Mengapa Sistem Televisi Berjaringan Harus Ditegakkan

Bagikan artikel ini

Ade Armando

Saat ini, saya menjadi bagian dari komunitas yang sedang berupaya mendesak agar amanat UU Penyiaran 2002 tentang sistem penyiaran berjaringan segera diterapkan. Untuk membantu mereka yang mungkin belum banyak mengikuti pembicaraan mengenai sistem televisi berjaringan, saya kutipkan di note ini, bagian dari tulisan saya, “Industri Pertelevisian dan Ilusi kebhinekaan Indonesia” di buku Industri Budaya di Indonesia (2009). Mudah2an membantu.

Salah satu persoalan utama yang sering tidak disadari banyak orang adalah bahwa sistem pertelevisian di Indonesia bersifat secara sentralistis. Ada sepuluh stasiun televisi di Jakarta yang dapat bersiaran secara nasional dengan hanya menggunakan stasiun-stasiun relai di setiap daerah. Dalam sistem ini, siaran sepenuhnya disiapkan, dibuat, dan dipancarkan dari Jakarta menuju rumah-rumah penduduk di seluruh Indonesia dengan hanya diperantarai stasiun relai di setiap daerah tersebut. Dengan demikian, apa yang disaksikan oleh warga perumahan Pondok Indah di Jakarta, sampai ke Bangkalan, Madura, sampai ke Palangkaraya, Lubukpakam, Aceh, Ujung Pandang, sampai ke Manokwari sepenuhnya ditentukan oleh segenap stasiun yang berlokasi di Jakarta.

Sistem pertelevisian semacam ini lazimnya terjadi hanya di negara-negara dengan pemerintahan otoriter, yang memang dicirikan oleh pemusatan kekuasaan. Ini pun umumnya hanya berlangsung di negara-negara yang tidak mengembangkan sistem pertelevisian komersial, dan tidak memiliki wilayah luas dengan karakter budaya heterogen seperti yang dimiliki Indonesia. Di umumnya negara lain yang juga memiliki wilayah luas, stasiun televisi dan radio memiliki jangkauan siaran lokal dan regional. Contoh terbaik adalah Amerika Serikat. Berbeda dengan Indonesia, yang berkembang di sana adalah sistem jaringan di mana siaran nasional hanya dimungkinkan berlangsung melalui rantai stasiun-stasiun lokal. Dalam sistem televisi berjaringan tersebut, siaran sebuah stasiun televisi dapat saja menjangkau seluruh negara, tapi harus melalui ‘jaringan’, yakni stasiun-stasiun televisi lokal di berbagai kota yang membawa siaran nasional tersebut ke kota mereka.

Di AS, siaran televisi nasional baru dikenal setelah adanya televisi satelit, seperti CNN pada akhir 1980an. Di banyak negara lain, memang dikenal adanya stasiun televisi nasional, tapi itu adalah stasiun televisi publik, seperti misalnya BBC di Inggris. Di negara tersebut, siaran televisi komersial pun dibatasi dalam jangkauan wilayah siaran tertentu.

Terdapat sejumlah argumen yang melatarbelakangi penataan ini. Pertama-tama, … ada pengakuan bahwa frekuensi siaran adalah ranah publik yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat yang berdaulat atas frekuensi tersebut. Jadi bila kita gunakan Indonesia sebagai contoh, frekuensi siaran di Jawa Barat seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan publik Jawa Barat yang merupakan pemilik frekuensi tersebut. Demikian pula dengan di Jakarta, Jawa Tengah, dan seterusnya. Apa yang terjadi di Indonesia, dalam hal ini, nampak sebagai ’penjajahan’ Jakarta atas daerah-daerah di luar Jakarta.

Argumen kedua adalah, mengingat bahwa setiap masyarakat yang menetap di berbagai daerah berbeda akan memiliki konteks budaya, politik dan ekonomi berbeda, penunggalan siaran yang datang dari sebuah Pusat akan dianggap sebagai mengingkari keberagaman tersebut. Demikianlah, di AS, FCC mengeluarkan ketetapan yang mewajibkan stasiun-stasiun lokal yang menjadi bagian dari jaringan nasional untuk memuat program-program berita lokal dan bahkan program-program yang berorientasi pada kepentingan publik lokal, misalnya pendidikan.

