Dina Y Sulaeman, Pemerhati Masalah Internasional
Salju lebat yang datang terlalu cepat, sebelum musim dingin tiba, seolah memberikan warna baru pada pemilu 15 Desember di Teheran. Poster-poster para kandidat pemilu yang digantung di pohon-pohonan Jalan Chamran tampak membeku diselimuti salju. Pemandangan di jalan-jalan besar lain di kota Teheran tak jauh berbeda. Pepohonan, dinding-dinding, pagar-pagar, halte bus, bahkan tiang listrik, penuh dengan tempelan poster-poster para kandidat. Sehari sebelum pelaksanaan pemilu, semua poster-poster itu pun ditarik dan disingkirkan, disaksikan oleh pepohonan yang tengah menahan endapan salju di ranting-rantingnya.
Pemilu yang kali ini diselenggarakan di Iran adalah pemilu yang lain daripada yang lain. Pemilu yang hanya ada satu-satunya di dunia, yaitu pemilu Dewan Pakar (Majles-e Khubregan), sebuah lembaga yang terdiri dari 86 ulama pilihan rakyat dari berbagai penjuru Iran. Posisi para ulama di Dewan Pakar adalah posisi yang sangat krusial karena merekalah yang akan memilih dan menetapkan Wali Faqih, pemimpin tertinggi dalam Republik Islam Iran. Namun anehnya, posisi ini tidak mendatangkan uang karena para ulama yang duduk di Dewan Pakar sama sekali tidak mendapatkan gaji dari negara.
Hiruk pikuk menjelang pemilu sudah terasa sejak dua-tiga bulan menjelang hari H. Namun, yang banyak bersuara adalah para pendukung ulama, bukan ulamanya sendiri, terutama dari kalangan yang menamakan diri kelompok reformis. Mereka membuat weblog-weblog untuk membentuk opini. Sebanyak 495 ulama mendaftarkan diri untuk bertarung dalam pemilu. Mereka kemudian diverifikasi oleh KPU yang juga terdiri dari para ulama. Jauh sebelum hasil verifikasi keluar, kelompok reformis sudah melemparkan ancaman, “Kalau kandidat-kandidat kami tidak lolos seleksi, artinya pemilu ini tidak valid,”kata Musavi Lari, seorang ulama reformis garis keras. Namun Musavi Lari akhirnya tetap harus gigit jari karena mayoritas pemilih tetap memberikan suara mereka kepada ulama-ulama dari sayap konservatif.
Verifikasi dilakukan untuk meneliti tingkat keilmuan para kandidat. Para ulama yang boleh duduk di Dewan Pakar haruslah sudah mencapai tingkat “mujtahid” (menguasai keilmuan yang dibutuhkan untuk mengambil deduksi hukum syar‘i). Para ulama yang sudah dikenal, antara lain yang sudah bergelar ayatullah bisa dipastikan lolos verifikasi secara otomatis. Namun, nama-nama baru harus mengikuti ujian tulis di bidang hukum Islam. Di kota Teheran, ada 3 ulama perempuan yang mencalonkan diri namun kemudian dinyatakan tidak lulus ujian tulis. Dari 495 pendaftar, ada 166 ulama yang lolos seleksi dan bertarung dalam pemilu. Setiap provinsi di Iran akan mendapat jatah ulama sesuai dengan perbandingan jumlah penduduk. Warga Teheran yang berjumlah 8 juta orang memiliki jatah 16 ulama untuk duduk di Dewan Pakar.
Dalam pemilu kali ini, untuk pertama kalinya ada kandidat yang lolos seleksi meski dia tidak dikenal sebagai ulama dan tidak mengenakan baju jubah khas ulama, yaitu Doktor Mohsen Esmaili. Dia ahli bidang fisika yang kemudian mengambil doktor di bidang hukum. Sambil kuliah di universitas, dia juga menutut ilmu keislaman di hawzah ilmiah, lembaga yang mencetak para ulama di Iran hingga mencapai derajat “mujtahid”. Namun rupanya dia tidak berhasil mendapat suara cukup banyak sehingga tidak termasuk dalam 16 ulama wakil rakyat Teheran.
Ketika 86 ulama telah terpilih untuk duduk di Dewan Pakar, mereka akan mengadakan sidang untuk memilih seorang Wali Faqih di antara mereka sendiri. Republik Islam Iran memiliki sistem pemerintahan yang berbeda dengan negara-negara lain di dunia. Kepemimpinan tertinggi dalam negara ini dipegang oleh seorang Wali Faqih atau ulama dengan kriteria yang sangat banyak: memiliki keilmuan yang dibutuhkan untuk memberi fatwa dalam urusan agama, memiliki integritas dan kesucian akhlak yang dibutuhkan untuk memimpin umat Islam, dan memiliki visi politik dan sosial, kebijaksanaan, keberanian, kemampuan adiministrasi, dan kemampuan pemimpin yang memadai. Benar-benar kriteria manusia setengah dewa.
