Mengembalikan Regionalisme ASEAN Sebagai Pembawa Aspirasi Negara-Negara Berkembang

Bagikan artikel ini

The jubilee Russia-ASEAN 2016 diharapkan bsa jadi momentum untuk Revitalisasi ASEAN Sebagai Pembawa Aspirasi Negara-Negara Berkembang. Bahkan di akhir 1940-an, sempat berkembang gagasan untuk membentuk regionalisme Asia Tenggara untuk melawan penjajahan negara-negara yang berasal dari Amerika Serikat dan Eropa Barat.

ASEAN memang didirikan pada 8 Agustus 1967. Namun gagasan untuk membangun sebuah pengelompokkan atau blok Asia Tenggara, sebenarnya sudah dikumandangkan beberapa kalangan beberapa tahun sebelumnya. Gagasan untuk membentuk regionalisme Asia Tenggara sempat dilontarkan oleh Dr Abu Hanifah, ketika diselenggarakan Asian Relations Conference pada 1947 di New Delhi, India. Dalam pertemuan dengan beberapa pimpinan delegasi Indonesia, Myanmar, Thailand, Vietnam, Filipina dan Malaya, memandang penting pembentukan Kelompok Asia Tenggara karena waktu itu berkembang opini bahwa negara-negara besar di Asia seperti Cina dan India, tidak bisa diharapkan untuk mendukung perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia Tenggara yang kala itu baru Indonesia yang sudah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

“Debated, talked, and planned a Southeast Asian Association closely cooperating first in cultural and economic matters. Later, there could be perhaps be a more closely knit political cooperation. Some of us even dreamt of a Greater Southeast Asia, a federation.”(1).

Jenderal Aung San, pemimpin pergerakan nasional Myanmar, juga mengemukakan gagasan regionalisme Asia Tenggara. Ia mengusulkan pembentukan uni ekonomi Asia Tenggara. Para pemimpin Vietnam juga menggagas pembentukan suatu kelompok Asia Tenggara atas dasar pemikiran Karl Marx. Bahkan menariknya, mereka mendesak Thailand, sebagai negara yang tidak pernah dijajah negara asing, untuk memimpinn pengorganisasian kelompok atas dasar pada Prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai upaya untuk melwan usaha penjajahan kembali oleh negara-negara Eropa.

Meski para pemimpin dan tokoh pergerakan negara-negara Asia Tenggara ketika itu punya model perhimpunan organisasi yang berbeda-beda, namun setidaknya ada beberapa hal yang menarik untuk menjadi inspirasi kita saat ini untuk merevitalisakan kembali solidaritas bangsa-bangsa Asia Tenggara, dan ASEAN pada khususnya.

Pertama, adanya kesadaran bersama di antara para pemimpin negara-negara Asia Tenggara, bahwa kawasan ini letak geografisnya berada di antara Cina dan India. Kedua, ada kepentingan bersama ketika itu dalam perjuangan mereka melawan negara-negara penjajah, sehingga melalui gagasan regionalisme Asia Tenggara diharapkan bisa saling membantu perjuangan mereka menghadapi negara-negara penjajah yang notabene berasal dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat seperti Perancis, Inggris, dan Belanda.

Pada 1966 ketika Jenderal TNI Suharto menjadi presiden RI,  menggantikan Sukarno, bahkan menggagas regionalisme Asia Tenggara sebagai landasan politik luar negeri Indonesia. Sepertinya, tanpa bermaksud mengabaikan dan menghilangkan gagasan Bung Karno mengenai Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 dan Gerakan Non Blok Beograd-Yugoslavia 1961, Suharto bermaksud untuk mengalihkan prioritas politik luar negeri Indonesia dari lingkugan geografi yang lebih luas tadi, ke lingkungan geografi yang lebih kecil, ke lingkungan Asia Tengggara. Menjadi sebuah bentuk kerjasama regional di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan yang kemudian terumuskan dengan jelas melalui Deklarasi Pembentukan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, ASEAN pada 1967.

