Menakar Pengaruh Indo-Pasifik AS dan OBOR Tiongkok dan Dampaknya bagi Indonesia

Bagikan artikel ini

Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Intitute

Sudah jamak bahwa dua negara adidaya AS dan Tiongkok kerap terlibat dalam perselisihannya demi mengamankan kepentingan ekonomi politik negaranya dan menunjukkan potensi hegemoniknya di kawasan. Tentu itu bisa dibaca–seperti–dalam kapasitasnya yang sama-sama memiliki hak veto di dewan keamanan PBB. Mulai dari sikap kedua negara terhadap kasus nuklir Iran, Korea Utara, atau persoalan-persoalan yang lain. keduanya kerap saling menuding dan sepertinya sulit mendapati keduanya sampai pada satu titik temu.

Persaingan kedua negara adidaya kini kembali berlanjut, menyusul kunjungan Presiden AS Donald Trump ke lima negara Asia pada November 2017 yang berhasil menabur benih kebijakan yang siap bertumbuh untuk “mengacaukan” konstelasi politik di kawasan. Benih itu tidak lain adalah Indo-Pasifik. Trump paham betum bagaimana posisi tawar Tiongkok, negara kompetitornya, di kawasan. Konsep Indo Pasifik yang dicetuskan Trump ini semakin banyak diulas oleh para pengamat politik internasional dan menjadi tema pokok di pelbagai seminar dan pertemuan, terutama di Tiongkok. Hal ini mencerminkan adanya fakta bahwa selama ini, diakui atau tidak, AS masih menjadi negara yang paling banyak mempengaruhi peta jalan politik Tiongkok.

Apa itu Strategi Indo-Pasifik?

Salah satu ciri spesifik negara-negara Barat yang bisa kita amati adalah mengidentifikasi lawan dan membuat strategi yang tepat untuk menghadapinya. Tengok saja misalnya, Amerika Serikat menjadikan Uni Soviet sebagai saingan atau lawan selama Perang Dingin. Hingga, pada 1990-an, negara ini kemudian dianggap menjadi peradaban non-Barat. Dan setelah serangan 9/11, saingan atau lawannya pun bergeser, yang diidentifikasi sebagai negara terorisme dan gagal. Sekarang lain lagi, negara mana saja yang dianggap saingan atau lawan bagi AS. Bukanlah sebuah kebetulan kalau pemerintahan Trump saat ini menganggap apa yang disebut negara revisionis, dalam hal ini Tiongkok dan Rusia, dan negara-negara jahat, seperti Iran dan Korea Utara sebagai saingan. Belum lagi peningkatan pesat Tiongkok baik dari sisi militek ekonomi dan politiknya tidak hanya mengubah keseimbangan kekuatan di kawasan itu, tetapi juga memberikan tantangan bahkan ancaman tersendiri terhadap nilai dan kepentingan AS. Kalau di era Presiden Barack Obama, ada sebutan setrategi “Asia-Pacific Rebalancing”, namun pada era Trump, muncul istilah “Strategi Indo-Pasifik”.

Merujuk tulisan Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute, istilah Indo-Pasifik mengandung pengertian “wilayah biogeografis yang terdiri dari perairan tropis Samudra Hindia, Samudra Pasifik barat dan tengah, dan laut yang menghubungkan keduanya di wilayah umum di Indonesia.”

Yang patut menjadi perhatian bersama bahwa strategi Indo-Pasifik juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu kekhasan hubungan Tiongkok-AS, dan karakteristik “Belt and Road Initiative” (OBOR)-nya Tiongkok.

Harus diakui, AS memiliki banyak pengalaman dalam menangani musuh dan sekutu. Keputusan dasar AS tentang Tiongkok telah berubah secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Sejak pemerintahan Nixon, strategi AS terhadap Tiongkok didasarkan pada keyakinan bahwa dengan perkembangan ekonomi, Tiongkok pada akhirnya akan bergerak ke arah model Barat secara politis. Namun, faktanya tidak. Sebaliknya, Tiongkok sedang mempertontonkan model yang berbeda dari Barat. Tentunya, hal ini membuat para elit di Washington sangat frustrasi sehingga mendorong mereka untuk memberlakukan kebijakan ketat terhadap Tiongkok.

