Mencari Motif di Hawla

Bagikan artikel ini

 Dina Y. Sulaeman, magister Hubungan Internasional Unpad; Research Associate Global Future Institute (GFI)

It is time to act. It is time to give the Syrian opposition the weapons in order to defend themselves. The situation in Syria will not get better until the rest of the world at least gives the arms to the Syrian rebels.” (Senator AS, McCain dan Liberman, di Kuala Lumpur, 30 Mei 2012)

Tragedi Hawla (Houla Massacre) seolah menggiring rezim Bashar Assad ke ujung tanduk. Melalui mesin-mesin propagandanya, Barat menggiring opini publik untuk menghujat rezim Assad. Assad digambarkan sebagai pemimpin brutal yang tega membunuhi rakyatnya sendiri, bahkan termasuk wanita dan anak-anak. Menyusul kejadian di Hawla, Barat pun segera menarik dubes-dubes mereka dari Turki. Tapi ini tidak aneh. Toh kejadian serupa sudah terjadi berkali-kali. Masih belum hilang dari ingatan betapa negara-negara Barat melemparkan berbagai tuduhan secara masif terhadap Irak, Afghan, Iran, atau Libya. Kecuali di Iran, tujuan Barat tercapai dengan tumbangnya Saddam,  rezim Taliban, dan Qaddafi.

Namun, situasi terasa ‘aneh’ khusus untuk Syria karena dua front yang semula seolah bertentangan, kini justru bergandengan tangan: Israel dan Barat yang anti-Islam fundamentalis dengan kelompok-kelompok Islam puritan, yaitu rezim monarkhi Arab Saudi, Qatar, kelompok-kelompok Al Qaida yang semula beroperasi di Libya, dan bahkan Ikhwanul Muslimin Mesir. Mereka kini berada di front yang sama melawan satu front lain yang selama ini dipuji-puji Barat, yaitu front Islam sekuler. Tujuan mereka serupa: menggulingkan Assad.

Indikasi nyata dari keberpihakan IM Mesir kepada front AS-Israel adalah ketika jubir IM, Mahmoud Ghozlan, menyuarakan seruan yang persis sama dengan Israel, AS, dan Inggris: kirim pasukan internasional ke Syria! Orkestra seruan pengiriman humanitarian intervention ke Syria kini telah menggema ke seluruh dunia, merasuk hingga ke facebook dan blog, menggalang petisi masyarakat internasional.

Jika ditelusuri lebih jauh, pernyataan IM itu tidak muncul tiba-tiba saja. Sejak jauh-jauh hari, IM memang terlibat dalam membiayai dan mendukung tentara oposisi Syria (Free Syrian Army) yang berbasis di Turki, bersama-sama dengan Arab Saudi dan Qatar (Reuters, 6/5/12). Keterlibatan IM pun dimediasi oleh tokoh Arab lainnya, yaitu faksi Hariri di Lebanon (yang selama ini memang anti-Syria). Seymour Hersh menulis, Walid Jumblatt, tokoh dari faksi Hariri, pada tahun 2007 bertemu dengan Wapres AS saat itu, Cheney, di Washington. Jumblatt menyarankan kepada Cheney bahwa jika AS ingin menguasai Syria, yang perlu diajak bekerja sama untuk itu adalah Ikhwanul Muslimin. Dalam artikelnya itu Hersh memaparkan lebih lanjut bahwa skenario AS, Saudi, Qatar, dengan memanfaatkan IM, untuk membentuk kelompok oposisi di Syria (termasuk membiayai dan mempersenjatainya, dan mengirim pasukan bantuan) sudah dimulai sejak 2007. Hersh adalah jurnalis yang sering berhasil mengorek informasi dari dalam Gedung Putih. Dia pula yang dulu membongkar operasi rahasia Gedung Putih untuk menggulingkan rezim Teheran dengan menggelontorkan dana sebesar 400 juta dollar.

Debkafile (14/82011) juga melaporkan bahwa NATO  tengah merekrut ribuan sukarelawan muslim dari negara-negara Timur Tengah untuk ikut bertempur bersama pemberontak Syria. Turki akan menjadi tuan rumah dari para ‘pejuang’ ini, melatihnya, dan menyusupkannya ke Syria.

