Menakar Karakter Bebal Politik Luar Negeri Australia (2)

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Tulisan ini merupakan lanjutan artikel ‘Benarkah Australia dan Singapura itu “Ujung Tombak” Kolonialisme di Indonesia? (1)’, tetapi dengan judul berbeda. Tak ada masalah. Masih dalam topik yang sama, hanya sekedar variasi judul agar terlihat lebih dinamis dalam tampilan. Selamat membaca!

Watak dan Politik “Ausignares”

Menurut N. Syamsuddin CH. Haesy,  sikap “ausignares” sebagaimana uraian di artikel Politik Ausignares* intinya adalah kebebalan dan kepongahan orang Aussie —tidak termasuk Aborigin— yang memiliki kharakter senang mencuri informasi untuk meningkatkan posisi tawarnya dalam sebuah kerja sama. Itu garis besarnya. Dalam konteks politik, watak ausignares memang cenderung mengekspresikan naluri pemberontakan anak keturunan kriminalis yang tak perlu simpati. Keturunan kaum yang mudah datang, mudah pergi, kaum yang sedikit tinggi, sedikit rendah. Kaum yang mudah membunuh dengan pistol menyalak, dan merasa bahagia ketika musuh sudah tewas.

Contoh aktualnya adalah, meskipun Aussie telah diterima sebagai bagian dari persaudaraan ASEAN dan Asia Pasifik, namun tanpa rasa malu ia lakukan tindakan bebal secara berulang terhadap tetangganya. Tercatat sejak 2004-an, ia ‘menikam’ Indonesia. Barangkali puncak tikaman ketika Sydney The Age dan Morning Herald, koran Australia, menyerang pribadi Presiden SBY serta keluarga. Ini merupakan pembunuhan kharakter (character assasination) yang sengaja dilakukan dikala Indonesia tengah melakukan konsolidasi demokrasi. Peristiwa tersebut menyiratkan, bahwa Aussie sengaja membiarkan penistaan kepada SBY bahkan terkesan memiliki rencana untuk membuat Indonesia menjadi “gaduh”.

Maka jangan berharap akan ada permintaan maaf Abbott kepada Indonesia secara resmi, wong wataknya bebal, angkuh, senang mencuri informasi guna meningkatkan posisi tawar, dll. Inilah ekspresi atas naluri keturunan kaum kriminalis, dimana leluhur mereka berada (existence) bermula pada 26 Januari 1788, ketika 11 kapal merapat di Sydney Harbour menurunkan 1.500 orang yang sebagian besar ialah narapidana, termasuk seperlima penjahat lelaki hidup dibawah ancaman kekerasan seksual.

Itulah sepintas awal bangsa Australia itu ada, nyata dan berada. Pertanyaannya adalah: apakah watak ausignares kini justru dilembagakan pada (kebijakan) politik luar negerinya? Wong kendel kudu duwe piyandel. Orang berani harus memiliki andalan atau sesuatu yang diandalkan.

ANZUS, FPDA dan ISAF

Tak boleh disangkal, keberanian serta keangkuhan Aussie menjalankan politik ausignares di Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara, besar kemungkinan karena didukung banyak negara pada beberapa pakta pertahanan (treaty) sebagai andalan, dimana ia sendiri masuk didalamnya. Pakta ANZUS misalnya, merupakan kerjasama militer antara Australia, New Zealand, United States Security Treaty (ANZUS). Ia dibentuk tanggal 1 September 1951. Pakta ini merupakan aliansi militer yang mengikat antara Australia dan Selandia Baru, dan secara terpisah kesepakatan antara Australia dan Amerika Serikat sendiri pada kerja sama dalam hal pertahanan di Samudra Pasifik, meski akhirnya melebar, artinya perjanjian meluas tak sekedar di Lautan Pasifk saja tetapi serangan apapun di wilayah manapun.

