Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate di Global Future Institute (GFI)
Sebelum membahas motif utama serangan Barat, sebaiknya di-breakdown dahulu dua faktor penyebab sebagaimana disinggung pada awal tulisan ini, kenapa Suriah dijadikan proxy war oleh para adidaya guna mempertaruhkan kepentingan nasional masing-masing.
Suriah: “Titik Simpul”-nya Jalur Sutera
Istilah Jalur Sutera atau roadsilk pertama diperkenalkan oleh Ferdinand Von Richthofen, Geografer asal Jerman sekitar abad ke-19. Nama jalur tersebut dipilih karena merujuk pada komoditas unggulan yang diperdagangkan kala itu yaitu kain sutera Cina. Inilah jalur melegenda sejak abad ke-2 meskipun kini telah banyak “dilupakan” para ahli strategi dunia. Tak bisa dielak, ia adalah rute (perdagangan) barang dan jasa, jalur ekonomi, kebudayaan, sekaligus sebagai jalur militer global.
Jalur Sutera membentang sepanjang 7000-an km dari perbatasan Cina/Rusia – Asia Tengah – Timur Tengah – kemudian ke Eropa dan ke Afrika Utara hingga Maroko (lebih lengkap baca: Catatan Kecil tentang Jalur Sutera, www.theglobal-review.com). Salah satu keunikan Silk Road ialah (membelah) di antara Dunia Barat dan Dunia Timur. Selain sebagai jalur ekonomi, budaya dan jalur militer lintas negara bahkan benua —– bahwa hampir semua negara di sepanjang jalur ini memiliki limpahan potensi kekayaan dan penghasil gas, minyak dan banyak jenis tambang lainnya. Inilah “jalur basah” yang menggiurkan kaum kapitalis dunia.
Terkait geografi Suriah yang merupakan titik simpul Jalur Sutera, dalam perspektif geopolitik disebut geopolitical leverage. Ini seperti “Selat Hormuz”-nya Iran, atau Singaparu dengan “Selat Malaka”-nya, ataupun “Terusan Suez”-nya Mesir, dan lain-lain. Jika Indonesia berkehendak sebenarnya memiliki banyak geopolitical leverage pada selat-selat dan alur perairan yang sering dilintasi kapal-kapal asing, tetapi sayangnya tak diberdayakan oleh pemerintah. Bahkan konon 80% devisa Australia sangat tergantung dari perairan Indonesia. Jujur saja, republik ini mempunyai geopolitic leverage karena letaknya di antara dua benua dan dua samudra, bahkan bila suatu ketika menggeliat dapat ditingkatkan “peran”-nya menjadi geopolitical weapon (senjata geopolitik), semacam gas weapon Rusia terhadap negara di sekitarnya. Contoh riilnya bahwa 100% gas Eropa Timur bergantung pada Rusia. Boleh dibayangkan bila Beruang Merah menutup jalur pipa ke Eropa. Bisa beku mendadak. Itulah kedahsyatan gas weapon!
Semisal ditutup Selat Lombok, atau alur perairan lainnya di Indonesia bagi pelayaran asing dengan alasan kepentingan nasional RI terancam, kemungkinan bisa “terkencing-kencing” Aussie dan banyak negara dunia yang tergantung atas perairan dan selat-selat Indonesia. Itu gambaran kasar. Sekedar ingin memperlihatkan betapa dahsyat geopolitic leverage yang dimiliki Indonesia bila diberdayakan secara maksimal. Maka siapapun rezim republik ini bila ia menerapkan hal sama —sebagaimana model fee yang dikenakan atas pipanisasi Suriah— bagi kapal-kapal asing yang melintas perairan Indonesia, per kontainer/sekian nominal dan harus dibayar memakai rupiah, kemungkinan selain besarnya kontribusi untuk cadangan devisa dan APBN dari sektor fee, juga rupiah tak bakalan melemah karena dicari oleh banyak negara.
Kembali ke Suriah. Sejalan dengan anekdot tua yang hampir dilupakan banyak pakar geopolitik: ‘barang siapa menguasai Jalur Sutera, maka menjadi kunci percaturan dunia, barang siapa menguasai titik simpulnya maka identik menguasai separuhnya!’. Barangkali inilah satu faktor penyebab mengapa Syria diperebutkan para adidaya dunia. Mari kita lihat faktor lainnya.
Geopolitik Jalur Pipa
Berikutnya membahas geopolitic of pipeline, atau saluran (jalur) pipa di Suriah. Sebagai “titik simpul” di Jalur Sutera, sudah tentu pipanisasi minyak dan gas baik dari dan menuju Suriah sendiri, atau pipanisasi yang bersifat lintas negara bahkan antar benua itu ada, nyata dan berada. Tak bisa tidak. Isyarat Dirgo D. Purbo, mentor KENARI, ada fee untuk jasa pipanisasi sebesar 5 USD/per barel. Semacam ‘uang jaga’, atau istilah vulgarnya ‘jatah preman’. Pertanyaannya: berapa juta barel minyak dan gas/per hari dari negara-negara yang melalui pipa-pipa Syria?