Secara politik, kewajiban itu dapat dipahami atas dasar argumen bahwa agar demokrasi tetap terjaga di setiap daerah, publik harus memperoleh informasi memadai tentang lingkungannya. Dalam hal itu, masyarakat di sebuah daerah tentu membutuhkan informasi tentang kondisi politik di daerah itu, sementara informasi mengenai kondisi politik di daerah lain akan dipandang sebagai ‘pelengkap’ semata. Dengan kata lain, menggunakan contoh Indonesia lagi, masyarakat Jawa Barat akan membutuhkan informasi mengenai perilaku gubernur Jawa Barat, atau anggota DPRD Jawa Barat, sementara informasi mengenai perilaku Gubernur DKI Jakarta lebih bersifat ‘pelengkap’.

Demikian pula halnya dengan siaran kebudayaan dan hiburan. Indonesia adalah sebuah negara luas dengan keragaman budaya yang kaya. Karena itu, bisa dipahami, bila masyarakat Sumatra Barat sebenarnya berharap menyaksikan di layar televisi musik atau tarian atau komedi khas daerahnya, menyaksikan remaja mereka tampil dengan serba neka kreativitasnya, atau bahkan menyaksikan penyiar yang tampan dan cantik membawa acara dengan bahasa Indonesia berdialek Sumatra.
Prinsip pluralisme ini yang diingkari oleh sistem pertelevisian Indonesia. Lebih dari seratus juta penduduk Indonesia hanya dilayani oleh sepuluh stasiun televisi ‘nasional’ yang semua berada di Jakarta, yang orientasinya utamanya bukanlah kepentingan publik, melainkan kepentingan komersial.

Sekadar catatan, sistem terpusat ini tidak berlangsung dalam sistem peradioan di Indonesia. Sejak awal kelahiran stasiun radio komersial di awal Orde Baru, stasiun radio beroperasi dengan jangkauan daerah terbatas. Masing-masing daerah memiliki daftar nama stasiun radio berbeda. Bila ada stasiun yang berupaya menjangkau khalayak dengan wilayah luas, itu harus dilakukan dengan sistem jaringan. Bila stasiun radio di kota X dapat menjangkau khalayak di kota Y, dapat dipastikan khalayak di kota Y menangkap siaran tersebut dari sebuah stasiun radio di kota Y sendiri yang merupakan bagian dari jaringan stasiun radio tersebut.

Dalam hal pertelevisian, sistem jaringan ini yang sebenarnya dikembangkan oleh TVRI. Meskipun kita mengenal adanya TVRI Pusat, di banyak daerah siaran yang diterima khalayak datang dari stasiun TVRI regional di daerah tersebut. Stasiun TVRI regional memang menyajikan siaran dari TVRI Pusat selama beberapa jam, namun juga menyajikan beberapa jam siaran daerah. Dengan demikian, penonton di sana tetap dapat menyaksikan wajah-wajah biduan dan biduanita lokal di layar televisi mereka.

Seperti dikatakan, ini yang tidak dilakukan oleh stasiun televisi swasta. Adalah benar bahwa sejak awal tahun 2000, sudah mulai berkembang apa yang disebut stasiun televisi lokal di berbagai daerah. Tapi karena tidak ada kewajiban siaran berjaringan seperti di AS tadi, stasiun-stasiun televisi besar dari Jakarta tetap mendominasi dan menjadi pesaing tak tertandingi bagi stasiun-stasiun lokal tersebut.
…………………..

Sejak 1991, semua stasiun televisi swasta di Indonesia sudah diizinkan melakukan siaran nasional melalui jaringan transmisi teresterial. Ketika tahun 1999 lima stasiun televisi swasta kembali diizinkan berdiri oleh pemerintah pasca Orde Baru, seluruh stasiun tersebut juga langsung beroperasi dengan orientasi menjadi stasiun televisi nasional. Dampak dari sistem pertelevisian yang sentralistis tersebut sangat serius dan sangat merugikan bagi masyarakat dan perkembangan ekonomi-politik-budaya daerah di luar Jakarta.

Secara ekonomi, segenap keuntungan ekonomi hanya terserap di Jakarta. Masyarakat daerah tidak memperoleh manfaat ekonomi apa-apa dari sistem sentralistik ini. Puluhan triliun rupiah belanja iklan televisi setiap tahunnya hanya terserap di Jakarta. Bahkan pengusaha daerah yang ingin beriklan di daerahnya melalui televisi harus mengirimkan uang ke Jakarta. Segenap rumah produksi, biro iklan, dan industri pendukung pertelevisian lainnya hanya tumbuh di Jakarta. Lapangan pekerjaan pertelevisian hanya ada di Jakarta. Mahasiswa yang belajar disiplin ilmu komunikasi dan penyiaran di pergruan tinggi luar Jakarta tidak akan memperoleh peluang bekerja cukup luas di pertelevisian di daerahnya, dan harus pindah ke Jakarta bila tetap ingin bekerja di dunia pertelevisian.