Pakta selanjutnya adalah Five Power Defence Arrangements (FPDA). Ini juga pakta pertahanan antara Britania Raya (Inggris), Australia, New Zealand (Selandia Baru), Malaysia dan Singapura. Didirikan tahun 1971 dengan inti paktanya, bahwa kelima negara akan saling membantu bila ada serangan (dari luar) terhadap negara-negara anggota. Atau dalam bahasa politisnya: “Kami dapat membantu satu sama lain dan bekerja sama satu sama lain”.

Melalui FPDA ini, Inggris menempatkan personel dan memperoleh fasilitas di Butterworth, Malaysia dan di Sembawang, Singapura. Tak bisa dipungkiri, kedua negara memang masuk orbit commonwealth, kelompok negara persemakmuran bekas jajahan Britania Raya.

Pakta berikut yang diikutinya ialah ISAF (International Security Assistance Force), atau Pasukan Bantuan Keamanan Internasional. Ia dibentuk oleh Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 20 Desember 2001, diprakarsai oleh Nort Atlantic Treaty Organization (NATO) di Afghanistan.

Keanggotaan ISAF sekitar 40-an negara terdiri atas 26 anggota NATO, 10 negara mitra, dan 2 negara non-NATO/non-mitra, antara lain Denmark, Kanada, Amerika Serikat (AS), Inggris, Italia, Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Spanyol, Turki, Polandia, dan sebagian besar anggota Uni Eropa dan NATO termasuk Australia, Selandia Baru, Azerbaijan, Singapura, dan lainnya.

Misi ISAF sebenarnya hanya di Afghanistan, namun entah kenapa justru ia dijuluki sebagai “Amoeba”-nya NATO di Asia, atau karena tidak sedikit negara-negara Asia ikut sharing saham di dalamnya. Sebagaimana kelaziman dalam dua pakta sebelumnya, pola doktrin pun sama. Siapa menyerang salah satu anggota berarti menyerang semuanya!

Pangkalan Militer AS di Darwin

Adanya isue pembangunan pangkalan militer Paman Sam di Darwin pada penghujung 2011, membuat Asia Tenggara sedikit menggeliat. Betapa tidak, ketika pada tengah 2012 ditempatkan 2.500 marinir beserta peralatan perang, tank dan pesawat-pesawat tempur, dll maka suara sumbang pun terdengar di lingkungan.

Bahwa misi kemanusian sebagaimana alasan Obama terkait kehadiran militernya di Australia Utara, membuat Cina meskipun jauh dari Darwin melakukan protes keras. “Penempatan pasukan militer yang tak tepat”, katanya, tetapi Indonesia —sebagai tetangga terdekat— justru mengatakan, bahwa AS dan Australia merupakan negara sahabat yang tak mungkin bermaksud jahat terhadap republik ini.

Pada gilirannya, situs resmi Departemen Pertahanan Aussie (www.defence.gov.au) menyatakan, bahwa AS telah mengirim tambahan 20.000 personelnya ke Darwin guna latihan gabungan (latgab) bersama tentara Aussie bersandi “Talisman Saber 2013” dengan fokus operasi amfibi yang digelar di pantai timur Australia dan Coral Sea. Latgab ini juga menandai kali pertama pesawat Hybrid MV-22 Osprey, pesawat tempur yang dapat melakukan vertical takeoff and landing (VTOL) dan short takeoff and landing (STOL). Latgab digelar sejak 15 Juli hingga 5 Agustus 2013. Telah jelas sudah, bahwa militer AS di Darwin kini sekitar 22.000-an personel. Jumlah yang cukup signifikan untuk kawasan Asia Pasifik.

Retorika menggelitik pun muncul: apakah karena tiga pakta pertahanan, plus keberadaan pangkalan militer AS di Darwin membuat Aussie begitu over confidencemenerapkan politik “bebal” luar negerinya, terutama kepada Indonesia?

Bersambung ke (3)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com