Mengingat (Kembali) Pemikiran “Deklarasi Ekonomi” Bung Karno

Bagikan artikel ini

Rusman, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Menarik untuk disimak kembali isi pidato Soekarno, Presiden Republik Indonesia Pertama, di Istana Negara Jakarta pada 28 Maret 1963. Pidato ini sarat dengan ide-ide pemikiran ekonomi, yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Ekonomi (DEKON).

Walau pidatonya telah berusia 52 tahun yang lalu. Namun melalui konsep DEKON ini, Bung Karno ingin meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan. Bung karno yakin seratus persen bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal bagi pembangunan bila aktivitas dan kreatifitasnya dikembangkan. Bahkan, Bung Karno tanpa tedeng aling-aling mengecam keras cara-cara text-book thinking. Mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi Barat, tanpa memperhatikan kondisi di Indonesia.

Dalam kaitan kerjasama ekonomi dengan negara-negara imperialis, ucapan Bung Karno yang sangat terkenal adalah: “Go to hell with your aid.”  Seringkali ucapannya ini ditafsirkan sebagai sikapnya yang usang terhadap bantuan asing, modal asing, bahkan segala yang berbau asing.

Ucapannya ini menjadi kekuatiran dirinya akan sesuatu yang berbau asing. Dan agaknya kekuatiran Bung Karno kini terjadi. Sudah berapa jumlah utang Indonesia hingga kini?

Sebagai catatan, hingga Oktober 2013, utang luar negeri pemerintah dan swasta tembus USD 262,4 miliar atau setara dengan Rp 3.204 triliun. Total utang ini terus membengkak, dimana pada bulan sebelumnya atau September 2013 hanya USD 259,9 miliar.  Sungguh sebuah kondisi yang Ironis.

Prinsip Trisakti

Kembali pada pemikiran ekonominya Bung Karno. Agaknya, konsep DEKON yang didengungkan Bung Karno tidak terlepas dari pemikiran Bung Karno lainnya.

Dalam pidato 17 Agustus 1964, Bung Karno mengemukakan prinsip Trisakti Tavip (Tahun Vivere Pericoloso). Di sini ia menjelaskan tiga prinsip berdikari. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Menurut Bung karno, ketiga prinsip berdikari ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bung Karno mengatakan, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdirikari dalam ekonomi. Demikian pula sebaiknya.

Ya itulah yang diinginkan Bung Karno. Menurut Bung Karno, Indonesia perlu melepaskan ketergantungan pada pihak asing dan menjadi bangsa yang mandiri dan berdikari (berdiri di kaki sendiri).

Kemudian, politik berdikari menjadi populer setelah Bung Karno memberi judul pidatonya 17 Agustus 1965: ‘Tahun Berdikari’.

Berdikari dalam ekonomi yang disampaikan oleh Bung Karno berarti Indonesia harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah ada di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Tidak boleh lagi terjadi ‘ayam mati dilumbung padi’, karena tanah air Indonesia kaya raya.

Sebagai pelengkap catatan kecil ini, simak isi pidato “Deklarasi Ekonomi” Bung Karno:

“Menurut strategi dasar ekonomi Indonesia, maka dalam tahap pertama kita harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme.

Tahap pertama adalah persiapan untuk tahap kedua, yaitu tahap ekonomi sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia atas manusia, tanpa exploitation de l’homme par l’homme. Dalam masyarakat sosialis Indonesia, tiap-tiap orang akan dijamin dengan pekerjaan, sandang pangan, perumahan serta kehidupan kulturil dan spirituil yang layak. Susunan ekonomi yang demikianlah yang harus menjadi tujuan segenap kegiatan ekonomi kita, yang harus menjadi tujuan tiap-tiap putra Indonesia.

Kita sekarang sedang berada dalam tahap pertama revolusi kita. Kewajiban kita di bidang ekonomi dalam tahap pertama ini ialah mengikis habis sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme di bidang ekonomi, menggerakkan semua potensi nasional untuk meletakkan dasar dan mempertumbuhkan suatu ekonomi nasional yang bebas dari imperialisme dan feodalisme sebagai landasan menuju masyarakat Sosialis Indonesia.

Dalam perjuangan untuk menyelesaikan tahap nasional dan demokratis ini, maka sudah tibalah waktunya untuk mengerahkan segenap potensi, baik potensi pemerintah maupun koperasi dan swasta (nasional dan demokratis) dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan untuk meningkatkan produksi dan menambah penghasilan negara.

Karena itu yang harus diselenggarakan sekarang ialah memperbesar produksi berdasarkan kekayaan alam yang berlimpah-limpah dan meletakkan dasar-dasar untuk industrialisasi. Dalam tingkatan sekarang ini harus disadari bahwa modal terpenting dari pembangunan nasional ialah menggali dan mengolah kekayaan alam kita itu.

Ini berarti bahwa kita harus mengutamakan pertanian dan perkebunan; kita harus mementingkan pertambangan, yang tentunya hanya dapat memberikan hasil sebesar-besarnya jika dikerjakan atas dasar kegotong-royongan antara massa rakyat dan pemerintah, sebagai syarat untuk menimbulkan dan menyalurkan daya kerja dan daya kreatif rakyat secara maksimal.