Dua minggu menjelang pemilu, jalanan mulai ramai oleh tempelan poster. Namun poster yang dipajang lebih banyak poster-poster para kandidat Dewan Kota (DPRD) yang digelar bersamaan dengan pemilu Dewan Pakar. Di channel-channel televisi lokal dan radio, para ulama kandidat Dewan Pakar secara bergantian berpidato. Umumnya isi pidato mereka bukan mengkampanyekan diri sendiri, melainkan menjelaskan kepada rakyat Iran apa tugas dan posisi Dewan Pakar dalam sistem negara. Kampanye juga dilakukan dengan memanfaatkan internet, namun lagi-lagi, lebih bertema khutbah dan menjelaskan riwayat hidup tiap kandidat. Di masjid-masjid, kesibukan juga mulai terasa. Para ibu setelah usai sholat berjamaah sibuk berdiskusi, ulama mana yang sebaiknya dipilih dalam pemilu.
Tentu saja tidak semua orang antusias menyambut pemilu ini. Seorang penduplikat kunci yang saya temui di kios kecilnya di Jalan Satarkhan yang penuh dengan ratusan poster kandidat, dengan sengit berkata, “Apa gunanya ikut pemilu?! Yang mereka lakukan hanyalah apa yang mereka inginkan, bukan apa yang kami inginkan!” Ada juga yang tetap ikut pemilu meski skeptis, “Yah, yang penting partisipasi,” kata Alireza, seorang lelaki usia 30-an.
Kegiatan politik rakyat Iran tidak bergantung pada partai-partai politik. Dalam pemilu apapun, siapa saja bisa mendaftarkan diri sebagai kandidat, tanpa perlu melewati partai. Namun biasanya, banyak kandidat yang mendapat dukungan dari partai atau lembaga-lembaga semi partai. Secara umum ada dua kubu politik konservatif (ushulgara) dan reformis (eshlahtalab) yang bertarung dalam dunia politik Iran. Ada berbagai kelompok atau lembaga politik yang aktif di kedua kubu. Masing-masing kelompok mengeluarkan list atau daftar nama kandidat-kandiat yang mereka dukung. Kelompok Jameatain (konservatif) misalnya, merilis 16 nama, antara lain Ayatullah Mishkini dan Ayatullah Misbah Yazdi. Sementara itu, kelompok-kelompok reformis, seperti Karguzaran Sazandegi dan Partai Pemuda Iran Islami beraliansi menyusun empat belas nama dalam list mereka, antara lain Rafsanjani, Hasan Ruhani, dan Ghulamreza Rizwani.
Saat saya berjalan-jalan mengunjungi sebuah TPS di kawasan Tehran Barat dan membaur di tengah para pemilih, di sebuah sudut terdengar bisik-bisik dua perempuan, seorang ibu tua dan gadis muda. Si Ibu meminta tolong kepada si gadis untuk menuliskan nama para kandidat pilihannya di atas formulir khusus. Ada tiga lembar kertas sederhana berukuran 20×15 cm yang mirip kwitansi toko, satu kuning emas, satu biru, dan satu lagi merah muda. Di formulir kuning emas ada enam belas kolom kosong yang harus diisi nama-nama para ulama pilihan. Si gadis dengan patuh menuliskan 16 nama ulama dari list Jameatain, pilihan si ibu. Formulir warna merah muda harus diisi kandidat pemilu sela Parlemen (untuk menggantikan anggota parlemen yang mengundurkan diri atau meninggal dunia). Untuk mengisi formulir biru (pemilu dewan kota), si Ibu menyerahkan sebuah brosur kecil. Si gadis protes dengan suara pelan, “Tidak ada gunanya memilih orang-orang ini. Kenapa Ibu tidak memilih orang-orang reformis?” Jawab si ibu, “Ah, biarlah, ini jadi tanggung jawab Ahmadinejad.”
