Terkait Jabal al Nusra dan ISIS, AS Bermain Dua Kaki di Suriah dan Irak

Bagikan artikel ini

Seperti saya singgung bagian pertama artikel di laman ini, hubungan intim antara AS dan Arab Saudi sudah dirintis oleh Inggris melalui Perdana Menteri Winston Churchill pada decade 1950an, ketika politisi legendaris Inggris tersebut mempertemukan Raja Abdul Azis ibnu Saud kepada Presiden AS. Saat itu Perang Dingin antara AS-Inggris versus Uni Soviet (Rusia) sudah mulai memanas dan menajam. Maka Arab Saudi dibutuhkan Inggris dan AS untuk menghadapi persekutuan negara-negara Arab yang berbais Arab Nasionalisme yang dimotori oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser.

Baca juga:

US military allegedly promoting ISIS in Afghanistan

Persekutuan antara Inggris, AS dan Arab Saudi untuk mengimbangi pengaruh kekuatan persekutuan Arab Nasionalisme Mesir-Libya-Suriah, membawa konsekwensi semakin menguatnya pengaruh mahzab Islam Wahabi/Salafi yang merupakan landasan teologis Kerajaan Arab Saudi. Padahal watak Wahabisme/Salafi ini selain berhaluan keras, melainkan juga ekstrem. Berbagai kelompok Islam yang berbasis ajaran Islam Suni Wahabi/Salafi yang tersebar di pelbagai, didanai oleh Arab Saudi dan Qatar.

Ketika pemberontakan untuk menggulingkan Bashar al Assad meletus  di Suriah pada 2011, kaitan antara Arab Saudi dan Qatar dalam membantu milisi-milisi sipil bersenjata, semakin terang-benderang.

Setidaknya dua kelompok ekstrem Islam, Jabal al Nusra dan ISIS, sejak 2013 lalu mendapat bantuan senjata dan pelatihan militer oleh tentara AS. Milisi-milisi bersenjata binaan AS yang tergabung dalam Free Syrian Army itu bekerjasama menghadapi tentara Suriah yang setia pada Bashar al Assad karena punya kesamaan ideologis yaitu sama-sama berhaluan Wahabisme/Salafi.

Seperti ditulis oleh Prof Tim Anderson dalam artikelnya di Global Research, salah satu komandan ISIS yang beroprasi di pangkalan angkatan udara Menagh, Chechen Abu Omar al Shisani, mendapat bantuan pelatihan militer sebagai bagian dari elite Georgian Army Unit pada 2006. Setelah itu tetap mendapat bantuan militer pada 2013 dalam skema persekutuan para milisi pemberontakan terhadap Bashar al Assad yang tergabung dalam Free Syrian Army.

Ketika jaringan yang tergabung dalam Free Syrian Army mulai menurun, maka kerjasama yang diperbarui antara Jabal al Nusra dan beberapa kelompok milisi lainnya yang didukung AS dan Arab Saudi, maka Jabal al Nusra mendapat bantuan militer dari Israel di sepanjang wilayah Dataran Tinggi Golan. Sejak 2013 sudah berkembang informasi dan laporan bahwa ada beberapa milisi bersenjata yang memberontak terhadap Bashar al Assad, dilatih oleh Israel. Hal ini semakin memperkuat dugaan sebelumnya bahwa Israel secara rahasia mendukung beberapa milisi bersenjata untuk menggulingkan Bashar al Assad. Bahkan beberapa kali Israel sempat membantu menembakkan rudal-rudalnya ke arah Suriah.

The Dirty War on Syria: Washington Supports the Islamic State (ISIS)

Pasukan Penjaga Perdamaian (Peace Keepong Force) yang berada di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, melaporkan pengamatannya bahwa pasukan Israel (IDF) sempat berinteraksi dengan beberapa pasukan milisi dari Jabal al Nusra di daerah perbatasan. Indikasi ini semakin mengundang dugaan kuat adanya bantuan Israel sebagai sekutu AS terhadap ISIS dan Jabal al Nusra.