Untuk mencapai kegotong-royongan itu saya ingatkan bahwa di masa lampau potensi kekuatan rakyat merupakan tulang-punggung dari alat perjuangan dan alat revolusi Indonesia.

Dalam melaksanakan revolusi di bidang sosial dan ekonomi selanjutnya, maka–sesuai dengan hukum Revolusi–kita harus mempergunakan sepenuhnya semua alat revolusi yang sudah kita miliki itu, dengan selalu melandaskan perjuangan kita pada potensi dan kekuatan rakyat.

Dalam menghadapi masalah ekonomi, kami sadar bahwa sisa-sisa kolonial dan sisa-sisa feodal dan demikian pula sifat-sifat hubungan ekonomi dan perdagangan dengan luar negeri masih juga memberikan rintangan dalam pertumbuhan ke arah Sosialisme Indonesia. Khususnya blok-blok ekonomi menimbulkan diskriminasi di lapangan perdagangan antara negara, dan dengan demikian memperkuat dominasi dari the old esthabilished forces. Berhubung dengan itu maka pemerintah berusaha untuk menghilangkan diskriminasi itu, yang tidak hanya menghambat kelancaran perdagangan internasional, akan tetapi yang disamping itu terlebih-lebih menekan perkembangan pembangunan ekonomi di negara-negara yang baru saja memasuki alam kemerdekaan.

Dalam melanjutkan pertumbuhan-pertumbuhan di bidang sosial dan ekonomi, maka kita harus bertitik pangkal pada modal yang sudah kita miliki yaitu:

Pertama, aktivitas ekonomi Indonesia dewasa ini kurang lebih 80% sudah berada di tangan bangsa Indonesia. Dalam tahun 1950 boleh dikatakan aktivitat ekonomi Indonesia sebagian terbesar masih dikuasai oleh bangsa asing, sehingga baik pemerintah maupun rakyat, tidak dapat mengadakan perencanaan secara pokok bagi pertumbuhan ekonomi secara revolusioner.

Kedua, pada waktu-waktu belakangan ini pemerintah mulai dapat secara aktif menyusup aktivitas ekonominya dalam arti konsepsionil, organisatoris, dan strukturil.

Ketiga, meskipun demikian kita belum bisa berkembang secara mendalam oleh karena perhatian pemerintah dan kekuatan rakyat masih dititik-beratkan pada penyusunan alat-alat Revolusi, yang baru pada waktu sekarang ini baru dikatakan lengkap.

Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa baru sekarang ini kita dapat menggerakan segala usaha dan perhatian rakyat dan pemerintah untuk menanggulangi persoalan ekonomi secara konsepsionil, organisatoris dan strukturil dalam arti keseluruhannya.

Usaha-usaha pemerintah dan rakyat yang sudah ditempuh secara konsepsionil, organisatoris, dan strukturil ialah, misalnya:

Satu, Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahapan pertama yang disahkan oleh MPRS.

Dua, Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil.

Tiga, peranan pemerintah dalam industrialisasi dan perdagangan internasional; dan

Empat, Penyusunan PN (Perusahaan Negara), PDN, BPU, Dewan Perusahaan, OPS, koperasi, dan sebagainya.

Semua ini merupakan modal bagi kita untuk menanggulangi persoalan ekonomi secara integral. Dengan modal itu maka baru sekaranglah kita dapat menggerakkan segala potensi dan kekuatan rakyat.

Setelah membacakan Deklarasi Ekonomi, Presiden Soekarno memberikan penjelasan, antara lain:

Maka demikian pula di bidang ekonomi, saudara-saudara, telah saya katakan, janganlah rakyat menganggap pemerintah itu sebagai Sinterklaas, janganlah rakyat menganggap pemerintah harus memberi. Tidak! Sudah sering saya ucapkan bahwa susunan ekonomi tahap sekarang, yaitu susunan ekonomi nasional dan demokratis tanpa sisa-sisa imperialisme dan feodalisme, susunan ekonomi yang sekarang ini adalah hasil, dan haruslah hasil, dan hanya bisa terlaksana sebagai hasil daripada perjuangan selanjutnya rakyat Indonesia dibawah pimpinan pemerintah.

Maka demikian pula tujuan yang selanjutnya. Sosialisme Indonesia bukan sesuatu hasil hanya dari pemerintah saja…Sosialisme harus diselenggarakan oleh seluruh rakyat. Sosialisme, sebagaimana kukatakan beberapa hari yang lalu, tidaklah jatuh dari langit sebagai air embun di waktu malam, sosialisme adalah hasil daripada keringat, sosialisme adalah hasil dari pembantingan tulang, sosialisme adalah hasil dari penguluran tenaga.

Maka saya meminta kepada segenap rakyat Indonesia untuk ikut serta di dalam perjuangan kita untuk menanggulangi ekonomi kita ini di atas dasar-dasar basic strategy yang sudah saya uraikan.”

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com