Rusman, Pengiat Lingkungan Hidup
Konferensi Kelautan Dunia atau World Ocean Conference (WOC) yang berlangsung di Manado, Sulawesi Utara 11-15 Mei 2009 memunculkan berbagai politik kepentingan bagi segelintir negara maju.
Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki kepentingan amat strategis untuk memanfaatkan momentum WOC guna mengkritisi aturan maupun kesepakatan yang berkedok konservasi atau isu perubahan iklim yang dapat merugikan nelayan dan kepentingan ekonomi nasional.
Menurut Mufid A. Busyairi, Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Kebangkitan Bangsa berpendapat bahwa hegemoni negara maju dalam kesepakatan internasional di bidang kelautan/perikanan harus diakhiri. Menurutnya, AS dan Uni Eropa berkepentingan atas forum WOC ini (Koran Tempo, Rabu, 13 Mei 2009).
Analisanya didasarkan karena kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) mencakup Indonesia, Papua Nugini, Filipina, Timor Leste, Malaysia, Solomon, dan Australia memiliki peran yang sangat penting karena kawasan ini diperkirakan mampu mengatasi masalah perubahan iklim global dan menyerap karbon cukup besar. Namun, Indonesia memiliki banyak keunggulan dibandingkan negara-negara tersebut.
Kawasan Indonesia baik di lepas pantai maupun daratan kepulauannya memiliki sumber daya minyak dan gas yang melimpah. Dan sejumlah perusahaan pertambangan multinasional negara tersebut, seperti AS beroperasi di kawasan Coral Triangle Initiative (CTI). Dan mirisnya, perusahaan-perusahaan tersebut diindikasi membuang limbahnya ke laut.
Berdasarkan catatan Jatam (2009), buangan limbah (tailing) tambang emas PT Newmont dan PT Freeport mencapai 340 ribu ton perhari. Bila ini memang benar terjadi, sungguh luar biasa tingkat pencemaran terhadap ekosistem kelautan di Indonesia. Buangan limbah dapat mematikan terumbu karang, populasi ikan, biota laut serta dapat merusak ekosistem pantai.
Segyogya, perhelatan yang diikuti delegasi lebih dari 70 negara ini dijadikan moment bagi Indonesia untuk mendorong kesepakatan dengan negara maju yang memiliki perusahaan pertambangan untuk menghentikan pembuangan limbah di laut.
AS dan Uni Eropa Penyumbang Emisi Karbon
Sumbangan terbesar emisi karbon dihasilkan oleh aktifitas industri dan transportasi. Negara maju seperti AS dan Uni Eropa merupakan negara yang memiliki tingkat aktifitas industri dan transportasi yang cukup tinggi, sehingga terindikasi menghasilkan emisi karbon yang cukup besar.
Cermati saja, keberhasilan negara-negara maju mencapai kemakmuran seperti sekarang ini tidak terlepas dari pemakaian energi secara boros dan berlebihan. Data menyebutkan penduduk AS, Kanada, dan Eropa yang hanya 20,1 persen dari totol wargadunia mengkonsumsi 59,1 persen energi dunia. Sementara warga Afrika dan Amerika Latin yang jumlahnya 21,4 persen dari populasi dunia hanya mengkonsumsi 10,3 persen.
Persoalannya, mampukah forum ini menuntut pertanggungjawaban negara maju tersebut menurunkan emisi karbonnya dengan mematuhi Protokol Kyoto. Bukan sebaliknya, meminta negara berkembang memperluas kawasan konservasi dengan alasan perubahan iklim.
Menurut catatan, di Kawasan CTI akan ditetapkan kawasan konservasi laut sampai seluas 10 juta hektare pada 2010. Saat ini baru mencapai kurang lebih 5 juta hektare atau baru sekitar 54 persen. Dari luasan itu, Indonesia mencakup kurang lebih sekitar 4 juta hektare atau sekitar 89 persen.
Berdasarkan cacatan itu, bisa dipastikan intervensi Internasional akan semakin kuat terhadap aktifitas kelautan kita. Tentu saja ini perlu dikritisi. Apakah ini dapat menguntungkan bagi Indonesia?
Pasalnya bila kawasan CTI ini diterapkan sebagai kawasan konservasi, dapat dipastikan adanya aturan internasional yang melarang penangkapan ikan di kawasan ini, termasuk para nelayan Indonesia sendiri. Sementara kekayaan ikan tuna dikawasan ini cukup menjanjikan, karena daerah CTI merupakan tempat bertelur bagi tuna sirip kuning (yellow-fin tuna).
Bila aturan ini disepakati, lantas bagaimana dengan nasib para nelayan yang biasa menangkap ikan di kawasan ini?