Mencari Ismael, Sahabat Lama di Betlehem

Bagikan artikel ini

Derek Manangka, Wartawan Senior

Sebelum tiba di Israel (Februari 1993), saya sudah mempersiapkan diri untuk tetap kritis. Tidak ingin termakan atau terpengaruh oleh ceritera versi sepihak. Sebisa mungkin ada acara yang saya buat sendiri, bebas pengaruh dari pihak pengundang.

Saya ingat cerita wartawan Palestina, Ismael yang sama-sama kerja praktek di CFPJ (Centre de Formation et de Perfectionement des Journalistes) Paris, Prancis di tahun 1984. Bahwa Israel sangat piawai memanfaatkan media dan orang-orang media. Negara itu banyak mengundang wartawan dari berbagai belahan dunia. Begiru rapihnya mereka menyusun program kunjungan wartawan asing. Sehingga hasil liputan media asing itu selalu menguntungkan pihak Israel.

Bukan hanya itu. Dalam soal mematai-matai orang asing dan Palestina, semua orang Israel punya tugas yang sama. Semua orang Israel disiapkan menjadi orang intel atau mata-mata.

“Jangankan manusianya, pohon dan rumput saja bisa menjadi mata-mata”, kelakar Ismael yang sangat berbahagia bisa keluar dari Palestina – di mana semua wilayahnya masih diduduki atau minimal dikontrol oleh Israel.

Di tahun 1984 itu saya belum begitu tertarik akan ceritera-ceritera tentang konflik Palestina – Israel. Sebagai reporter junior “Sinar Harapan”, liputan internasional lebih banyak ditangani oleh para senior seperti Sabam Siagian, Samuel Pardede, Annie Bertha Simamora dan Harry Kawilarang. Bagi saya, konflik itu tidak gampang dicerna.

Selain itu, di saat yang sama konsentrasi saya terfokus pada menyelesaikan tugas belajar agar segera kembali ke tanah air.

Saya tak pernah berpikir sekitar 9 tahun kemudian, setelah saya bekerja sebagai wartawan untuk “Media Indonesia”, saya bisa menginjakkan kaki di tanah Palestina maupun Israel dan persahabatan dengan Ismael bisa saya manfaatkan.

Dan tidak hanya itu, perjalanan ke Israel itu, bisa saya sebut sebagai sebuah perjalanan mendebarkan. Dibayangi oleh situasi yang membuat syaraf jantung berdebar-debar.. Bagaimana tidak? Dengan tidak adanya hubungan diplomatik, perjalanan ini dari sisi konsuler dan keamanan, cukup beresiko. Kalau paspor tercecer misalnya, akan sulit mengurusnya. Dan kalau tanpa paspor, akan sulit kembali ke Indonesia. Jika jatuh sakit jatuh sakit …… bagaimana melakukan komunikasi dengan kantor atau keluarga … dst.

Di pihak pengundang tak satu pun yang saya kenal. Dan yang pasti saya tidak punya teman baik warga Indonesia atau asing yang menetap di Israel. Berada di Israel saat itu, seperti berada di sebuah planet atau bumi lain.

Sempat muncul rasa khawatir. Kalau-kalau Israel mau menjadikan kami sebagai “sandera” atau mungkin disekap di sebuah tempat yang terisolir untuk beberapa waktu.

Namun rasa khawatir itu saya buang jauh-jauh dengan membatin, tokh saya atau kami berempat merupakan hanyalah warga negara biasa dan bukan PNS. Rasa khawatir itu saya coba tekan dengan terus berpikir positif – betapa melegenda nanti perjalanan avontur ini.

Sebab (akan) bertemu langsung dengan Orang Nomor Satu di Israel, sosok yang di bulan Oktober 1992, sudah terbang ke Indonesia untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. selaku Ketua Gerakan Non-Blok. Dari sisi berita, kadar eksklusifitasnya, sangat tinggi.

Setidaknya ada bayang-bayang yang mendekatkan kami dengan Presiden Soeharto. Atau kalau dipaksakan, sebagai wartawan, kami juga sama pentingnya dengan Orang Nomor Satu di Indonesia.

Perjalanan ini membanggakan. Sebab tokoh yang melegenda, Yitzhak Rabin merupakan pemimpin dari negara berpenduduk tidak sampai 5 juta jiwa. Sekalipun kecil, negaranya Rabin ini mampu mengguncang dunia yang penduduknya mencapai 5 milyar orang.

