Menakar Daya Rusak COVID-19 terhadap Ekonomi Global

Bagikan artikel ini

Kebanyakan dari kita bukanlah ahli epidemiologi, dan tentu ada orang lain yang jauh lebih tahu dalam menaggapi atau merespon penyebaran virus tersebut. Dalam penelusuran penulis, COVID-19 setidaknya sudah tersebar di 58 negara, terutama Cina, Korea Selatan, Jepang, Iran dan Italia.

Perkiraan global menunjukkan bahwa dua pertiga dari populasi dunia dapat tertular virus tersebut. Angka awal menunjukkan bahwa COVID-19 tidak lebih menular daripada campak tetapi lebih mematikan daripada flu yang berlangsung musiman (yang secara global diperkirakan mencapai 290.000 hingga 650.000 kematian setiap tahunnya).

Persebaran COVID-19 sekarang seolah lebih cepat dari langkah atau upaya untuk menanganinya, paling tidak untuk memperlambat penyebarannya. Mengingat persebaran virus mematikan ini berdampak besar pada banyak sektor, terutama sektor kesehatan, yang dalam hal ini harus responsif dengan upaya pengembangan vaksin untuk menangkalnya. Epidemi COVID-19 sepertinya tidak akan selalu berhenti dalam cuaca yang lebih hangat, mengingat virus tersebut juga muncul di daerah tropis.

Semua negara di dunia telah mengambil pelbagai langkah penahanan, meski harus berdampak pada penghentian produksi dalam negeri, serta gangguan tenaga kerja melalui isolasi yang dipaksakan, larangan bepergian dan kontrol perbatasan di seluruh dunia. Ada potensi kemerosotan yang signifikan terhadap perekonomian global serta kelangsunganannya.

Langkah-langkah pengendalian yang diambil terhadap virus tersebut telah mengakibatkan hilangnya pekerjaan, terlebih dengan cara pasar bekerja, ada potensi dampak yang tidak proporsional dibanding dengan penyebabnya. Terbukti, sekarang gangguan pasar sudah mulai terasa menyusul semua indeks utama yang turun dua digit dalam beberapa hari terakhir.

Eurasia Group, sebuah lembaga konsultan risiko geopolitik, pada awalnya menjabarkan dua skenario dan dampak potensial terhadap lingkungan bisnis: yang pertama merujuk pada dampak yang ditimbulkan oleh SARS, dalam hal ini potensi krisis global segera diatasi. Bandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh COVID-19 yang kali pertama muncul di Wuhan, Cina, yang akhirnya menyebar ke pelbagai negara di dunia.

Yang kedua, fakta bahwa COVID-19 memiliki kemampuan untuk menghancurkan setiap komponen bisnis yang ada. Tetapi ketika ketidakpastian situasi sangat terasa, setidaknya pemerintah perlu mengantisipasi dan mengambil langkah taktis dan strategis akibat dampak yang disebabkan oleh virus corona.

Lihat misalnya–di negara kita sendiri–ribuan pekerja atau karyawan merasakan dampak dari persebaran COVID-19. Bagi banyak orang, perjuangan terbesar mereka adalah ketika langkah-langkah diambil oleh pemerintah tidak proporsional dengan “kompensasi” yang harus mereka terima. Mengingat, persebaran virus ini juga mengakibatkan pengangguran “samar” dan hilangnya sebagian besar penghasilan, terutama bagi pekerja, sebut saja misalnya pekerja ojek online yang mencapai ribuan orang.

Masalahnya adalah, sampai kapan beban pekerjaan yang melibatkan banyak orang itu akan berakhir? Jika demikian, bagaimana perusahaan-perusahaan bisa melindungi karyawan mereka, mengingat ini sangat terkait dengan kehidupan seluruh keluarganya? Belum lagi, jaminan apa yang akan diberikan pemerintah jika ternyata banyak perusahaan harus tutup untuk sementara waktu (hingga batas yang belum tentu pasti).

Memang, COVID-19 memiliki daya rusak yang besar, terutama terhadap sektor ekonomi global. Virus mematikan tersebut mengakibatkan lebih banyak kerusakan struktural dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam yang lebih pada infrastruktur dan sumber daya manusia.