Menurut pandangan saya, meskipun Suharto mengubah lingkup luas dari konsepsi Bung Karno tentang KAA Bandung 1955 dan Gerakan Non Blok 1961 ke dalam lingkup yang lebih kecil yaitu ASEAN, namun tetap dalam kerangka prinsip semangat Bandung 1955 dan Gerakan Non Blok 1961.

Seperti tersurat dalam Deklarasi ASEAN, ditegaskan bahwa kehidupan intra-regional dan pengelolaannya dalam suatu tatanan regional Asia Tenggara bertumpu atas dasar hidup berdampingan secara damai terlepas dari sistem sosial-ekonomi masing-masing negara anggota, diupayakan melalui peningkatan “laju pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan.”

Jelaslah bahwa Suharto tidak keluar dari skema Dasa Sila Bandung 1955. Bahkan lebih jauh Suharto menegaskan, perlunya suatu Asia Tenggara yang “integrated,” yang merupakan “benteng dan pangkalan yang paling kuat untuk menghadapi pengaruh ataupun intervensi dari luar, untuk menghadapi imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apapun dari dari pihak manapun datangnya”(2).

Atas dasar pemikiran Suharto tersebut, maka Indonesia kemudian memprakarsai pembentukan ASEAN untuk memupuk dan membina kerjasama yang lebih erat dan berguna bagi pengembangan ketahanan masing-masing. Dengan dasar itu pulalah, ASEAN dicanangkan sebagai pilar politik luar negeri Indonesia, menjadi inti atau dasar politik luar negeri RI yang bebas dan aktif.

Bahkan Menteri Luar Negeri Adam Malik, yang kita kenal juga sebagai salah satu yang ikut menandatangani Deklarasi Pembentukan ASEAN pada 8 Agustus 1967, merasa yakin bahwa Indonesia tetap menghendaki Asia Tenggara berkembang sebagai kekuatan regional yang berdiri di atas kali sendiri dan cukup kuat untuk bertahan terhadap pengaruh negatif maupun gangguan dari luar.

Melalui konsideran tersebut, jelaslah sudah bahwa ASEAN tidak saja mempunyai dimensi kerjasama ekonomi dan sosial-budaa, melainkan juga mencerminkan semangat kerjasama di bidang politik dan keamanan. Karena dalam kerjaasama tersebut dilandasi oleh sikap percaya diri, tidak menggantungkan diri pada kekuatan luar, sehingga semakin mempertebal politik luar negeri yang bebas dan aktif.

Ketika bangsa-bangsa yang tergabung dalam ASEAN mengembangkan ketahanan nasional masing-masing dalam semangat solidaritas dan kerjasama regional ASEAN, maka berangsur-angsur akan tumbuh suatu ketahanan regional, yaitu kemampuan negara-negara anggota untuk menyelesaikan bersama-sama masalah-masalah yang dihadapi bersama seraya mengamankan masa depan dan kesejahteraan bersama, dan tidak membiarkan masa depan itu ditentukan atau dicampuri oleh kepentingan lain dari luar(3).

ASEAN Sebagai Penyalur Aspirasi Negara-Negara Berkembang   

Jika KAA Bandung 1955 telah menelorkan apa yang kelak kita kenal sebagai DASA SILA Bandung 1955 atau the Bandung Spirit, ASEAN kemudian menjabarkannya dalam lingkup Asia Tenggara melalui konsepsi Zone of Peace, Freedom and Neutrality, yang diluncurkan pada dekade 1970-an.  Yang notabene seruan tersebut sehaluan dengan seruan negara-negara Dunia Ketiga atau Negara-Negara Berkembang di kawasan Asia Tenggara yang pada waktu itu masih dalam era Perang Dingin.

