Mendukung Gerakan Separatis Papua, Indonesia dan ASEAN Harus Menolak Permintaan Inggris Sebagai Mitra Dialog ASEAN

Bagikan artikel ini

Setelah keluar dari keanggotaan Uni Eropa, nampaknya Inggris sangat berkeinginan untuk memperoleh status sebagai mitra dialog ASEAN seperti halnya Amerika Serikat, Cina, Rusia dan India. Ketika beberapa waktu lalu ASEAN menolak keanggotaan Brazil dan Afrika Selatan sebagai mitra dialog ASEAN, tentunya akan dirasa tidak adil jika ASEAN tiba-tiba menerima permintaan Inggris sebagai ASEAN Dialog Partner.

Sebuah artikel yang ditulis yang oleh Kavi Chongkittavorn di harian the Bangkok Post sekitar setahun yang lalu, para pejabat senior ASEAN masih mempertimbangkan permohonan Inggris sebagai ASEAN Dialog Partner, namun hingga kini masih belum tercapai konsensus di antara negara-negara ASEAN apakah meluluskan atau menolak permohonan Inggris tersebut.

Baca: New dynamics of Asean’s external ties

Menurut saya ini memang isu yang sangat sensitif dan bisa membawa konsekwensi perpecahan di internal ASEAN. Betapa tidak. Di dalam tubuh keanggotaan ASEAN setidaknya ada beberapa negara eks jajahan Inggris, dan hingga kini masih terikat pada Inggris melalui Common Wealth. Seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Selain itu, Filipian sebagai eks jajahan Amerika Serikat, maka AS dan Inggris punya pancangan kaki yang kokoh dalam menanamkan pengaruhnya di ASEAN.

Maka ketika ASEAN menyetujui permintaan Inggris untuk jadi mitra dialog ASEAN, maka besar kemungkinan persaingan global AS versus Cina akan semakin menajam di Asia Tenggara. Sehingga seperti analisis wartawan senior Thailand Kavi, bisa membuka Pandora Box dan menimbulkan konsekwensi-konsekwensi yang tidak bisa kita prediksi sebelumnya.

Sekadar informasi. Dalam periode 1995-1999, ASEAN yang semula beranggotakan lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Lalu bertambah empat negara lagi bergabung yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Vietnam dan Laos.

Adapun dua negara pertama yang mendapat status mitra dialog ASEAN adalah Australia dan Selandia Baru, masing-masing pada 1974 dan 1975. Pada 1977-1996 mitra dialog ASEAN semakin bertambah dengan bergabungnya delapan negara yaitu Cina, Jepang, Korea Selatan, Kanada, Rusia, India, Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Gagasan dasar penambahan jumlah mitra dialog ASEAN adalah untuk memperluas lingkup aktor-aktor global yang bermain sehingga tercipta keseimbangan strategis di kawasan Asia Tenggara.

Dalam konstelasi persaingan global antara AS versus Cina yang semakin menajam di Asia Tenggara, posisi dan keberadaan ASEAN memang punya nilai strategis. Apalagi dengan keberhasilan ASEAN memediasi konflik di Kamboja pada akhir 1990an, maka ASEAN sebagai entitas politik semakin diperhitungkan di dunia internasional. Sehingga banyak negara maju yang ingin bermitra dengan ASEAN.

Dengan total penduduk seluruh negara yang tergabung dalam ASEAN sebesar 670 juta pada Agustus 2020 lalu, lebih besar 222 juta dibandingkan total jumlah Uni Eropa yang hanya 448 juta,  jelas semakin meningkatkan bobot ASEAN sebagai kekuatan regional di Asia Tenggara. Keberhasilan ASEAN sebagai juru damai, semakin menguatkan citra ASEAN sebagai zona damai, bebas, dan netral (ZOPFAN).

Satu dekade setelah ASEAN berdiri pada akhir 1970an, ASEAN merasa perlu menjalin hubungan dengan mitra-mitra asing untuk meningkatkan kemajuan ekonominya, akses pasar dan teknologi, serta bantuan-bantuan untuk pembangunan. Gagasan inilah yang menandai terbentuknya pengelompokan bernama ASEAN Plus One Meeting.

