Pengantar
Jumat 7 Agustus 2015, saya diundang sebagai narasumber dalam forum diskusi informal yang diselenggarakan oleh Jaringan Merah Putih-nya mbak Nanik S Deyang bersama Tabloid the Poitic dan fastnesindonesia.com, di Wedang 200, Fatmawati Raya, Jakarta Selatan.
Berikut paparan makalah selengkapnya:
Banyak kalangan yang meramalkan krisis keuangan global akan terjadi pada September 2015. Prediksi semacam ini tentu saja cukup mengkhawatirkan mengingat kenyataan bahwa hal ini disuarakan oleh kalangan analis dan pemerhati industri keuangan global.
Yang mendasari prediksi mereka adalah, krisis di sektor industri keuangan bakal menerpa Amerika Serikat, Uni Eropa dan Cina. Di Eropa, tentu saja pemicunya adalah krisis keuangan di Yunani. Jika krisis utang tak terselesaikan maka krisis ini akan merembet ke negara-negara Uni Eropa lainnya. Yang pada perkembangannya akan menghancurkan mata uang Euro.
Di Amerika, ceritanya juga tak kalah menyeramkan. Ron Paul, mantan calon presiden dari partai republik pernah mengatakan kepada stasiun TV CNBC bahwa kebijakan easy money yang dikeluarkan oleh The Federal Reserve dikhawatirkan akan menghancurkan pasar saham di AS.
Menurut Ron Paul, financial bubble-lah penyebab utamanya. Apalagi kalau merujuk ke krisis sebelumnya, financial bubble juga lah yang menyebabkan krisis keuangan global pada 2008 lalu.
Atas dasar berbagai prediksi suram terkait krisis keuangan global beberapa waktu ke depan, ada baiknya kita urai kembali akar penyebab dan kejadian sesungguhnya sehingga terjadi krisis keuangan di Yunani.
Di Amerika, ceritanya juga tak kalah menyeramkan. Ron Paul, mantan calon presiden dari partai republik pernah mengatakan kepada stasiun TV CNBC bahwa kebijakan easy money yang dikeluarkan oleh The Federal Reserve dikhawatirkan akan menghancurkan pasar saham di AS. Menurut Ron Paul, financial bubble-lah penyebab utamanya. Apalagi kalau merujuk ke krisis sebelumnya, financial bubble juga lah yang menyebabkan krisis keuangan global pada 2008 lalu.
Atas dasar berbagai prediksi suram terkait krisis keuangan global beberapa waktu ke depan, ada baiknya kita urai kembali akar penyebab dan kejadian sesungguhnya sehingga terjadi krisis keuangan di Yunani.
Dana Talangan Untuk Membayar Utang Luar Negeri
Krisis Yunani timbul penyebabnya sederhana saja. Dana bailout pemerintah Yunani yang seharusnya untuk menstabilitasi perekonomian, termasuk industri keuangan Yunani, pada kenyataannya digunakan untuk membayar utang-utang luar negeri Yunani. Bukan untuk mendorong pertumbuhan di sektor riil.
Dalam hal ini, IMF merupakan salah satu penyebab timbulmya krisis keuangan di Yunani.
Menurut Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras, lembaga-lembaga kreditur secara terus-menerus menekan pemerintahannya untuk memotong pembayaran uang pensiun sebagian besar rakyat Yunani untuk membayar utang-utang luar negeri. Sehingga rakyat Yunani lah yang jadi korban.
Namun sebagaimana sudah kita ketahui, akhirnya rakyat Yunani melalui referendum yang diselenggarakan pemerintah, secara tegas menolak kebijakan restrukturisasi ekonomi Yunani berdasarkan skema IMF.
Berarti, pemerintah dan rakyat Yunani bersatu-padu melawan skema IMF dan lembaga-lembaga kreditur internasional untuk menolak membayar utang.
Masalahnya sekarang, apa langkah strategis pemerintah Yunani pimpinan Perdana Menteri Tsipras untuk mengantisipasi serangan balik dari pihak IMF dan Bank Dunia?
Manfaatkan Momentum Cina-Rusia Untuk Bantu Yunani
Berdasarkan berbagai informasi yang dihimpun Tim Riset Global Future Institute, pemerintah Yunani ternyata cukup cerdas dan tidak semata-mata didorong emosi ketika melawan skema IMF dalam mengatasi krisis keuangan di negaranya. Karena sejak Juni lalu, Yunani sudah siapkan kebijakan alternatif, yaitu berpaling ke Rusia.