Terbukti, COVID-19 telah mendaratkan pukulannya dengan jap-jap ringan tapi mematikan terhadap ekonomi global yang sudah rentan. Akibatnya, negara-negara yang tergolong maju saja bisa jatuh ke dalam resesi lebih awal dari yang diperkirakan, apalagi negara-negara yang baru berkembang. Dalam hal ini. ekonomi Cina secara signifikan lebih besar merasakan dampak COVID-19 jika dibandingkan dengan epidemi SARS yang melanda pada saat itu.

Dalam dua bulan terakhir ini, Cina yang paling merasakan dampak COVID-19. Mencoba untuk mengembalikan ekonomi sesuai jalurnya sambil mencegah meluasnya wabah, Cina sejatinya punya ambisi untuk mengarahkan modal politik dan keuangan ke arah pemulihan domestik untuk sementara waktu. Mengingat Cina juga berkepentingan dengan ambisi Belt and Road Initiative (BRI), yang telah menderita dari serangan balik di banyak negara.

Bagi banyak perusahaan, krisis COVID-19 di Cina telah memperkuat pertanyaan tentang kemungkinan ketergantungan yang berlebihan pada negara dalam rantai pasokan global mereka – kekhawatiran yang sangat masuk akal terlebih dengan genderang perang dagang AS-Cina yang ditabuh selama ini. Namun, penulis mencermati, COVID-19 bukanlah ancaman eksistensial terhadap rezim politik Cina karena baru-baru ini negara tersebut telah berhasil menghambat laju persebaran virus secara signifikan. Bandingkan dengan negara-negara lain yang hingga saat ini masih sibuk menemukan solusi untuk menghentikannya.

Selain itu, COVID-19 berpotensi memangkas pertumbuhan Eropa pada tahun 2020 (sekitar 0,2%), terutama menghambat kebangkitan ekonomi yang baru jadi (terutama di manufaktur Jerman) setelah bertahun-tahun mengalami stagnasi. Italia – saat ini menanggung beban ekonomi dan medis dari epidemi regional – kemungkinan akan menuntut dukungan ekonomi dari blok tersebut. Sementara itu, gerakan politik nativis – dipicu oleh kemungkinan krisis migran baru yang tidak teratur – yang memandang COVID-19 sebagai argumen populis terhadap kebijakan imigrasi dan perbatasan yang lebih ketat.

Bahkan untuk kasus Iran, COVID-19 kemungkinan akan semakin mengisolasi negara para Mullah tersebut di Timur Tengah, meski tidak mengancam stabilitas rezim yang berkuasa. Kegagalan Iran untuk secara efektif menangani COVID-19 mendorong negara-negara tetangga menutup perbatasan mereka, menangguhkan hubungan perjalanan dan memandang Iran dengan kecurigaan. Hal ini selanjutnya akan merusak ekonomi Iran, menarik sumber daya yang langka dari dukungannya terhadap proksi regional.

Dampak COVID-19 juga dirasakan oleh Inggris yang sekaligus ujian besar bagi pemerintah Konservatif yang baru. Bagiamana tidak, di negara Ratu Elizabeth ini, banyak bermunculan sistem kesehatan publiknya yang terkenal, pendirian akademis medis terkemuka, dan sektor farmasi yang sangat maju, harus juga terisolasi.

Belum lagi dengan ambruknya pasar minyak global akibat COVID-19, yang sebagian besar akibat dari penurunan permintaan di Cina. Kegagalan OPEC dan Rusia untuk menyetujui kelanjutan pengurangan produksi telah menambah tekanan pada harga minyak. Pada 9 Maret lalu, harga minyak turun 20% menjadi $31 yang memicu gejolak di pasar global. Perang harga Rusia/Arab Saudi sepertinya bersifat sementara dan OPEC + mungkin akan mencapai kesepakatan dalam beberapa bulan mendatang.

Namun, harga minyak kemungkinan akan stabil antara $40 dan $50 sampai ekonomi global mulai pulih dari goncangan COVID-19. Harga minyak yang rendah akan menimbulkan tantangan keuangan bagi sejumlah ekonomi penghasil minyak seperti Iran, Kazakhstan, Azerbaijan dan bahkan Arab Saudi yang membutuhkan harga minyak yang jauh lebih tinggi untuk menyeimbangkan pengeluaran anggaran mereka saat ini. Rusia memiliki cadangan yang cukup untuk menahan harga yang lebih rendah, tetapi kemungkinan akan menghadapi devaluasi mata uang yang signifikan, peningkatan pelarian modal dan penurunan pendapatan riil.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com