Masdarsada, peneliti senior di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta
Pengamat politik Universitas Diponegoro Semarang Susilo Utomo menilai, konflik internal di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memengaruhi posisi tawar Partai Gerindra dalam membangun koalisi untuk menghadapi pemilu presiden mendatang. “Dengan terjadinya konflik di internal PPP, ‘bargaining position‘ Gerindra untuk berkoalisi dengan partai politik lain menjadi berkurang. Berbeda, jika kekuatan PPP solid,” kata Susilo di Semarang seperti dikutip dari Antara.
Susilo menilai bahwa Suryadharma melakukan “blunder” dengan menghadiri kampanye terbuka Gerindra beberapa waktu lalu. Sikap Suryadharma yang mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden akhirnya menyebabkan faksionalisasi di tubuh PPP. “Padahal, jika Suryadharma melakukan komunikasi lewat pertemuan tertutup dengan Prabowo, mungkin tidak sampai menimbulkan faksionalisasi seperti sekarang,” katanya.
Persoalannya, tambah dia, konflik internal di PPP itu ikut memengaruhi daya tawar Gerindra jika ingin berkoalisi dengan parpol-parpol lain. Pasalnya, koalisi antara Gerindra dengan PPP saja belum cukup untuk mengusung capres-cawapres.
“Selain dengan PPP, Gerindra masih butuh menjalin koalisi dengan parpol lain. Misalnya saja, perkiraan Gerindra dapat 11 persen, jika koalisi dengan PPP hanya menambah jadi 18 persen. Masih kurang (syarat ambang batas pengusungan capres-cawapres, yakni 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional),” kata Susilo. Untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres, kata pengajar FISIP Undip itu, Gerindra setidaknya harus menjalin koalisi dengan lebih banyak parpol.
“Dari kalangan parpol Islam, saat ini juga tengah mengonsolidasikan poros tengah. Namun, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) justru menolak dan cenderung menginginkan koalisi dengan parpol nasionalis,” katanya. Ia menilai Gerindra bisa saja melakukan koalisi dengan Partai Demokrat untuk memuluskan langkah mengusung Prabowo sebagai capres. Namun, ia memprediksi pembicaraan koalisi antarkedua parpol akan berjalan “alot”. “Pada saat sama, PPP yang berkoalisi dengan Gerindra ternyata terpecah kekuatannya. Perpecahan kekuatan ini juga akan memengaruhi peta dukungan di kalangan akar rumput PPP saat Pilpres,” katanya.
Oleh karena itu, kata dia, Gerindra harus segera melakukan komunikasi dengan parpol-parpol lain untuk menjajaki kemungkinan koalisi agar bisa memuluskan langkah mengusung capres-cawapres dalam Pilpres. “Terkait dengan konflik internal PPP, kalau kedua kubu sama-sama tidak mau mengalah akan menimbulkan ‘double’ dukungan. Ini tentu tidak menguntungkan karena bisa ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum,” kata Susilo.
Surya Dharma Ali dan Prabowo
Dalam sebuah pernyataan yang muncul dari seorang fungsionaris PPP, dikatakan Prabowo tidak termasuk nama bakal Capres yang pernah disebut sebagai obyek pengamatan PPP dalam menghadapi aktivitas para bakal Capres. Oleh sebab itu langkah Suryadharma Ali melakukan pendekatan dan pernyataan dukungan bahkan secara tidak resmi mendeklarasikan koalisi dengan Gerindra merupakan misteri, apa tujuan sebenarnya dari Suryaharma Ali.
Menurut salah seorang mantan Kepala BAKIN, ada dugaan langkah Suryadharma hanyalah upaya menciptakan isu politik yang spektakuler yang bisa menutup isu penyalah gunaan dana haji di Kementerian Agama dari perhatian masyarakat khususnya KPK. “Agar dugaan rekaya politik Suryadharma ini berkembang perlu dugaan ini dilempar kedalam media/pers sehingga memancing reaksi pro dan anti. Langkah politik ini secara politik jelas sangat merugikan penampilan Gerindra dan Prabowo, sebuah tindakan yang merugikan orang lain, sehingga tentunya secara yuridis bisa diajukan ke Pengadilan, “ujar purnawirawan Jenderal berbintang tiga yang tinggal di Tebet, Jakarta Selatan ini.
Namun menurut sendiri, dalam menerjemahkan langkah politik Suryadharma Ali sebenarnya kalangan pengurus dan konstituen atau massa PPP haruslah cerdas dalam mencermatinya. Bagaimanapun juga langkah Suryadharma Ali yang disebut-sebut sebagai salah satu bentuk ijtihad politik PPP dalam menyikapi Pilpres 2014 dengan menjatuhkan pilihan kepada Prabowo Subianto sudahlah tepat.
Kemungkinan dalam hitung-hitungan Suryadharma Ali, tidak mungkin PPP berjalan sendiri dalam menghadapi Pilpres, sehingga harus berkoalisi dengan parpol lainnya dan pilihan berkoalisi dengan Partai Gerindra ataupun Koalisi Indonesia Raya yang digagas Amien Rais yang notabene akan menggabungkan partai nasionalis dengan partai Islam tersebut, berdasarkan rumors yang beredar akan menempatkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa sebagai capres atau cawapresnya, dan konon salah satu raja media di Indonesia yaitu Dahlan Iskan disebut-sebut sudah setuju jika Partai Demokrat atau dirinya berkoalisi dengan Prabowo Subianto. Bahkan, konon dalam berbagai pembicaraan di “warung kopi” dan informasi yang berbagai kalangan, para pendukung Prabowo Subianto disebut-sebut juga sudah memprediksikan Aburizal Bakrie tidak akan mencapreskan diri, karena “posisinya yang belum aman” di Partai Golkar dan rakernas Partai Golkar ke depan diperkirakan juga akan “panas”, sehingga banyak yang berkalkulasi ARB sebaiknya bergabung dengan Koalisi Indonesia Raya, dengan pertimbangan mengikuti Pilpres sangat membutuhkan dana yang besar dan hal tersebut tidak mungkin ditanggung sendirian oleh ARB dengan kondisinya sekarang ini.
Kembali ke langkah Suryadharma Ali sebenarnya sudah benar, sehingga masyarakat dalam membaca berita-berita yang bersebaran di media elektronik dan media cetak bahkan online tidak menelannya dengan mentah-mentah, sehingga mengerti maksud dan agenda setting media tertentu dalam pemberitaannya. Untuk melihat agenda setting sebuah media massa, dapat dilihat dari frekuensi penyiaran berita, pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan, pilihan narasumber yang sudah “disetting” dan ada kecenderungan narasumber tidak netral, serta politik pemberitaan dan langkah si empunya media massa, terutama jika pemilik media massa tersebut mencalonkan diri atau mendukung salah satu capres.
Tapi, apapun yang terjadi, kita sebagai masyarakat kecil hanya berharap mudah-mudahan kita tidak salah dalam memilih Presiden, karena tantangan lima tahun ke depan jauh lebih hebat dan lebih berat dibandingkan sekarang ini. Media massa seharusnya menyajikan atau mempraktekkan literasi media dengan ketulusan hati dan politik pemberitaan yang netral, obyektif dan menyenangkan semua pihak. Semoga Pilpres kali ini berjalan damai dan aman.