Pada Juni lalu, Tsipras telah menandatangani sebuah perjanjian penting dengan Rusia. Yunani telah setuju untuk membangun terminal pipa gas (jaringan pipa TurkStream) milik Rusia di Eropa.
Ini jelas merupakan sebuah kesepakatan strategis bagi Rusia, karena dengan begitu negeri beruang merah ini akan mengalihkan pembangunan pipa gas-nya ke Eropa yang dulu rencananya akan melewati Ukraina.
Namun dengan terjadinya krisis Ukraina, pihak AS dan NATO telah mengganjal rencana pembangunan pipa tersebut dengan mendestabilisasi Ukraina.
Memang melalui skema kerjasama ini, Rusia tidak dalam kapasitas untuk membantu Yunani secara finansial. Namun melalui kerjasama dengan Rusia ini, ketahanan energi Yunani bisa terkendali di tengah-tengah krisis yang berkepanjangan tersebut.
Cina, juga mengulurkan tangan untuk membantu Yunani keluar dari Krisis. Dalam hal ini Cina mengajukan dua tawaran. Pertama, membantu Yunani dalam kerangka bantuan internasional melalui Uni Eropa. Kedua, Cina membantu secara langsung melalui program Silk Road Economic Belt dan the Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Disamping IMF dan World Bank. Melalui kedua skema bantuan tersebut, Cina menyatakan komitmen dan kesanggupannya.
Terlepas kelanjutan dan realisasinya yang lebih konkret masih belum begitu jelas. Bahkan belum bisa dijamin juga apakah bantuan Rusia dan Cina akan berhasil melepaskan Yunani dari krisis ekonomi.
Namun setidaknya pemerintahan Tsipras telah menunjukkan sikap independensinya menghadapi dominasi dan pengaruh AS, IMF, maupun Bank Sentral Eropa. Bahwa Yunani menolak untuk diatur-atur oleh perusahaan-perusahaan finansial global yang berada di balik kebijakan AS, IMF dan Bank Sentral Eropa.
Krisis Keuangan Global Menguntungkan Bank-Bank dan Lembaga-Lembaga Keuangan Global
Sekadar informasi. Ada sekitar 1400-an bank yang ada di dunia ini secara perlahan bangkrut menyusul pasca krisis keuangan global pada 2008 lalu. Ada beberapa bank yang bisa bertahan setelah memilih merger. Tapi celakanya, krisis tersebut kemudian jadi momentum keuntungan bagi 6 bank besar di Amerika. Ternyata, dari krisis keuangan 2008 yang diuntungkan adalah bank dan lembaga keuangan global besar.
Laporan LA Times September 2013 lalu menyatakan: “Just before the financial crisis hit(krisis keuangan global 2008):
“Well Fargo & Co had $609 billion in assets. Now it has $1.4 trillion. Bank of America Corp had $1.7 trillion in assets. That’s up to $2.1 trillion. And the assets of JP Morgan Chase & Co, the nation’s biggest bank, have ballooned to $2.4 trillion from $1.8 trillion.” Itu belum termasuk catatan bank-bank lainnya.
Belajar dari data-data krisis pada 2008 lalu, besar kemungkinan jika terjadi krisis keuangan global 2015 juga akan menguntungkan bank-bank besar di AS, sehingga aset mereka akan lebih besar lagi. Alhasil, yang kaya makin kaya, yang besar makin besar.
Dengan begitu, negara-negara kecil seperti Yunani dan Indonesia akan sangat rawan untuk tetap di bawah pengaruh dan kendali bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan global tersebut, dengan menggunakan tangan IMF, Bank Dunia, maupun lembaga-lembaga donor asing lainnya. Sehingga mereka bisa memaksakan kehendaknya lepas kita suka atau tidak suka.
Pemerintah Jokowi-JK sudah saatnya menyiapkan beberapa skenario alternatif untuk menghadapi kemungkinan yang terburuk, yaitu terjadinya krisis keuangan global pada September 2015 yang secara potensial juga bisa menerpa Indonesia.