Dalam situasi yang demikian, ASEAN tak diragukan lagi akan menjadi arena perebutan pengaruh (sphere of influce) di antara negara-negara adikuasa baik AS dan sekutu-sekutunya dari Blok Barat, termasuk Inggris, versus Cina dan Rusia. Maka ketika ASEAN menerima status Inggris sebagai Mitra Dialog, maka pada perkembangannya akan menurunkan reputasi dan kredibilitas ASEAN sebagai entitas politik yang independen dan bebas dari tarik-menarik pengaruh kekuatan-kekuatan negara-negara adikuasa di kawasan Asia Tenggara.

Khusus bagi Indonesia sendiri, Inggris punya catatan yang buruk dan tidak menggembirakan. Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sekarang secara gencar mengembangkan manuver internasionalnya lewat Free West Papua Campaign, kiranya perlu dicermati secara intensif dan penuh kewaspadaan. Betapa tidak. Pada 28 April 2013 lalu, kantor perwakilan OPM di Oxford, Inggris secara resmi dibuka. Tak pelak lagi, hal ini mengindikasikan semakin kuatnya tren ke arah internasionalisasi isu Papua tidak saja di Amerika Serikat, melainkan juga di Inggris, Australia dan Belanda.

Campurtangan Inggris dalam mendukung gerakan separatisme Papua Merdeka nampak jelas ketika dalam pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris, dihadiri oleh Walikota Oxford Mohammaed Niaz Abbasi, anggota Parlemen Inggris,Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin. Bagaimanapun juga hal ini secara terang-benderang menggambarkan adanya dukungan nyata dari berbagai elemen strategis Inggris baik di pemerintahan, parlemen dan tentu saja Lembaga Swadaya Masyarakat.

Mari kita simak pernyataan anggota parlemen Andrew Smith, dalam acara pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris tersebut. “Kami akan bekerja sama dengan orang-orang di kantor baru kami di Port Moresby, PNG pada strategi menuju tujuan penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat.”

Baca: Amerika-Inggris-Australia-Belanda, Mata-Rantai Gerakan Internasionalisasi Untuk Papua Merdeka

 Pernyataan Andrew Smith harus dibaca sebagai isyarat bahwa gerakan internasionalisasi Papua sedang gencar dilakukan baik di lini pemerintahan maupun  parlemen di Amerika, Inggris, Australia dan Belanda. Penekanan Andrew Smith terkait upaya melibatkan PNG, harus dibaca sebagai bagian integral dari aliansi strategis Amerika Serikat-Inggris-Australia untuk meng-internasionalisasi isu Papua, sebagai langkah awal menuju kemerdekaan Papua, lepas dari Indonesia.

Maka itu, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya secara tegas harus menolak status keanggotaan Inggris sebagai mitra dialog ASEAN, dengan dasar-dasar pertimbangan sebagai berikut:

  1. Mengingat sepak-terjang Inggris di masa lalu yang terlalu banyak campurtangan dalam urusan dalam negeri negara-negara ASEAN, maka Inggris tidak memenuhi kriteria dan persyaratan yang layak untuk diberi status mitra dialog ASEAN.
  2. Dalam kasus gerakan separatisme Papua yang terjadi di Indonesia, Inggris secara tidak resmi telah mendukung berbagai organisasi dan organisasi Papua yang berkeinginan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut merupakan isu yang sangat sensitive bagi Indonesia, karena London secara terang-terangan telah memberikan perlindungan(Political Asylum) kepada Benny Wenda, salah seorang pemimpin dari Free Papua Movement.
  3. Tidak ada kemanfaatannya sama sekali bagi ASEAN untuk menetapkan status Inggris sebagai mitra dialog ASEAN.
  4. Sulitnya mencapai kesepakatan yang prinsipil di kalangan para pemimpin ASEAN terkait status Inggris sebagai mitra dialog, semakin sulit dengan perkembangan yang terjadi belakagan ini di Myanmar.

 Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com