Al-Nusra Front - Wikipedia

Apalagi kemudian beberapa personil milisi pemberontak Suriah yang seperti brigade Al Yarmouk Shuhada yang pernah dilatih tentara AS selama dua tahun, kemudian bergabung dengan ISIS yang waktu itu sudah mulai membangun kekuatannya di Suriah bagian Selatan.

Bahkan menurut Debka File, sebuah laman yang ada tautannya dengan intelijen Israel, beberapa senjata berat telah diberikan kepada kelompok-kelompok perlawanan bersenjata Suriah terhadap Presiden Bashar al Assad oleh AS, Arab Saudi, Qatar, Yordania, Israel dan Turki. Seperti mobil lapis baja, tank, peluncur roket, senjata antipesawat udara, dan senapan anti-tank. Laporan tersebut mengindikasikan bahwa ada operasi untuk mempersenjatai ISIS dengan peralatan-peralatan militer dengan kualitas yang terbaik. Analisis ini sejalan juga dengan Senator AS  John Kiriakou.

Syrien Bombenangriff in Aleppo

Informasi lain yang tak kalah penting, seorang jihadis dari Afghanistan Abdul Rahim Muslim Dost telah merekrut para mujahidin dari Pakistan bagian Utara, untuk bergabung dengan ISIS. Tak lama berselang sejak laporan tersebut, seorang jihadis Suriah Yousaf al Salafi, berhasil ditangkap di Pakistan, dan mengaku telah disewa untuk merekrut anak-anak muda di Pakistan untuk berperang dalam barisan ISIS di Suriah.

Yousaf al Salafi dalam pengakuannya mengatakan telah mendapat 600 dolar AS untuk setiap orang yang berhasil dia rekrut. Jumlah uang yang jauh lebih besar dibanding gaji rata-rata personil tentara Suriah.

Seperti halnya Jabal al Nusra, para anggota milisi yang direkrut juga berasal dari berbagai negara. Seorang wartawan Kuba beberapa waktu lalu berhasil mewawancarai empat jihadis ISIS dari Turkmenistan dan Kyrgyzstan. Menurut pengakuannya, mereka direkrut dan kemudian secara bebas bisa melewati Turki lantas menyeberangi perbatasan, masuk ke Suriah.

ISIS memperoleh senjata dari AS melalui berbagai saluran di Irak dan Suriah pada akhir 2014. Menariknya lagi, antara beberapa milisi pemberontak Suriah dan ISIS telah membuat semacam Pakta Non-Agresi di  Hajar al-Aswad, sebelah selatan Suriah, bersepakat bahwa Bashar al Assad merupakan musuh bersama mereka.

Selain itu, dukungan angkatan udara AS kepada ISIS nampak semakin terbukti, dengan keterangan dari seorang anggota parlemen Irak Majid al-Ghraoui, yang mengatakan bahwa pada Januari 2015 angkatan udara AS telah mengirim senjata dan beberapa peralatan militer di al Dour, provinsi Salahuddin. Pihak AS mengakui pernah mengirimkan persenjataan dan peralatan-peralatan militer lainnya, namun mengatakan itu salah kirim.

Seorang anggota parlemen Irak lainnya, Hakem al-Zameli, mengatakan pasukan angkatan darat Irak telah menembak jatuh sebuah pesawat Inggris yang membawa persenjataan untuk ISIS di provinsi Al-Anbar. Menurut keterangan Hakem al-Zameli telah diketemukan senjata-senjata buatan AS, negara-negara Eropa, dan Israel, di beberapa daerah yang berhasil dibebaskan dari kekuasaan ISIS.

Serangkaian bukti-bukti yang menunjukkan adanya kaitan antara Washington dengan ISIS, secara substansial menjelaskan mengapa Wakil Menteri Luar Negeri Suriah   Faysal Mikdad menyebut AS sebarnya hanya melancarkan “perang kosmetik” terhadap ISIS yang digambarkan sebagai teroris. Meskipun ISIS dihalau dari daerah basis suku Kurdi di Irak Utara, namun diberi kebebasan beroperasi di Suriah bagian Timur, untuk menghadapi pasukan angkatan darat Suriah yang pro Bashar al Assad. Yang tujuan sesungguhnya tiada lain adalah membangun pancangan kaki buat Washington di wilayah Suriah, seraya melumpuhkan kekuatan Suriah dan Irak.