Utang Luar Negeri kita pada akhir triwulan 2015 tercatat 298,1 miliar dolar AS, yang terdiri dari utang luar negeri sektor publik sebsar 132,8 miliar dolar AS dan utang luar negeri swasta sebesar 165,3 miliar dolar AS.
Data ini barang tentu cukup mengkhawatirkan jika pemerintah kita tidak mampu membayar utang, karena nilainya bisa terus membengkak mengingat kondisi finansial di dalam negeri saat ini. Utang berbentuk valuta asing jelas akan semakin membebani debitur dan perekonomian dalam negeri kita, karena nilai rupiah yang terus melemah mendekati Rp 14 ribu per dolar AS.
Bukan itu saja.
Seperti pernyataan Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro, defisit anggaran pada akhir 2015 diproyeksikan mencapai 2,23 persen terhadap PDB atau sekitar Rpp 260 triliun. Berarti, melebar dari target yang ditetapkan APBN sebesar 1,9 persen terhadap PDB. Kalau ini benar-benar terjadi, berarti Indonesia perlu utang lagi dari luar negeri sebesar Rp 38 triliun. Sehingga bukannya kita mampu melunasi utang, malah menambah utang baru untuk menutup defisit anggaran.
Jangan sampai apa yang dialami Yunani harus juga dilakukan di Indonesia, yaitu dipaksa untuk memotong dana pensiun buat rakyatnya. Jangan sampai di Indonesia, pemerintah Jokowi-JK dipaksa untuk memotong Uang Jaminan Hari Tua (JHT) rakyatnya untuk meredam krisis.
Sampai di sini paparan soal krisis ekonomi yang salah-salah bisa mematikan harapan dan optimisme. Namun, kalau kita sadari bahwa inti masalah yang sesungguhnya justru harus dipercahkan di laur lingkup ekonomi, nah di sini harapan dan optimisme kiranya masih tetap bisa kita hidupkan bersama-sama.
Memberi Makna Baru tentang Gagasan Perang Rakyat Semesta
Beberapa kalangan intelektual TNI belakangan ini sempat melontar kembali gagasan untuk menghidupkan konsepsi perang rakyat semesta. Menurut saya, itu bagus di tengah kebuntuan dan krisis multi sektoral saat ini. Sayangnya, kerangka pemikiran dalam menjabarkan konsepsi Perang Rakyat Semesta, masih tetap dalam kerangka konsepsi baku dari Buku karya Jenderal Abdul Haris Nasution, Pokok-Pokok Perang Gerilya. Sehingga tak ada terobosan baru untuk menawarkan konsepsi Perang Rakyat Semesta untuk menghadapi tantangan-tantangan baru Indonesia ke depan.
Disebabkan karena masih berkutat pada kerangka pemikiran bahwa perang semesta adalah mengikutsertakan berbagai elemen masyarakat namun tetap bertumpu pada TNI sebagai komponen inti. Dan rakyat adalah komponen pendukung atau pelengkap. Konsepsi ini menurut saya sudah perlu direvisi atas dasar dua pertimbangan.
Pertama, konsepsi ini sejatinya ditujukan sebagai kerangka gagasan untuk memberi tuntunan bagi Perang Gerilya, yang ketika itu memang pilihan tepat mengingat tentara nasional kita belum cukup mampu untuk berhadapan secara langsung dengan tentara Belanda yang jauh lebih unggul.
Namun, kerangka konsepsi ini berarti masih bertumpu pada anggapan bahwa konsep perang rakyat semesta ini hakekatnya adalah tetap merupakan bagian dari Perang Simetrik alias perang militer. Hanya saja, kita memilih opsi perang gerilnya. Tapi perang gerilya pada dasarnya tetap merupakan perang militer. Bukan perang dengan didasari gagasan untuk melancarkan perang dengan mendayagunakan metode, sarana-sarana dan perangkat non militer.
Kedua, Konsepsi Perang Rakyat Semesta yang tetap bertumpu pada TNI sebagai komponen inti dan rakyat sebagai komponen pendukung, kita mengabaikan sebuah realitas baru yang dilancarkan oleh negara-negara adidaya, khususnya Amerika dan Uni Eropa.
Bahwa mereka dalam melemahkan dan menaklukkan negara-negara sasaran, termasuk Indonesia, tidak lagi dalam kerangka konsepsi Proxy War, dalam arti bahwa antar negara-negara adidaya terlibat dalam perang terselubung atau tidak langsung, lalu kelompok-kelompok strategis di internal suatu negara, saling berperang karena masing-masing kelompok didukung oleh negara-negara adidaya yang saling berperang secara tidak langsung tersebut.
