Menyoal Pemblokiran Anggaran Operasional TVRI

Bagikan artikel ini

Otjih Sewandarijatun, peneliti senior Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta dan alumnus Universitas Udayana, Bali

Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi mengatakan, Fitra mempertanyakan dasar pemblokiran anggaran TVRI sebesar Rp 3 Trilyun oleh Wakil Ketua DPR-RI Budi Priyo Santoso dan Ketua Komisi I DPR-RI, Mahfud Sidik. Menurutnya, surat dari Komisi I dan Wakil Ketua DPR yang memblokir anggaran TVRI sangat aneh karena UU APBN 2014 sudah disahkan oleh paripurna DPR dan Kepres-nya pun sudah turun. Masak hanya karena beberapa anggota komisi I dan juga wakil ketua DPR saja, keputusan bersama yang sudah dijadikan UU lantas bisa dibatalkan. Uchok menilai DPR bermain-main dengan kepentingan publik. DPR sengaja menghambat pelayanan televisi terhadap publik. Tanpa anggaran itu, menurutnya mana mungkin TVRI bisa beroperasi. TVRI memang masih dibolehkan mencari pendapatan lain dari iklan, tapi jumlahnya sangat dibatasi. Lagi pula masyarakat pun bisa melihat tidak banyak iklan di TVRI, sehingga tidak mungkin mencukupi untuk operasional TVRI.

Sebelumnya, di Hotel Puri Denpasar, Jakarta, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dan Ketua Komisi I Mahfud Siddiq mengakui telah membintangi anggaran TVRI dikarenakan kisruh yang terjadi antara Dewan Pengawas TVRI dan jajaran direksi TVRI. Kisruh ini terjadi karena adanya dugaan penyelewengan anggaran TVRI untuk membeli program liga Italia dan juga beberapa program lokal. BPKP telah mengeluarkan hasil audit yang mengindikasikan adanya penyelewengan.

Kejaksaan Agung telah menyelidiki kasus ini. Dewan Pengawas kemudian memutuskan memecah jajaran direksi TVRI yang tidak disetujui oleh Komisi I DPR-RI dengan alasan adanya  kesepakatan bahwa tindakan pemecatan menunggu Panja Komisi I menyelidikinya. Namun dalam UU jelas tertulis bahwa kewenangan mengangkat dan memecat direksi ada pada dewan pengawas.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), MS Ka’ban menilai, sikap DPR yang membentangi anggaran TVRI merupakan tindakan arogan. Kebijakan itu tidak adil karena akan mengorbankan hak masyarakat mendapat informasi dan dapat dinilai sebagai kebijakan memboikot TVRI, padahal TVRI bukan hanya sekadar saluran televisi biasa seperti stasiun tv lainnya, karena TVRI adalah milik negara. Menurutnya, langkah DPR yang nyalinya kecil tidak berpikir Indonesia, terlalu sektarian.

Intervensi Politik dan Kurang Strategis

Pemblokiran anggaran belanja TVRI oleh Wakil DPR RI Priyo Budi Santoso dan Ketua Komisi I Mahfud Siddiq terus mendapatkan sorotan. Jika tidak segera dicairkan dana senilai Rp1,3 triliun, TVRI terancam tidak mengudara lagi, sehingga dapat berdampak kepada “peluberan informasi (spill over)” dari siaran asing akan semakin menguat serta kepentingan untu kmenciptakan “balance of news” dikhawatirkan tidak mencapai sasaran, walaupun juga harus diakui TVRI sejauh ini juga belum mampu mengatasi “spill over” ataupun “balance of news”, karena kurang mendapatkan dukungan berbagai pihak termasuk Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) tidak diberikan tugas serupa oleh negara.

Kisruh antara Dewan Pengawas TVRI dengan jajaran Direksi TVRI terkait dugaan penyelewengan anggaran TVRI sebaiknya “tidak diitervensi” oleh Komisi I DPR-RI ataupun pimpinan DPR-RI, karena lebih tepat diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk menyelesaikannya.

Langkah pimpinan DPR-RI dan Komisi I DPR-RI yang tidak mendukung langkah pemecatan terhadap jajaran Direksi TVRI yang dilakukan Dewan Pengawas TVRI, walaupun berdasarkan UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, kewenangan tersebut diperbolehkan dilakukan Dewan Pengawas TVRI adalah sebuah “intervensi politik”, karena seharusnya DPR-RI dapat memainkan peranan yang lebih strategis untuk lebih memberdayakan TVRI sebagai garda terdepan dalam upaya memperkuat kepentingan nasional di bidang penyiaran dan pembentukan karakter bangsa.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com