Secara politik dan budaya, penonton di setiap daerah di luar Jakarta tidak bisa melihat dirinya dan tidak bisa memperoleh informasi yang relevan dengan kepentingan di daerah mereka di layar televisi. Agenda setting tentang apa yang disebut sebagai berita atau bukan berita ditentukan dari Jakarta. Penduduk seluruh Indonesia harus menyaksikan berita tentang tawuran di Jakarta Pusat, kecelakaan di jalan tol Jakarta-Bogor, pameran mode di Jakarta; sementara segenap persoalan ekonomi-politik-sosial kedaerahan tersimpan dalam-dalam. Lebih dari itu proses pemaknaan, pemberian penafsiran terhadap peristiwa-peritiswa tersebut ditentukan oleh kaum elit dari Jakarta. Yang tampil di perdebatan terbuka adalah mereka yang tinggal dan berkembang di Jakarta. Segenap masalah diteropong dari perspektif Jakarta. Talk-show televisi hanya menghadirkan pembicara dari Jakarta, seolah-olah pakar daerah tidak ada yang berarti.

Informasi yang menyangkut kepentingan publik di daerah luar Jakarta tidak akan diperoleh penonton dari stasiun televisi Jakarta., kecuali bila informasi tersebut bersifat sensasional dan dramatis. Pengamatan tentang apa yang disebut sebagai berita non-Jakarta menunjukkan bahwa berita daerah adalah berita negatif. Penjelasannya sederhana: karena stasiun televisi bersiaran nasional, berita tentang ‘daerah’ yang mereka sajikan haruslah yang menarik perhatian seluruh penduduk indonesia.

Karena itu, berita tentang perkembangan politik atau kemajuan sebuah daerah tidak memperoleh tempat karena dianggap hanya akan menarik pehrtian masyarakat lokal yang diberitakan. Yang dianggap bisa menarik perhatian khalayak berbagai daerah sekaligus adalah berita-berita negatif: kecelakaan, tawuran, skandal suap, dan informasi-infomasi sensasional lainnya.

Gaya hidup yang ditampilkan adalah gaya hidup Jakarta. Program yang disajikan adalah yang sesuai dengan standard norma dan nilai Jakarta. Gaya bicara Jakarta menjadi rujukan remaja di seluruh Indonesia. Dominasi budaya Jawa bahkan sempat terasa ketika untuk beberapa tahun salah satu program yang nampaknya populer di beberapa stasiun televisi besar adalah acara komedi Jawa, dalam beragam bentuknya: Ludruk, Ketoprak, Srimulat dan bebarapa epigon lainnya. Kadang bahkan ada bagian-bagian yang sama sekali setia menggunakan bahasa Jawa, meski dengan teks Indonesia. Tentu saja, alasan di belakang pertumbuhan program-program sejenis adalah soal popularitas di kalangan konsumen terbesar. Namun ada persoalan serius ketika acara-acara budaya Jawa tersebut – atau kemudian, Betawi — disiarkan ke masyarakat Indonesia yang begitu beragam budayanya.

Dalam sistem pertelevisian yang sentralistis ini, tak ada hak masyarakat di setiap daerah di luar Jakarta untuk mengendalikan isi siaran yang beredar di daerahnya.. Bila masyarakat merasa bahwa ada isi siaran dari televisi Jakarta yang tidak serasi dengan budaya daerah, mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena kantor stasiun televisi itu ada di Jakarta.

Pada saat yang sama, muatan stasiun televisi swasta diarahkan untuk menarik penonton yang cukup kaya untuk membeli barang-barang yang diiklankan di kota-kota besar. Siaran ini dari Jakarta dipancarkan ke seluruh Indonesia yang memiliki tingkat ekonomi sangat beragam. Bahkan petani di Gunung Kidul pun harus menyaksikan pameran kemewahan setiap hari, meskipun itu barangkali hanya dilihatnya melalui pesawat televisi kepala desa.

