juga menggambarkan lambannya modernisasi alutsista militer Indonesia karena salah satunya “diganggu” oleh sejumlah kelompok civil society yang semakin melakukan “intervensi” atau “mengadili” militer. Terkait dengan hal ini, sebenarnya ada pendapat Eliot A Cohen yang dapat dijadikan patokan. Dalam bukunya berjudul “Supreme Command Intervention”, Cohen menyatakan, intervensi sipil ke dalam teknis militer dapat dihindari melewati pemahaman terhadap tugas militer, dan secara politik maka intervensi sipil ke militer dapat dicegah dengan semangat profesionalisme militer itu sendiri.

Di berbagai negara, media massa juga dilibatkan dalam memperkuat militer suatu negara melalui pemberitaan yang kondusif. Setelah Perang Dunia I, surat kabar Chicago Tribune dan New York Times sudah digunakan oleh AS untuk memanipulasi opini publik. Jenderal Collin Powell semasa menjabat sebagai Ketua Gabungan Para Kepala Staf Angkatan di AS pada Perang Teluk 1990-1991 mengunakan sistem komunikasi media massa sebagai suatu sistem penting, strategis dan taktis dalam operasi militer dan medan perang (halaman 306).

Bahkan spektrum komunikasi pada masa damai dan perang oleh Howard Frederick dikelompokkan dalam 5 tahapan komunikasi yaitu komunikasi masa damai, dalam tahap hubungan tegang, komunikasi saat awal konflik, komunikasi dalam situasi konflik dengan intensitas medium (konflik meningkat), dan komunikasi dalam situasi konflik dengan intensitas tinggi menjadi perang (halaman 307).

Buku ini terlalu banyak mengumbar informasi ataupun data mengenai berbagai faktor yang terkait dengan dinamika militer dan ancaman global terkait dengan keamanan dan pertahanan, sehingga buku ini pada akhirnya tidak dapat menjawab esensi pokok sebenarnya dari buku ini yaitu melalui pertanyaan besar dan mendasar yaitu “terkait dengan scanning ancaman global yang asimetris dan kompleks, apakah sistem pertahanan yang diharapkan dapat digunakan Indonesia untuk meminimalisir ancaman tersebut? Apakah sistem sishankamrata masih cukup relevan?”

Buku yang terdiri dari 10 Bab ini sebenarnya dapat dicetak lebih sedikit sehingga tidak membuat lelah pembacanya, apabila penulis mampu membuat clustering permasalahan secara lebih detail lagi, seperti misalnya permasalahan teror dan masalah perbatasan banyak dibahas di beberapa bab, padahal dapat dilakukan atau dikumpulkan menjadi satu bab saja. Kemudian beberapa isu yang tidak relevan dengan judul buku seperti prospek bisnis TNI, pola kepemimpinan lapangan dan strategis, masalah Iran, “hibah” F-16, ketimpangan RI-AS di Timika, patroli PSDKP akan dipersenjatai dll lebih baik tidak usah ditulis, apalagi informasi yang disampaikan juga bukan berdasarkan hasil penelitian penulis melainkan hanya “memindah” berita atau informasi dari media massa atau sumber terbuka lainnya. Ke depan, tampaknya saran buat penulis adalah jangan terlalu mengejar jumlah buku yang hendak dibuat atau diterbitkan, namun lebih mengutamakan kuantitas buku tersebut melalui research-research yang cukup mendalam terlebih dahulu.

 

______________________

Judul Buku: TNI & Tata Dunia Baru Sistem Pertahanan
Penulis: DR. Wawan H Purwanto, SH, MH
Penerbit: CMB Press, Jakarta
Tebal Buku: 546 halaman (termasuk daftar isi, daftar pustaka dan keterangan penulis)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com