Kembali ke tragedi Hawla, mungkin banyak pihak masih ‘tertipu’oleh propaganda yang menuduh rezim Assad pelakunya. Untuk menganalisis sebuah peristiwa, kita tidak bisa berhenti pada fakta yang disodorkan oleh media. Apalagi media mainstream yang dimiliki oleh orang-orang Zionis, dan sudah terbukti berkali-kali melakukan kebohongan demi menggolkan agenda AS, Israel,  dan sekutunya. Contoh nyatanya, betapa dulu media mainstream dengan gencar menyebarluaskan informasi bahwa di Irak ada senjata pembunuh massal. Opini dunia digiring untuk menyetujui serangan AS ke Irak. Bertahun-tahun kemudian akhirnya terbukti bahwa semua itu bohong belaka, tidak ada senjata pembunuh massal yang dituduhkan itu.

Ketika dipusingkan oleh berita simpang siur, kita sebenarnya punya alat untuk mendeteksi mana berita yang benar, mana berita yang bohong, yaitu: akal dan logika. Gunakan akal dan logika untuk menelusuri berbagai motif pihak-pihak yang bertikai, dan kesimpulan bisa diambil dengan mudah. Motif sangat penting untuk menemukan siapa pelaku pembunuhan.

Jadi mari kita cari motifnya. Siapapun pelaku pembantaian Hawla, apa motifnya? Siapa yang diuntungkan?

  1. Kalau benar Assad adalah pembunuh sadis yang tega membunuhi rakyat sendiri, tentulah yang dibunuhnya adalah orang-orang yang anti dengan pemerintahannya. Kasus serupa terjadi di Irak, dulu Saddam Husein tega membunuh penduduk Syiah di kota Dujail tahun 1982, yang dicurigai Saddam hendak berusaha melakukan kudeta. Tapi, anehnya, korban tragedi Hawla adalah orang-orang Alawi (salah satu sekte Syiah) yang justru pro-Assad. Buat apa Assad melakukan hal itu? Dari sisi ini, sulit dicari motif Assad untuk melakukan pembantaian Hawla, kecuali bila kita mau menerima asumsi bahwa Assad adalah pemimpin yang gila.
  2. Hanya sehari sebelum tragedi Hawla, justru Sekjen PBB menyurati DK PBB, menginformasikan bahwa aksi-aksi teror yang melanda Syria dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris yang mapan, dengan indikasi bahwa bom-bom yang digunakan sangat canggih.  Ketika Sekjen PBB sudah ‘berpihak’ padanya, buat apa Assad melakukan aksi yang semakin memperburuk citranya?
  3. Korban di Hawla dibunuh dengan cara-cara non-militer: ditusuk, digorok, ditembak dari jarak dekat. Ini cara-cara khas pembunuhan yang dilakukan oleh teroris Al Qaida di Afghanistan (contoh, kejadian pembunuhan massal di desa Mazhar Sharif yang Syiah). Bila benar militer Syria yang melakukan, tentulah ‘gaya’ pembunuhannya tidak demikian. Inilah yang dikatakan oleh Jubri Menlu Syria, “This is not the hallmark of the heroic Syrian army.” Lagi-lagi perlu dicatat,  Syria adalah sebuah negara sekuler, dan selama ini berhubungan dekat dengan Barat; dan militernya dilatih dengan gaya militer Barat, bukan ala teroris gurun pasir seperti kelompok Al Qaida.
  4. Selama ini Barat menentang rezim-rezim yang dianggapnya fundamentalis dan mendukung rezim-rezim sekuler. Misalnya, Barat menentang Iran dan Hezbollah Lebanon. Dengan alasan bahwa Taliban adalah fundamentalis yang keji, rezim Taliban ditumbangkan dan orang-orang Al Qaida dikejar-kejar dengan operasi militer tingkat tinggi selama lebih dari 10 tahun. Lalu, mengapa kini rezim Assad yang jelas-jelas sekuler juga dianggap perlu digulingkan?

Rezim Assad didukung oleh Partai Ba’ath yang didirikan tahun 1910 di Damascus oleh tokoh Kristen, Michel Alfaq.  Assad memang seorang Alawi, namun bila dilihat dari gaya hidupnya, itu hanya ‘mazhab turunan’ semata. Pandangan hidup dan politik Assad sebenarnya sejalan dengan konsep Barat soal sekularisme. Seharusnya, Assad didukung oleh Barat. Namun, karena Assad berkeras tidak mau berdamai dengan Israel, seorang sekuler macam Assad pun disamakan dengan fundamentalis. Isu Sunni-Syiah, tiba-tiba mengemuka di negeri Arab yang sekuler ini.