Kehidupan masyarakat kecil, miskin, yang sebenarnya paling membutuhkan perhatian media, terabaikan di layar televisi Indonesia. Ketika kehidupan kaum papa disajikan, itu sekadar hadir sebagai ’show’, bukan sebagai bagian dari upaya untuk membangun solidaritas sosial. Kaum tak beruntung misalnya digambarkan seringkali dengan gaya karikatural yang melecehkan. Beragam acara menampilkan profesi satpam, pembantu, pesuruh, dan semacamnya, dengan cara yang luar biasa negatif. Setting kamu miskin juga lazim hadir dalam acara sinteron-komedi yang menyajikan cara bicara yang kasar dan penggunaan logika yang bodoh. Dalam program berita reportase, kaum miskin juga kerap hadir sebagai objek pemberitaan tanpa berusaha dipahami konteks kenestapaan secara lebih mendalam.

Peluang untuk mengubah kondisi yang ’terlanjur’ terbangun ini bukannya tidak ada. Sejak jatuhnya Soeharto, berbagai kelompok masyarakat berusaha mewujudkan gagasan-gagasan demokratisasi penyiaran dalam UU Penyiaran. Pada akhir 2002, setelah melalui perdebatan yang keras, UU Penyiaran dilahirkan. Bila dipelajari isinya, UU Penyiaran 2002 sebenarnya berusaha mengubah secara mendasar sistem pertelevisian di Indonesia, dari yang bercorak sentralistis menjadi desentralistis. Perubahan ini jelas terjadi karena adanya kesadaran di kalangan para pembuat UU tersebut bahwa apa yang diwariskan Orde Baru adalah sebuah pilihan yang menjauhkan bangsa ini dari pelestarian dan pengembangan keberagaman budaya yang merupakan kekayaan tak ternilai. Perkembangan sistem pertelevisian komersial di Indonesia sejak awal periode 1990an pada dasarnya tidak memfasilitasi heterogenitas budaya dan sebaliknya, justru melahirkan homogenisasi di seluruh Indonesia.

Karena itu, UU Penyiaran 2002 sebenarnya hendak mengembalikan perkembangan pertelevisian ke arah yang tidak terpusat. Salah satu amanat terpenting dari UU Penyiaran ini adalah bahwa tidak ada lagi stasiun televisi nasional, karena setiap stasiun hanya memiliki jangkauan daerah terbatas. Yang dikenal dalam UU Penyiaran 2002 adalah sistem berjaringan, sebagaimana yang dikenal di Amerika Serikat. Dalam UU tersebut, izin siaran diberikan per daerah, yang pengalokasiannya melibatkan pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Harus diakui ini memang bukan hal yang mudah dan dapat segegara dilaksanakan di seluruh Indonesia. Stasiun-stasiun televisi nasional di Jakarta adalah pihak yang paling terkena dampaknya. Sistem sentralistis sangat menguntungkan mereka secara ekonomi, karena belanja iklan yang berjumlah belasan triliun rupiah tersebut dapat dikuasai sepenuhnya di Jakarta. Dengan sistem desentralistis ini, stasiun-stasiun Jakarta harus mulai mendirikan stasiun televisi di setiap daerah atau mencari mitra stasiun televisi lokal yang bersedia menjadi bagian dari jaringan. Di sisi lain, segenap keuntungan yang diperoleh dari pemasukan iklan pun harus dibagi dengan daerah.

Namun karena pula nampaknya didasari oleh kesadaran akan rangkaian kesulitan tersebut, UU Penyiaran 2002 memberi tenggang waktu lima tahun bagi stasiun televisi untuk melakukan penyesuaian. Para pembuat UU nampaknya percaya bahwa dalam waktu yang cukup lama tersebut, stasiun-stasiun televisi komersial dapat membangun sistem jaringan yang diamanatkan UU secara perlahan-lahan.

Masalahnya kini ketika kita melihat pada fakta objektif, akan segera terlihat bahwa dalam lebih dari lima tahun ini, sistem pertelevisian berjaringan tersebut belum pernah dimulai dikembangkan. Stasiun-stasiun televisi lokal memang tumbuh. Namun Stasiun-stasiun televisi nasional tetap bersiaran seperti di masa-masa sebelumnya: langsung dari ke Jakarta ke seluruh Indonesia.