Dalam kenyataannya sekarang, salah satu negara adidaya, secara sistematis dan terencana mencoba menaklukkan suatu negara, seperti Indonesia, melalui sarana-sarana non militer. Namun, tidak dalam kondisi seperti di zaman perang dingin di mana AS bersaing dan terlibat perang terselubung dengan Rusia atau Cina di Indonesia. Seluruh produk reformasi di bidang perundang-undangan, merupakan success story Perang Asimetris yang dilancarkan AS terhadap Indonesia. Misal, keluarnya UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, sudah digodok oleh para perancang skema kapitalisme global di Washington sejak 1997.
Berarti, para skemator Washington Consensus tidak menerapkan proxy war, karena AS dan para sekutu strategisnya di Uni Eropa, yang memainkan skema ekonominya yang neo-liberal melalui kerangka Perang Asimetris. Suatu perang yang sejatinya mendayagunakan seluruh sarana dan perangkat non-militer untuk menaklukkan suatu bangsa dan negara.
Perang Rakyat Semesta, Sebagai Dasar Hadapi Perang Asimetris Asing
Definisi perang asimetris, atau peperangan non militer, atau perang nirmiliter hingga kini masih terbilang aneka ragam, walau sebenarnya benang merah makna perang tersebut tidaklah jauh berbeda. US Army War College misalnya, menekankan perbedaan sumberdaya dua pihak yang berkonflik, cara berinteraksi, dan upaya-upaya mengeksploitasi kelemahan lawan; atau versi Dewan Riset Nasional lebih memaknai perang asimetris perihal keterlibatan antara dua aktor atau lebih, dan menyoroti ketidakseimbangan keadaan (para aktor) terlibat peperangan; atau versi Australia’s Department of Defence mengartikan dengan perbedaan tujuan, komposisi pasukan, kultur, teknologi dan jumlah, dan lain-lain.
Global Future Institute (GFI), melalui serangkaian kajian-kajiannya mengenai konsepsi ini, mencoba merangkum definisi peperangan asimetris berbasis asumsi ketiga lembaga di atas, juga atas cermatannya selama ini atas praktik-praktik empirik di lapangan, yaitu:
“Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara nirmiliter (non militer), tetepi memiliki daya hancur tidak kalah hebat bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer. Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra). Sasaran perang non militer tidak hanya satu atau dua aspek, tetapi bisa beragam aspek. Ia dapat dilakukan bersamaan, atau secara simultan dengan intensitas berbeda. Sasaran perang asimetris ini ada tiga:
(1) membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme, (2) melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat, dan (3) menghancurkan food security [ketahanan pangan]dan energy security [jaminan pasokan dan ketahanan energi]sebuah bangsa, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dalam hal food and energy security”. Sekadar catatan untuk poin 3, pangan dan energi hanya sekadar ilustrasi karena dalam kasus Indonesia, kedua sektor inilah yang amat vital bagi ketahanan nasional kita di bidang ekonomi. Negara lain, mungkin berbeda sektor vitalnya. Negara-negara Timur Tengah, tentunya Minyak. Sedangkan Cina saat ini bertumpu pada industri berbasis batu bara. Namun tetap saja pelumpuhan sektor-sektor vital ekonomi suatu negara, tetap dipandu oleh poin 1 dan poin dua tersebut di atas.
Adapun sumber daripada peperangan asimetris dalam pola kolonialisme yang sering digelar oleh Barat di medan ekonomi, tampaknya selalu merujuk pada Structural Adjusment Programmes (SAPs)-nya International Moneter Fund (IMF) yang meliputi (1) perluas kran impor dan adanya aliran uang yang bebas; (2) devaluasi; dan (3) kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembebasan tarif kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga kebutuhan publik.
Inilah sekilas tentang muara/sumber dari peperangan nirmiliter yang sering dihamparkan Barat meski hakiki skema kolonialismenya tetap lestari, yakni mengontrol ekonomi serta menguasai sumberdaya alam (SDA) di wilayah target.