Saya melirik brosur itu, ternyata berisi nama-nama kandidat Dewan Kota yang beraliansi di bawah nama Raihane Khus Khedmat. Isu yang tersebar, aliansi itu mendapat dukungan dari Presiden Ahmadinejad. Si gadis kembali diam dan mengisi formulir. Si Ibu duduk di kursi sebelah si gadis, “Aku cuma menjalankan kewajiban syar’i, demi Islam,” katanya. “Baguslah,” jawab si gadis. Di TPS itu, tampak orang-orang berdatangan bersama keluarga mereka. Anak-anak kecil pun diajak oleh orangtua mereka, membuat suasana ruangan riuh rendah. Semakin siang, antrian panjang mengular sampai keluar ruangan. Membludaknya peserta pemilu membuat KPU memutuskan agar waktu pelaksanaan diperpanjang hingga 3 jam. Di kota Damghan, Iran timur, bahkan dikabarkan ada sepasang pengantin datang ke TPS lengkap dengan pakaian pengantin mereka.
Menurut data dari KPU Iran turn-out vote pemilu kali ini mencapai 61 persen. Sebelumnya, banyak pihak menyatakan bahwa pemilu kali ini adalah ujian untuk Ahmadinejad yang berasal dari kubu konservatif. Bila rakyat banyak yang datang ke pemilu, artinya rakyat masih mendukung kelompok konservatif. Tak heran bila sehari setelah pemilu, Ahmadinejad menulis surat terbuka untuk rakyat Iran, menyatakan terimakasihnya atas kehadiran mayoritas rakyat ke pemilu.
Di televisi nasional diperlihatkan antrian-antrian panjang –di beberapa kota bahkan antrian terjadi di tengah deraian salju—di TPS-TPS yang umumnya digelar di sekolahan atau masjid. Bahkan Presiden Ahmadinejad dan Ketua Parlemen Haddad Adel pun harus rela berdiri mengantri selama lebih sepuluh menit sebelum KTP mereka diberi stempel pemilu dan mendapatkan tiga lembar formulir untuk diisi. Pemilu di Iran selama ini memang diselenggarakan dengan cara yang sangat simpel. Tak dilakukan pendaftaran pemilih. Setiap orang yang mau berpartisipasi dalam pemilu tinggal datang ke TPS terdekat di manapun dia berada dengan membawa KTP yang berbentuk paspor. Di bagian belakang KTP itu ada lembaran khusus tempat membubuhkan stempel-stempel pemilu. Setelah distempel oleh panitia, dia akan mendapatkan formulir untuk diisi nama-nama kandidat pilihannya, lalu dimasukkan ke kotak suara. Selama ini pun kotak suara dibuat dari kardus bekas yang dibungkus kain seadanya. Baru mulai pemilu kali ini disediakan kotak suara permanen dari bahan plastik.
Wewenang seorang Wali Faqih sangat besar, jauh melebihi wewenang seorang presiden. Wali Faqih-lah yang menandatangani surat pengangkatan presiden setelah terpilih melalui pemilu, menghentikan presiden jika Mahkamah Agung memutuskan bahwa presiden tersebut bersalah melanggar tugas-tugas konstitusionalnya atau jika parlemen menyampaikan mosi tidak percaya, menetapkan komandan tertinggi dalam angkatan bersenjata nasional, menyatakan perang dan damai, dan memobilisasi angkatan bersenjata. Selain itu, Wali Faqih berwewenang menunjuk, memberhentikan, dan menerima pengunduran diri dari beberapa lembaga penting, seperti Ketua Mahkamah Agung, Kepala Radio dan Televisi, atau Pemimpin Dewan Pengawal Revolusi Iran.
Saat ini, Wali Faqih Iran dijabat oleh Ayatullah Khamenei. Dia terpilih secara aklamasi dalam sidang Dewan Pakar yang diselenggarakan segera setelah Imam Khomeini meninggal dunia tahun 1989. Sejak itu, setiap kali Dewan Pakar terbentuk melalui pemilu 8 tahun sekali, Ayatullah Khamenei kembali terpilih sebagai Wali Faqih, hingga hari ini. Dewan Pakar juga bersidang setahun sekali untuk mengevaluasi kinerja Wali Faqih. Bila mereka mendapati Wali Faqih tidak menjalankan tugas dengan baik atau melanggar Undang-Undang, Dewan Pakar berhak memberhentikannya dan menggantinya dengan ulama lain.
***
Matahari kota Teheran hari itu memang bersinar cerah dan salju telah berhenti turun, menyisakan gumpalan-gumpalan salju di tempat teduh. Namun, udara tetap terasa dingin menyengat tulang sumsum dan angin bertiup memedihkan mata. Sengatan dingin itu rupanya tak menghalangi orang-orang untuk datang ke kotak-kotak pemilihan suara, untuk mencari dan memilih manusia setengah dewa. Sulit dipercaya bahwa mereka ada, tapi sebagian orang-orang Iran sepertinya meyakininya.
Sumber :dinasulaeman.wordpress.com