Pertama melalui kemenangannya atas perang singkat namun telak atas tiga negara tetangganya : Mesir, Yordania dan Syria. Kedua melalui konfliknya dengan Palestina yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad. Ketiga keunggulan teknologinya di bidang militer yang disebut-sebut setara dengan negara maju seperti Amerika Serikat.

Saya cukup menyesal, tidak memyimpan alamatnya wartawan Palestina itu. Yang saya simpan alamat wartawan dari Afrika Hitam, negara-negara sosialis di Eropa Timur dan teman-teman dari Amerika Latin. Saya lebih yakin bisa pergi ke negara-negara itu ketimbang Israel.

Hanya saja, masih terngiang-ngiang ucapan Ismel. : “Kalau anda ke Betlehem, gampang cari saya. Anda cari kantor surat kabar atau majalah saja, kemudian sebut nama saya. Pasti anda bisa temukan saya. Semia orang Betlehem kenal saya”, Bukan sekali saja dia mkemyampaika iti saat kami rehat – ngopi di kafe-kafe sekitar Rue du Louvre, Paris.

Pikiran saya mulai terbagi. Saya punya agenda baru. Terbayang di benak saya, akan dapat bertemu sahabat lama Ismael dan dari dia mungkin saya akan banyak mendapat informasi tambahan. Laporan perjalanan jurnalistik ke Israel, tidak hanya dari sisi Israel. Tetapi juga dari sisi Palestina. Lebih komprehensif.

Rencana pribadi saya, seusai wawancara dengan Perdana Menteri Yitzhak Rabin serta Menteri Luar Negeri Shimon Peres, saya akan minta izin ke Betlehem. Alasan saya untuk ziarah, ke tempat Yesus Kristus dilahirkan 2000 tahun yang lalu. Kebetulan dari kami berempat wartawan Indonesia, hanya saya yang non-Muslim.

Dengan alasan ziarah, saya berharap teman-teman Muslim, tidak tertarik ikut dan mereka tidak bisa menggali informasi dari sahabat wartawan Palestina. Dalam hal ini, saya sisihkan pertemanan kami sebagai individu. Yang saya kedepankan, persaingan sebagai wartawan profesional. Yaitu saya bisa menciptakan berita eksklusif, mereka tidak bisa, sekalpun kami berada dalam satu rombongan. Dengan cara itu saya ingin “mencuri di tikungan” ,

Tapi setelah berkali-kali saya minta izin, tidak ada jawaban positif yang saya terima. Saya baru diizinkan pisah dari rombongan, setelah saya mengaku, sudah tidak kuat. Sudah letih sekali. Saya benar-benar butuh istirahat di hotel, minimum tiga jam.

Saya jelaskan, penyebab keletihan karena kurang tidur. Saya takut jatuh sakit. Setiap hari kami harus bangun pukul 5 subuh, supaya bisa mengejar sarapan pukul 7 pagi. Padahal sejak keluar dari hotel pukul 9, kami baru bisa masuk kamar dan tidur, rata-rata pukul 12 tengah malam. Dan karena saya rutin membuat laporan untuk “Media Indonesia”, sebelum tidur saya sempatkan mengetik berita sekitar 45 menit untuk dikirim melalui fax. Jadi rata-rata saya hanya tidur 4 jam. antara pukul 01.00 – sampai 05:00.

Tapi karena ada kewajiban lain, membuat laporan “live” untuk Radio Trijaya 104,7 FM, maka pada pukul 03:00 waktu Israel atau pukul 08:00 WIB, saya harus stand by di pesawat telepon. Jadi waktu tidur saya hanya satu jam bahkan setelah komunikasi dengan Trijaya, saya sudah tidak bisa tidur lagi.

Produser Trijaya FM, memaksimalkan keberadaan saya di Israel sebagai, sebagai sebuah keunggulan. Acaranya radio itu dengan tema “Jakarta First Channel”, menjadi salah satu program paling populer bagi pendengarnya. Saya diberi tahu oleh proudser.

Jakarta menelpon dan saya melaporkan secara langsung sesuai apa yang ditanya Jakarta. Protokol rupanya senang dengan status tambahan saya sebagai wartawan radio. Penjelasan dimengerti protokol dan permintaan dikabulkan.

Setelah istirahat sekitar satu jam di hotel, saya mandi dan kemudian bergegas turun ke lobi. Saya mau pastikan tiga sahabat saya dari Jakarta : Taufik Darusman, Wahyu Indrasto dan Nasir Tamara sudah meninggalkan hotel menghadiri acara di luar.