Selanjutnya bentuk asymmetric warfare ada dua model. Pertama ialah “gerakan massa”; dan kedua “Melalui Kebijakan Negara” dimana ciri dan sifatnya yang menonjol adalah non kekerasan. Sekali lagi, itulah gambaran sekilas perang asimetris yang sering dilakukan oleh Barat di panggung kolonialisme.
Sekali lagi patut disayangkan, beberapa kalangan intelektual TNI yang belakangan mulai mengedepankan kembali konsepsi perang rakyat semesta, nampaknya tidak mau beranjak lebih jauh, dengan menawarkan konsepsi perang semesta untuk menginspirasi munculnya suatu kontra skema menghadapi perang asimetris negara-negara asing, yang selain sifatnya perang non militer, lebih dari itu, dalam perang asimteris yang dilanarkan pihak asing, terkandung suatu skema, strategi, metode, dan perangkat-perangkat yang dimainkan dan didayagunakan untuk melumpuhkan suatu negara tidak saja di medan hankam, tapi juga di medan Ipoleksosbud.
Sehingga kalau mau bersungguh-sungguh menjabarkan konsepsi perang semesta sesuai tantangan zaman, maka perang semesta harus didasarkan pada gagasan untuk menangkal skema perang asimetris negara-negara besar terhadap Indonesia. Dengan kata lain, mencoba memberi makna baru gagasan perang rakyat semesta sebagai kontra skema menghadapi skema kapitalisme global, khususnya para perancang ekonomi di Washington, IMF dan Bank Dunia.
Dengan Perang Rakyat Semesta, diperluas lingkup dan para aktor utama pendukung konsepsi perang ini, sehingga selain mendayagunakan bakat-bakat khusus di kemiliteran, namun yang lebih substansial, perang semesta merupakan perang dengan mendayagunakan semua semberdaya intelektual dan spiritual bangsa, melalui sarana-sarana non militer. Karena medan perang dari Perang Asimetris yang dilancarkan negara-negara besar ini, tidak sebatas di sektor hankam. Melainkan memperluas sasaran penaklukkannya di sektor ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam itu sendirii.
Dengan demikian, dalam kerangka Perang Rakyat Semesta sebagai kontra skema menghadapi Perang Asimetris, TNI jelas merupakan komponen vital, namun tidak bisa lagi menjadi komponen inti. Karena dalam perang Asimetris, hakekatnya bukan perang militer, melainkan perang nir-militer.
Dengan begitu, geopolitik mutlak harus dijadikan ilmunya ketahanan nasional, untuk merajut dan mesenyawakan ideologi-politik-ekonomi-sosial-budaya maupun aspek geografi, demografi dan sumberdaya alam nasional kita.
Yang seringkali kita lupa, keberhasilan Vietnam mengalahkan Perancis dan Amerika Serikat, Ho Chi Minh dan Vo Nguyen Giap (konseptor dan perancang strategi perang Vietnam), merujuk pada buku Jenderal Nasution, Pokok-Pokok Perang Gerilya. Namun ketika menjabarkan konsepsi perang rakyat semesta, Nguyen Giap tidak meniru mentah-mentah gagasan Pak Nas itu. Mereka mengembangkannya sesuai kondisi obyektif Vietnam itu sendiri.
Menariknya, gagasan perang rakyat semesta itu diolah dan dikembangkan para perancang strategi Vietnam sebagai dasar menyusun Perang Asimetris yang mana seluruh komponen strategis masyarakat berikut sumberdaya intelektual dan spiritual, didayagunakan, selain komponen militer yang didayagunakan dalam perang secara simetris yang mana medan tempurnya memang di ranah di pertahanan dan keamanan.
Menurut saya, inilah konsepsi bela negara yang sesungguhnya, untuk menghadapi tantangan baru baik kondisi global maupun di dalam negeri.
Untuk tahapan awal, kita bisa mulai dengan menghidupkan kembali kesadaran geopolitik. Sebagai ilmunya ketahanan nasional. untuk merajut dan mensenyawakan ideologi-politik-ekonomi-sosial-budaya maupun aspek geografi, demografi dan sumberdaya alam nasional kita.
Lebih dariapda itu, geopilitik bisa menjadi sarana seluruh komponen bangsa untuk kembali mengenali kekuatan-kekuatan material maupun immaterial dari bangsa kita. Dengan begitu kita akan:
KENAL DIRI
TAHU DIRI
TAHU HARGA DIRI
Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)