Benarkah sasaran AS sesungguhnya adalah melengserkan Presiden Venezuela Nikolas Maduro? Bukan. Melainkan mengacaukan agenda strategis ekonomi Cina di Venezuela, serta ambisi geopolitik Cina di Amerika Latin.
Di balik campurtangan AS di Venezuela mendukung Juan Guaido sebagai presiden transisi untuk melumpuhkan Presiden Nikolas Maduro, nampaknya bukan sekadar untuk menegakkan pemilihan umum yang bebas dan adil. Ada agenda tersembunyi di bali itu, membendung pengaruh Cina di Venezuela.
Besarnya kehadiran Cina dan pertaruhannya yang begitu tinggi dalam perekonomian Venezuela, maupun di Amerika Latin pada umumya, sepertinya luput dari perhatian banyak kalangan.
William Engdahl, konsultan strategis dan pakar geopolitik lulusan Universitas Princeton AS, menulis sebuah artikel menarik bertajuk:
Another Reason for Washington in Venezuela?
Sudah jadi rahasia umum bahwa Cina perlu mengamankan pasokan minyak dari berbagai negara penghasil minyak, mulai dari Iran sampai Rusia, dari Arab Saudi sampai Anggola di Afrika, dan pastinya juga dari Venezuela yang cadangan minyaknya saat ini sekitar 3000 miliar barel per hari. Selain itu, Cina saat ini merupakan salah satu negara kreditor pemberi utang kepada Venezuela sebesar 61 miliar dolar AS.
Bisa dimengerti jika Cina tidak biasanya mengambil sikap keras dan vokal terhadap campurtangan AS mendukung presiden transisi Juan Guaido. Padahal selama ini Cina selalu mengklaim tidak ingin ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara.
Menurut William Engdahl, ada konsesi ekonomi yang dipertaruhkan Cina di Venezuela selain minyak, sebagai imbalan atas dukungan keuangan Cina terhadap Presiden Maduro. Yaitu Emas dan mineral yang saat ini masih langka yaitu Coltan alias Emas Biru (blue gold). Adanya Kandungan Coltan nampaknya Sudah terkonfirmasi di daerah Amazon, Venezuela, dekat daerah perbatasan dengan Brazil dan Guyana.
Menurut informasi deposit Coltan yang ada di Venezuela senilai 100 miliar dolar AS. Coltan ini menurut beberapa kajian pakar geologi, harganya lebih tinggi daripada emas. Coltan ini pada perkembangannya merupakan bahan untuk membuat peralatan listrik untuk menyimpan tenaga listrik buat charger buat smartphone dan tablet.
Namun nilai strategis Coltan bukan itu saja. Coltan bisa juga untuk menggerakkan daya listrik untuk persenjataan militer. Seraya mengatur temparatur agar sistem persenjataan temparaturnya tidak terlalu panas (overheat).
Singkat cerita. Coltan salah satu jeni tambang batubara dan mineral yang jadi sasaran Cina di Venezuela, punya nilai strategis lebih tinggi dibandingkan emas. Sebaliknya AS juga mengincar Coltan untuk mendukung sistem peralatan militernya seperti sistem anti-tank, sistem navigasi buat pesawat drone, robot, maupun sistem persenjataan pada umumnya.
Dengan kata lain, Coltan sangat strategis buat mendukung Pertahanan AS. Sehingga Cina bukan saja menyasar Venezuela, melainkan juga Brazil dan Guyana. Termasuk dalam menguasai pelabuhan di Panama dalam rangka mengamankan jalur pelayaran antara Samudra Atlantik ke Samudra Pasifik.
Dengan begitu, campurtangan AS mendukung Juan Guaido sebagai presiden transisi melumpuhkan kekuasaan Maduro, nampanya ditujukan untuk menggangung dan mengacaukan agenda-agenda strategis Cina di Venezuela.
Latarbelakang inilah yang menjelaskan mengapa John Bolton, penasehat Dewan Keamanan Nasional Presiden Trump, menggulirkan kembali wacana the Monroe Doctrine. Yang mana selalu digunakan oleh beberapa presiden Amerika sebelumnya seperti Ronald Reagan atau John F Kennedy, untuk menjatifikasi campurtangan Amerika di beberapa negara Kawasan Amerika Latin. Dengan dalih untuk menangkal pengaruh Uni Soviet yang semakin menguat di Amerika latin seperti Kuba, pada era perang dingin.
Nampaknya dalam upaya AS campurtangan urusan dalam negeri Venezuela, John Bolton pun kembali menghidupkan kembali Doktrin Monroe yang pertama kali digulirkan pada 1823. Hanya saja kali ini, Doktrin Monroe digunakan sebagai justifikasi mendukung Juan Guaido melengserkan Nikolas Maduro.
Namun agenda strategis sesungguhnya bukan melengserkan Maduro dengan dalih dirinya merupakan pemimpin diktator dan otoriter, melainkan karena ketergantungan Venezuela pada Cina khususnya di bidang ekonomi, maupun ambisi geopolitik Cina di Amerika Selatan pada umumnya.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)