Di luar hotel terdapat deretan taxi yang panjang menunggu penumpang yang keluar dari Hotel Moriah. Saya langsung menuju ke taxi deretan terdepan. Budaya antre di Israel, sama dengan di Eropa Barat, Amerika Utara, Australia ataupun Singapura dan Hongkong.

Saya bingung karena sopir taxi paling depan itu justru menolak. Ia menunjuk ke sopir taxi lain yang berada di urutan kedua paling belakang. Dan yang ditunjuk itu pun melambai-lambaikan tangan ke arah saya. Sayapun mendekat ke sopir di urutan belakang itu. Dia langsung tanya : “Anda mau ke Betlehem? Ayo saya siap mengantar anda”, ujarnya.

Sempat berpikir, koq dia tahu saya mau ke Betlehem? Oh mungkin karena di hotel itu, hanya saya bertampang Asia. Aneh, dia cuma menebak tapi tebakannya tepat.

Untuk Yerusalem – Betlehem-Yerusalem, dia minta dibayar 38 shekel. Saya tawar hanya untuk didrop saja. Tapi dia tetap menolak. Saya coba mendekat ke taxi-taxi lain yang antri. Semua menolak. Sementara taxi yang tidak mau ditawar ini terus mengingatkan saya bahwa tidak akan ada yang mau mengantar saya ke Betlehem.

Dalam waktu sekitar 15 menit kami sudah tiba di Gereja Katedral Betlehem. Saya pun bergegas turun. Saya menuju ke pintu gerbang gereja untuk berdoa di dalam. Sebab di sana banyak rombongan turis dari manca negara. Bis-bis turis yang parkir, nyaris memenuhi seluruh halaman parkir.

Tapi pada saat yang sama ada sekitar lima pemuda remaja terus membuntuti saya dan berusaha mengeroyok saya. Ada yang menyasar dompet di dalam kantong. Ada yang mengincar jam tangan dan ada lagi yang mau mengambil kaca mata Rayben. Satunya lagi berusaha menaklukan saya dengan cara memegang tubuh saya. Terjadi semacam keributan di halaman gereja itu. Tapi anehnya tidak ada polisi atau satpam yang datang melerai. Saya lari, mereka kejar. Saya mengelak, mereka pepet. Semua arah yang mau saya tuju mereka blok. Saya menoleh ke sopir taxi, dia hanya tersenyum dan memberi tanda bahwa tidak ada masalah.

Tapi setelah saya merasa snagat terancam, dengan gerakan tipuan, saya lari sekencang-kencangnya ke arah taxi. Dan sopir pun mencegah pemuda-pemuda remaja itu mendekat ke taxi.

Setelah saya duduk di jok belakang, dia masih bertanya apakah masih mau mencoba lagi masuk ke gereja atau bagaimana? Dengan nafas yang masih terengah-engah saya jawab : antar kembali saya ke hotel.

Dalam perjalanan pulang, kami melewati jalan yang banyak berlobang dan perumahan kumuh. Beda sekali dengan di perkampungan dekat Hotel Moriah. Bahkan kami masih dilempari batu atau benda keras oleh penduduk yang kami lewati.

“Inilah wilayah Palestina yang mungkin anda sering tonton di CNN”, kata sang sopir taxi.

Setelah nafas saya tidak lagi megap-megap, si sopir menjelaskan, itulah sebabnya dia tidak izinkan saya mengunakan taxi hanya untuk drop atau sekali jalan. Taxi dan orang Israel bebas masuk tanah Palestina. Tapi tidak demikian sebaliknya bagi warga Palestina.

“Saya tidak yakin anda masih bisa masuk kembali Israel, kalau tadi anda datang sendirian”. katanya.

Saya akhirnya sadar, Betlehem merupakan wilayah Palestina yang dikontrol Israel. Warga Palestina di Betlehem berhak berbuat apa saja terhadap tamu yang diantar oleh mobil berplat nomor Israel.

Sopir taxi tersebut, adalah bagian petugas keamanan Kantor Perdama Menteri Israel yang disiapkan untuk memantau gerak-gerik saya, setelah memisahkan diri dari rombongan resmi. Atau dia sebetulnya seorang mata-mata. Kejadian di Betlehem itu tidak saya ceritakan kepada tiga sahabat saya. Saya malu.

Dan bersamaan dengan itu, pupus pula keinginan mencari si Ismael, wartawan Palestina yang saya kenal di Eropa hampir 10 tahun sebelumnya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com