Masalahnya, bagaimanapun, adalah bahwa Tiongkok memiliki berbagai peran untuk Amerika Serikat. Lihat saja, Tiongkok menjadi mitra ekonomi dan budaya bagi AS, namun ia menjadi musuh dalam bidang militer dan ideologi, dan pesaing di industri TI dan manufaktur. Demikian memang adanya. Dan ketika menyangkut anti-terorisme, isu nuklir Korut, rekonstruksi pasca perang Afghanistan, dan perubahan iklim, Tiongkok sangat piawai berperan sebagai kolaborator. Tiongkok juga merupakan pembeli nomor satu obligasi AS.

Oleh karena itu, dalam Laporan Strategi Keamanan Nasional dirilis pada bulan Desember tahun lalu, posisi Tiongkok diidentifikasi sebagai pesaing strategis, tetapi dalam beberapa paragraf itu disebut “kekuatan saingan”. Sepertinya, sulit bagi AS untuk menemukan satu kata guna mendefinisikan Tiongkok, mengingat permainan cantiknya yang ia peragakan secara berbeda di setiap bidang ketika harus berhubungan dengan AS. Bahkan, dengan munculnya setrategi Indo-Pasifik ini, secara tidak langsung mengindikasikan sepertinya AS kurang PD (percaya diri) untuk tampil sebagai pemenang.

Adapun OBOR adalah strategi tingkat atas pemerintah Tiongkok saat ini untuk meningkatkan hubungan luar negeri. Ini sekaligus dimaksudkan sebagai pengembangan perdamaian yang bertujuan untuk mempromosikan hubungan Tiongkok dengan negara lain, sekaligus sinyal akan tanggung jawabnya sebagai kekuatan besar yang juga bisa memberikan keuntungan bagi negara lain. Dalam kapasitas demikian, secara implisit, Tiongkok tidak memiliki niat untuk membentuk aliansi militer melawan AS, namun secara eksplisit, memandang dirinya sebagai “pembangun perdamaian dunia, kontributor pembangunan global, dan pembela tatanan internasional”.

Mengapa demikian, karena Tiongkok dengan strategi OBOR-nya, memang sedari awal berfokus pada bidang ekonomi dan budaya. Melalui OBOR ini, Tiongkok menganggap kerjasama adalah satu-satunya cara untuk memperkuat kerjasanya dan memberikan keuntungan bagi negara-negara lain. Tiongkok tidak mengejar keekslusifan dalam proses membangun OBOR di kawasan. Ini juga mencerminkan filosofi Tiongkok tradisional dari pemerintahan global, yang dicirikan dengan “mencari kesamaan dan mengesampingkan perbedaan”.

Sebagai kesimpulan, Pemerintahan Trump kemungkinan akan menggunakan strategi Indo-Pasifik untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok di kawasan. Tetapi mengingat bahwa strategi ini belum terlembagakan dengan baik, maka strategi Indo-Pasifik AS nampaknya tidak begitu berdampak terhadap pembangunan OBOR Tiongkok yang memang sudah mapan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Seperti diulas di awal, Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis mengingat posisinya yang terletak antara Samudra Pasifik dan Lautan Hindia. Ambisi AS dengan strategi Indo-Pasifiknya dan Tiongkok dengan OBOR-nya tentu memberikan sinyal / peringatan tersendiri bagi Indonesia. Indonesia tentu harus memanfaatkan daya tawarnya diantara dua kepentingan besar kedua negara adidaya tersebut.

Dalam kapasitas demikian, Indonesia tidak boleh menjadi pion, bidak yang bisa dengan mudah di(per)mainkan oleh keduanya di atas papan catur konstelasi global. Mengingat, sangat mungkin AS yang mtengah mengalihkan fokus keamanan nasionalnya ke Indo-Pasifik, akan menyusun peta jalan yang mengarah pada konflik kepentingan dengan Tiongkok di pekarangan belakang Indonesia. Kalau demikian adanya, pemerintah Indonesia akan berada pada posisi yang sulit sehingga, mau tidak mau, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah taktis sekaligus strategis untuk menghadapi AS dan Tiongkok yang memang sedang berebut pengaruh di kawasan demi mengamankan kepentingan nasionalnya masing-masing.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com