Salah satu penjelasan dari kondisi statis ini adalah tentu sikap stasiun televisi nasional di Jakarta. Sejak kelahiran UU Penyiaran 2002, secara kolektif, stasiun-stasiun tersebut berupaya agar UU tersebut tidak dapat dijalankan. Mereka berkampanye dengan menuduh UU tersebut sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan mengancam kesehatan industri pertelevisian. Mereka juga mengajukan permohonan agar Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU tersebut. Namun, bahkan ketika MK menolak permintaan tersebut, stasiun-stasiun televisi komersial tetap menolak untuk menjalankan kewajiban untuk menghentikan siaran nasional dan kewajiban mengembangkan jaringan stasiun televisi di berbagai kota.
…………………

Salah satu argumen lain yang kerap diajukan untuk menjawab kekhawatiran sentralisasi siaran tersebut adalah pertumbuhan televisi-televisi lokal. Semasa Orde Baru, stasiun televisi lokal dilarang berdiri. Setelah Soeharto jatuh, stasiun-stasiun televisi tumbuh di berbagai daerah di luar Jakarta – yang kemudian secara resmi diakui keberadaannya dalam UU Penyiaran 2002.

Dengan restu UU Penyiaran itu, di berbagai provinsi dikembangkan stasiun-stasiun televisi lokal. Hanya saja, lagi-lagi dalam hal ini, stasiun-stasiun televisi lokal pun sebenarnya berkembang dalam kerangka hukum yang jelas, mengingat Depkominfo tidak kunjung mengeluarkan peraturan Pemerintah yang secara tegas mengatur pendirian stasiun televisi sesuai dengan UU Penyiaran.

Bagaimanapun, sebenarnya yang dibutuhkan bukan sekadar jaminan kehadiran, melainkan juga jaminan bahwa stasiun lokal dapat tumbuh secara sehat di daerahnya. Dan itu nampaknya hanya bisa terjadi bila ada ketetapan yang melarang siaran televisi nasional. Bila stasiun televisi lokal diizinka berdiri, tapi ia harus berhadapan dengan stasiun televisi nasional sebagai kompetitor di pasar yang sama, hampir bisa dipastikan stasiun televisi lokal akan hancur atau setidaknya tdak akan bisa berkembang.

Penyebab pertamnya adalah iklan. Stasiun televisi swasta hidup dari pemasukan iklan. Bila ada persaingan seperti yang digambarkan, pengiklan yang bisa diharapkan stasiun lokal hanyalah pengusaha-pengusaha lokal yang mengarahkan perhatian pada pasar lokal. Semua pengiklan yang sedang berusaha mengkampanyekan produk secara nasional akan memilih stasiun yang dapat bersiaran nasional. Unilever misalnya akan enggan berhubungan dengan stasiun lokal di Palembang, kalau mereka sudah menggunakan, misalnya, SCTV Jakarta yang siarannya mencapai penonton kota itu. Jangkauan siaran menjadi penting karena pengiklan akan senantiasa menjadikan jumlah penonton sebagai indikator utama penempatan iklan.

Karena keterbatasan pemasukan, stasiun lokal sulit memproduksi sendiri program yang bisa bersaing dengan tayangan-tayangan dari Jakarta. Padahal setiap harinya mereka harus bersiaran sekian jam. Akibatnya yang tampil adalah program-program ‘amatiran’ yang dibuat dengan dana, keterampilan, fasilitas, dan waktu terbatas. Di awal, barangkali saja penonton masih banyak karena faktor antusiasme. Namun bila itu terus berlangsung, tak mungkin stasiun lokal mencegah penonton beralih dan terpaku kembali menyaksikan siaran televisi dari Jakarta. Bila ini terjadi, bahkan pengiklan lokal akan berhenti beriklan di televisi lokal. Pada titik itu, kebangkrutan menjelang.

Dalam sistem jaringan di mana tidak boleh ada stasiun yang bersiaran langsung secara nasional, stasiun lokal pasti bisa berkembang karena sejumlah kondisi. Pertama, dengan sistem afiliasi, mereka tidak harus mengeluarkan biaya tinggi untuk melahirkan sekian jam program setiap hari. Kedua, mereka akan memperoleh jatah share iklan yang harus dibagi oleh stasiun induk jaringan. Ketiga, karena mereka tidak mesti bersaing dengan stasiun nasional, mereka bisa menarik pengikan lokal.

Dengan demikian, mudah-mudahan menjadi jelas mengapa kehadiran stasiun televisi lokal bukanlah jawaban terhadap kebutuhan pengembangan dan peletarian kekayaan budaya Indonesia. Hanya bila amanat desentralisasi siaran televisi dijalankan, industri pertelevisian akan menyesuaikan diri dengan kebutuhahan kontekstual masyarakat di berbagai daerah dan, karena itu, hanya dengan sistem pertelevisian berjaringan kebaragaman budaya Indonesia akan dihormati

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com