Begitulah. Kontradiksi dari posisi AS yang pada satu sisi mengklaim telah memerangi kelompok-kelompok teroris ISIS, namun pada saat yang sama malah secara rahasia mendukung dan melindungi ISIS sebagai instrument utama untuk menggulingkan Bashar al Assad. Namun dengan keputusan Rusia untuk membantu pasukan angkatan daarat pemerintahan Bashar al Asad lewat udara, telah mengedorkan gerak maju pasukan-pasukan milisi Suriah dukungan AS tersebut.

Kerjasama militer antara Rusia, Iran, Irak, Suriah dan Lebanon, berpotensi untuk menurunkan dominasi AS di Suriah dan daerah sekitarnya. Dalam serangan militer Irak ke Tikrit yang dikuasai ISIS. Iran tampil sebagai sekutu Irak yang utama, sehingga pengaruh Washington terpinggirkan. Kabarnya, komandon pasukan khusus Iran Al-Quds, memainkan peran penting dalam Operasi di Tikrit tersebut.

Berkurangnya dominasi AS semakin diperkuat seturut dengan pembentukan markas pusat operasi intelijen yang berbasid di Baghdad, yang mana Rusia dan beberapa negara lainnya seperti Suriah, Iran dan Irak puls Hezbollah, juga ikut berbagi informasi intelijen. Tren ini menandai kebijakan luar negeri Irak yang semakin independen dari pengaruh AS, yang mana sejak invasi AS ke Irak pada 2003, pemerintahan baru Irak  pasca Saddam Hussein dicap sebagai boneka Amerika.

Dengan beberapa kesimpulan bisa ditarik dari tulisan panjang ini.

  1. Washington telah merencanakan sejak jauh-jauh hari perubahan rejim di Timur-Tengah yang sejalan dengan strategi global AS, dengan menggunakan Arab Saudi, sekutu utamanya di kawasan ini, untuk menciptakan creative destruction.
  2. AS secara langsung mendanai dan mempesenjatai kelompok-kelompok Islam ekstrem yang erat kaitannya dengan Al Qaeda dan ISIS, untuk melawan pemerintahan berdaulat Suriah di bawah kepemimpinan Presiden Bashar al Assad. Sedangkan sekutu-sekutu utama Arab Saudi seperti Qatar, Israel dan Turki, telah mendanai dan mempersenjatai maupun perawatan kesehatan terhadap semua kelompok milisi bersenjata yang melawan pemerintahan Assad. Baik yang diklaim kelompok moderat maupun ekstrem.
  3. Para jihadis yang bergabung dalam Jabal al Nusra secara aktif direkrut dari berbagai negara, sehingga mengindikasikan bahwa semakin menguatnya kelompok-kelompok Islam ekstrem tersebut tidak bisa disimplikasikan/disederhanakan sebagai reaksi kelompok-kelompok ekstrem suni anti Barat di kawasan Timur-Tengah. Fakta membuktikan bahwa kelompok-kelompok yang katanya ekstrem tersebut ternyata mendapat dukungan dana dan persenjataan dari AS dan sekutu-sekutunya dari Eropa Barat, dan agen-agen proxy-nya seperti Arab Saudi, Qatar, Turki, dan Uni Emirat Arab.
  4. Turki sebagai anggota NATO(Pakta Pertahanan Atlantik Utara), berfungsi sebagai zona transit untuk segala macam kelompok-kelompok ekstrem bisa melewati Turki tanpa hambatan, untuk kemudian memasuki Suriah.
  5. Terdapat serangkaian kesaksian dari beberapa pejabat senior Irak, bahwa persenjataan-pesenjataan AS telah telah dikirim secara langsung kepada ISIS.
  6. Bisa disimpulkan bahwa AS telah membangun pusat komando untuk mengoordinisasikan semua kelompok-kelompok milisi bersenjata yang dibentuk untuk seperti Jabal al Nusra dan ISIS, baik secara langsung maupun maupun melalui sekutu regionalnya seperti Arab Saudi, Qatar, Israel, dan Turki. Dengan demikian bisa pula disimpulkan, AS telah “bermain dua kaki” atau standar ganda, di Suriah dan Irak.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com