Bahkan terkait dengan semangat Gerakan Non Blok, khususnya ketika Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Non-Blok ke-10 di Jakarta, kemudian berhasil mengeluarkan “Pesan Jakarta” pada 1992 yang menegaskan arti penting kerjasama antara Selatan-Selatan dan Utara-Selatan. Melalui Pesan Jakarta ini, Indonesia telah mempertunjukkan peran strategisnya sebagai penghubiung antara negara berkembang dan negara maju.

Meskipun pemerintahan Sukarno sudah berpindah tangan ke Suharto sejak 1967, namun kiprah Indonesia untuk berperan aktif dalam memprakarsai berbagai kebijakan dalam kerangka Dunia Ketiga sejatinya tetap berlangsung terus. Seperti terlihat melalui organisasi G-77, Organisasi Konferensi Islam, dan AASROC (Asian-African Sub-Regional Conference), Indonesia tetap konsisten memperjuangkan kepentingan kelompok negara berkembang dan posisi mereka dalam percaturan politik internasional.

Jika hal ini terus dikembangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK saat ini, setidaknya melalui kerjasama antar sesama negara berkembang diharapkan bisa meningkatkan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang itu sendiri, tetapi jua untuk mengurangi derajat ketergantungan dengan negara-negara maju. Sehingga melalui format kerjasama semacam ini, posisi tawar negara-negara berkembang diharapkan semakin kuat, khususnya terhadap negara-negara maju.

Makna Strategis the jubilee Russia-ASEAN 2016

Karena lingkup kerjasama antar negara-negara ASEAN dalam kerangka membawa aspirasi negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga, maka kerjasama dalam lingkup ekonomi maupun sosial- budaya menjadi sangatlah penting. Maka itu, diselengarakannya the jubilee Russia-ASEAN 2016 bisa menjadi momentum yang amat strategis untuk menghidupkan kembali semangat ASEAN sebagai pembawa aspirasi negara-negara berkembang. Seraya membahas berbagai format kerjasama strategis bersama Rusia maupun Cina, sebagai kutub alternatif yang bisa mengimbangi dominasi blok Ekonomi Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Sebagaimana tulisan saya terdahulu, Rusia pada 1964 termasuk yang mendukung penuh gagasan Bung Karno tentang the New Emerging Forcesmaupun rencana diselenggarakannya Konferensi Internasional Negara-Negara Berkembang (Conefo) pada Agustus 1966. Yang sayangnya kemudian batal terselenggara gara-gara meletus Gerakan 30 September 1965, yang pada gilirannya membawa kejatuhan Bung Karno dua tahun kemudian (Lihat: Indonesia, Rusia dan The New Emerging Forces).

Kenyataan bahwa sejak 2001, Rusia dan Cina menjalin aliansi strategis dalam naungan Shanghai Cooperation Organization (SCO), yang kemudian atas dasar kerjasama kedua negara adikuasa tersebut mengembangkan format kerjasama ini dalam skema BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), kiranya masuk akal untuk mengikutsertakan Rusia dalam the jubilee Russia-ASEAN 2016, sebagai landasan untuk membangun dan mengembangkan kerjasama strategis antar negara-negara berkembang dalam lingkup ASEAN, dan antara ASEAN dengan Rusia maupun Cina.

Catatan Akhir

(1). Untuk kajian secara lebih mendalam, ada dua sumber bacaan yang bisa dirujuk. Amitav Acharya, The Quest for Identity, International Relations of Southeast Asia, Oxford : Oxford University Press, 2000, hal 46. Dan CFF Luhulima, Ketahanan Regional: Dasar Untuk Diplomasi Regional Indonesia.”

(2). Suharto, Pidato Kenegaraan, 1966. Juga, Laporan dan Penjelasan Pejabat Presiden pada Pembukaan Sidang Umum MPRS V tahun 1968, dalam Buku Kedelapan Sidang Umum MPRS Kelima tahun 1968 jilid IV-A (MPRS, 1972).

(3). Shafiah Fifi Muhibat, Dunia Ketiga dan Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia.

Penulis: Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com