Karena itu, dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa bukan agama dan mazhab yang jadi poin bagi AS. AS tidak peduli siapa yang memerintah, mau fundamentalis, mau sekuler, yang penting mau tunduk kepada kemauan AS. Dan yang bodoh tentu saja rezim-rezim dan organisasi-organisasi Islam yang mau dibiayai Barat untuk maju ke medan perang, membunuhi saudara-saudara sesama muslim dengan menggunakan sentimen mazhab.

Kembali pada motif. Kita tidak bisa menemukan motif yang meyakinkan, jika Assad pelaku pembantaian Hawla. Tapi, motif itu dengan mudah kita temukan, jika pelakunya adalah tentara pemberontak Syria (yang sebagiannya bukan orang Syria, tetapi pasukan impor, seperti sudah saya singgung di atas) dengan backing AS-Israel. Motif pemberontak Syria dengan melihat indikasi kekejaman cara-cara pembunuhan yang dilakukan, adalah sentimen mazhab (kebencian Wahabi kepada Syiah) yang sebenarnya juga hasil rekayasa AS-Israel. Juga, jelas, mereka menginginkan kekuasaan jika Assad terguling.

Sementara motif AS-Israel lebih jelas lagi. Mengapa mereka begitu ingin ‘membela’ rakyat Syria yang konon diperintah secara diktator oleh Assad, tapi mengabaikan penderitaan bangsa Palestina yang selama 64 tahun dijajah dan ditindas Israel? Pastinya, mereka bukan membela rakyat Syria. Mereka ingin menguasai negeri-negeri kaya minyak, sehingga rezim-rezim ‘pembangkang’ harus disingkirkan. Motif Barat dalam mendukung aksi pembunuhan massal di Hawla, jelas Prof. Chossudovsky dalam analisisnya di Global Research, adalah demi menggalang dukungan internasional untuk pengiriman pasukan perang ke Syria (di bawah bendera ‘humanitarian intervention’).

Dan setelah Syria ditaklukkan, menurut Ali Wasif dari the Society for International Reforms and Research, modus konflik serupa akan kembali dilancarkan AS dan sekutunya di kawasan lain di Timur Tengah. Hal senada juga dikemukakan Dr. Kiyul Chung dari the 4th Media (Beijing). Menurutnya, bila Syria jatuh, konflik akan menyebar ke berbagai negara, tidak hanya di Timur Tengah dan Afrika. Dr. Chung menulis, “Para gangster abad 21 ini tidak akan berhenti setelah Libya, Syria, dan Iran. Mereka akan mencari target-target lainnya, terutama kawasan kaya minyak.”

Tak heran bila analis politik Tony Cartalucci memperingatkan dunia Arab agar tidak tertipu frasa ‘musuhnya musuh adalah teman kita’, karena ‘musuh’ yang ada adalah hasil pengkondisian dari para arsitek perang (AS dan sekutunya). Menurut Cartalucci, Sunni dan Syiah, bahkan seluruh umat manusia dari berbagai agama dan ras, sesungguhnya memiliki satu musuh yang sama, yaitu imperialisme Anglo-Amerika (Barat). Barat-lah yang selama berabad-abad telah melakukan kejahatan yang sama: memecah-belah, mengadu-domba antara etnis, agama, dan mazhab, lalu menghancurkan dan menaklukkan bangsa-bangsa di dunia.

Dan kita, bangsa Indonesia, perlu mengambil pelajaran dari sini. Imperialisme Anglo-America yang saat ini tengah mengobok-obok Syria dan dunia Arab, juga memandangIndonesia sebagai salah satu target untuk dipecah-pecah menjadi negara-negara kecil agar kekayaan alamnya semakin mudah dieksploitasi. Bangsa ini perlu melatih kecerdasan berpikir. Kemampuan melihat mana yang kawan, mana lawan; mana propaganda jahat, mana berita jujur, sangat menentukan nasib kita di masa yang akan datang.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com