Keterangan Dirgo, pakar perminyakan Indonesia, ternyata fee sebesar 5 USD/per barel tidak dinikmati oleh Suriah sendiri karena outlet pipanisasi yang mengalir ke Afrika Utara ada di Israel, demikian pula outlet jalur pipa yang ke Eropa berada di Ceyhan, Turki. Artinya ada sharing ketiganya bahkan lebih. Berapa prosentase setiap outlet dan berapa Syria, Dirgo tidak menjelaskan lebih lanjut. Tidak ada data yang pasti memang, hanya circumstance evidence sebagaimana beberapa analis cermati jika melihat “nasib” Assad hendak disamakan dengan Taliban yang disingkirkan karena menuntut terlalu banyak atas pipanisasi Unocal di Afghanistan. Agaknya di bawah rezim Assad, Suriah dinilai sebagai negara yang tidak mau didekte terkait pipeline. Dan prinsip dasar penilaian geopolitik (Barat), apabila tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya (dan sekutu) maka pemerintah dimaksud mutlak wajib diubah, harus diganti, dikudeta, dan lain-lain.
Paman Sam, Turki, Israel dan sekutu menginginkan terjaminnya aliran gas melalui Suriah dan tidak menginginkan Assad menghalangi jalur pipa tersebut, ataupun menuntut keuntungan yang terlalu besar. Secara kronologis, sebenarnya tak sulit membaca serta memetakan peperangan di Suriah yang terjadi dekade 2011-an, sebab konflik meletus hampir bersamaan dengan penandatanganan nota di Bushehr, Iran, pada 25 Juni 2011 perihal pembangunan pipa gas baru antara Iran-Irak-Syria.
Pipanisasi lintas negara tersebut membentang 1.500 km dari Asaluyeh, lapangan gas terbesar di dunia milik Iran; kemudian dari Pars Selatan, Iran —terletak antara Qatar dan Iran— ke Damaskus. Panjang pipa di wilayah Iran 225 km, 500 km di Irak, dan Syria sekitar 500-700 km. Kemudian masih bisa diperpanjang melalui dasar Laut Mediterania ke Yunani. Investasi proyek ini sebesar 10 miliar USD serta mulai beroperasi pada 2014-2016.
Luar biasa. Kapasitas yang diproyeksikan adalah 110 juta meter kubik gas/per hari (sekitar 40 miliar meter kubik/per tahun). Irak, Suriah dan Libanon telah menyatakan kebutuhan pada gas Iran dengan rincian 25-30 juta meter kubik/hari bagi Irak, 20-25 juta meter kubik untuk Syria, dan 5-7 juta meter kubik hingga 2020 untuk Libanon. Sebagian pasokan gas akan dialirkan melalui sistem transportasi gas Arab ke Yordania.
Dan kesepakatan untuk menyalurkan minyak dari ladang minyak di Kirkuk, Irak, ke pelabuhan Banias di Suriah juga telah disetujui. Adanya sinyalir bahwa Turki dan Israel akan didepak dari persaingan pipeline ini, membuat kedua negara sepakat untuk berada ‘dibelakang’ para pemberontak atau oposisi anti Assad. Tapi di satu sisi, industri gas Rusia akan terancam jika rezim Suriah terguling, sedang di sisi lain, Qatar dan Arab Saudi akan diuntungkan dalam persaingan pasar gas jika Bashar al Assad berhasil digulingkan. Inilah peristiwa yang sudah, tengah dan bakal terjadi. Secara geopolitik, tidak heran bila Israel, Qatar, Rusia, dan lain-lain melibatkan diri dalam lingkaran konflik baik mendukung rezim Suriah atau dibelakang oposisi anti-Assad.
Jalur pipa gas dari Iran tersebut sesungguhnya menguntungkan Suriah. Eropa pun akan memperoleh keuntungan juga, tetapi tampaknya Barat tidak menyukai. Sekutu-sekutu pemasok gas Barat di Teluk Persia juga tidak senang, terutama Turki tidak akan menjadi pemasok gas nomor satu karena akan keluar dari permainan jalur pipa ini.
Tampaknya jelas —walau sekilas— mengapa Suriah dijadikan proxy war oleh para adidaya terutama adidaya Barat dan Timur dikarenakan dua faktor penyebab yakni “geopolitic pipeline and geostrategy position”-nya di Jalur Sutera, jadi bukan peperangan akibat kuatnya isue sektarian, konflik agama, atau bentrok antar mazhab dalam agama, dan lain-lain, itu hanya modus false flag yang dimainkan Barat guna menutup hidden agenda sebagai tujuan pokok.
Pertanyaannya kini: apa sesungguhnya motif utama (rencana) serangan militer Barat ke Suriah?
BERSAMBUNG BAG-3